Jumat,
20 Juli 2012
Malam
ini adalah malam pertama di bulan Ramadhan. Setidaknya itulah hasil keputusan
pemerintah dalam menetapkan awal jatuhnya bulan Ramadhan. Aku bersyukur karena
diriku masih dapat bertemu dengan bulan suci Ramadhan. Aku merasa beruntung
karena Allah masih memberikan kesempatan untukku setelah kusia-siakan Ramadhan
tahun lalu hanya untuk perbuatan yang tidak disukai-Nya.
Kakiku
melangkah ke masjid dengan ringan dan penuh tekad di hati. Aku bertekad untuk
membayar semua kesalahanku di Ramadhan tahun lalu. Aku bertekad untuk meraih
kesempurnaan dalam bulan yang penuh berkah ini.
Shalat
tarawih pun digelar. Aku dan kedua adik perempuanku memosisikan di shaf
terdepan. Di dalam shalat jamaah itu, aku merasakan bahwa Ramadhan kali ini benar-benar
terasa indah. Aku bersyukur karena Allah masih membimbingku yang penuh dosa.
Allah pun masih memberikanku banyak nikmat kesehatan, keselamatan dan
kesejahteraan. Bahkan, kasih sayang yang berlimpah dari orang-orang di
sekitarku.
“Ada dua keuntungan
puasa di bulan Ramadhan, yaitu menyehatkan tubuh dan mendekatkan diri kepada
Allah.”
Itulah kesimpulan kultum yang disampaikan pada
waktu di sela-sela shalat tarawih dan witir. Aku pun merasakan hal itu beberapa
tahun lalu sebelum aku merasakan kenikmatan dunia yang membawa sengsara di
hati, yaitu CINTA.
Insya
Allah, puasa yang kujalani pada tahun 2012 ini akan membawa berkah, rahmat dan
hidayah untukku. Sehingga aku dapat menjadi manusia yang lebih baik dan wanita
yang sholehah. Segenap niat dalam hatiku untuk berkerudung dan memperbaiki diri
memacu semangatku untuk berjuang melewati berbagai macam rintangan yang hadir
di hadapanku. Aku yakin jika ada kemauan pasti akan ada jalan.
***
Sabtu,
22 Juli 2012
Cobaan
muncul di awal puasaku hari ini. Astaghfirullah! Pulsa di kartu ponselku
berkurang sebesar Rp 2.000,00, padahal aku tidak menggunakannya. Walaupun aku
harus menerima kenyataan bahwa aku tidak dapat menghubungi Novri, pacarku atau
siapapun, aku berusaha ikhlas. Alhamdulillah, aku mendapatkan sejumlah bonus
SMS sampai jam lima sore dan internet selama satu jam lebih.
Sejumlah
bonus yang diberikan operator seluler kepadaku, aku mengirimkan SMS ucapan
permintaan maaf. Aku mengirimkan SMS itu ke beberapa temanku dan orang yang
pernah kenal denganku, terutama pada Ratih dan Nopi. Aku pernah menyakiti hati
Ratih karena menuduhnya telah mengambil pacarku tahun lalu. Kala itu bukan
Novri yang menjadi permasalahan, melainkan Taufiq. Dia adalah mantanku yang aku
perjuangkan hingga aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku pada bulan
Ramadhan tahun lalu. Ternyata, aku salah sangka dan justru Taufiq yang
meng-kambing hitam-kan Ratih dalam hubungan kami. Dia pun mencampakkan Ratih
setelah memacarinya selama enam bulan. Aku bersalah pada Ratih karena aku menuduhnya
melakukan hal yang tidak pernah dilakukannya. Kami berdua merupakan korban.
Aku
juga meminta maaf kepada Nopi. Walaupun dia pernah menyakitiku, aku tahu bahwa
aku pun pernah melukai hatinya. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa aku
menjalin hubungan dengan teman dekatnya saat ini.
Dalam
jejaraing sosial, aku mendapati mantan pacar Novri menuliskan sesuatu di profil
Novri. Ya Allah, sungguh aku cemburu bukan main. Rasanya ada api yang membakar
dadaku. Namun, aku menahan amarahku yang biasanya mudah untuk meledak. Aku
mulai berpikir positif.
“Tidak
ada salahnya kan kalau tali silaturahmi tetap dijaga? Novri sudah memillihmu
dan wanita itu sudah bersuami, maka tidak masalah bukan jika mereka
berkomunikasi? Lagipula Novri belum tentu menjadi suamiku. Jika Novri memang
jodohku, aku tidak perlu marah-marah, Tuhan pasti akan mengikatkannya denganku
suatu saat nanti,” bisikku dalam hati.
Inilah
pertama kalinya, aku dapat menjaga diriku dari amarah. Apalagi aku kemudian
memutuskan untuk menjadi teman dari mantan pacar Novri itu. Aku mencoba menjadi manusia yang lebih
baik dan untuk itu aku harus menjalankan niatku dengan totalitas. Saah satunya
adalah menjadikan orang yang membuat hatiku buruk sangka menjadi teman, agar
aku dapat lebih mnegenalnya dan hubungan persaudaraan dapat semakin meluas.
Rasanya
ada ketenangan yang menyusup ke dalam hatiku. Aku merasa ada sedikit beban di
hatiku. Walaupun hari itu, Novri hanya membalas SMS-ku satu kali, aku tetap
merasa tenang. Padahal biasanya, jika dia bersikap seperti itu, aku bisa marah
tidak menentu—berbagai prasangka buruk menghantuiku. Namun, kali ini aku dapat
berpikir positif.
Waktu
terus bergulir dan menjelang maghrib, aku dan adik-adikku mendapatkan secangkir
es lengkong dari mama. Beliau membuatkannya untuk kami yang berpuasa. Tidak
hanya es lengkong, di meja makan terhidang pula sepiring ubi dan tape goreng.
Untuk lauk makan pun, mama memasak ikan bandeng dan sambal terasi dilengkapi
dengan sayur sop.
Dahaga
pun hilang seketika saat air es masuk ke tenggorokan. Lapar pun hilang ketika
sepotong ubi masuk mengisi perut yang tengah kosong. Saat itu pula aku
terbayang pada kehidupan kami yang dulu. Hidup yang begitu sulit. Di saat orang
lain bisa memakan nasi dengan nikmatnya, kami hanya dapat menelan air putih
untuk sarapan. Itulah kehidupan. Namun, sekarang keadaan keluargaku sudah jauh
lebih baik. Walaupun makanan yang di hadapanku ini bukan makanan mewah,
fungsinya untuk melepaskan dahaga dan lapar sangat istimewa untukku. Aku
bersyukur dengan rezeki yang kuterima dari Allah hari ini.
“Tarawih!
Tarawih!” ujar adikku.
Aku
masih sibuk merapikan al-Qur’an yang baru saja kupakai mengaji. Kubuka mukenaku
dan kuambil air wudlu. Aku hanya ingin memastikan bahwa diriku masih dalam
keadaan bersih dan suci dari najis saat kulangkahkan kaki di masjid nanti.
Kemudian aku kembali ke kamar. Kuambil sisir dan kuikat rapi rambutku. Lalu
kupasangkan kembali mukena yang tadi kulepaskan.
“Ma,
infak!” teriak Rizka, adikku yang bungsu.
“Infak
kok minta? Yang namanya infak itu dari uang sendiri disisihkan untuk orang
lain,” ucapku.
“Biarin
toh! Biar mama yang infak, aku yang masukin ke kotak infaknya!” ujar Rizka.
Aku
hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku tidak tahu harus
berkata apa untuk menjawab pernyataan Rizka itu. Dia memang selalu memunyai
segudang jawaban untuk menyanggah berbagai macam pernyataan yang ditujukan
padanya.
“Di akhirat, yang
membedakan seorang manusia dengan manusia lainnya bukan harta kekayaan,
kecantikan ataupun kedudukan, melainkan keimanan. Oleh karena itu, jadilah
orang yang beriman sehingga hidup kekal di akhirat dapat dinikmati dengan
kebahagiaan yang kekal pula.”
Itulah
isi kultum malam ini. Isi kultum yang semakin memacuku menjadi yang lebih baik
dan lebih beriman. Aku bukan gadis yang cantik, kaya dan berkedudukan tinggi
sehingga aku tidak menang dalam pertarungan di dunia. Namun, aku ingin menjadi
gadis yang sholehah, wanita yang sempurna sebagai seorang anak, sahabat,
saudara, istri dan ibu. Hanya dengan itu, aku dapat menjadi pemenang di
akhirat. Kala itu pun kemenangan akan membawaku kepada hadiah kenikmatan yang
kekal dari Sang Maha Pencipta. Allahumma Aamiin.
***
Minggu,
23 Juli 2012
Hari
ini, aku mendapatkan sebuah kejutan yang tidak mengenakkan dan justru
menyakitkan hati. Siapa yang hatinya tidak hancur mengetahui bahwa orang begitu
dipercayainya telah memberi seonggok kebohongan yang tersimpan begitu lama? Aku
rasa tak seorang pun yang akan terima diperlakukan demikian.
Hari
ini, aku dan Diana, mantan dare Novri, saling bertukar cerita mengenai hubungan
kami dengan Novri. Dare cerita di antara kami, aku mendapati bahwa Novri telah
berbohong kepadaku mengenai beberapa hal terkait dengan Diana. Bukan hal baru
untukku jika dia berbohong, tapi rasa sakit di hati itu tetap saja ada. Apalagi
sebelumnya aku telah mengatakan padanya bahwa aku tidak suka dibohongi. Aku pun
sudah mengatakan padanya bahwa aku hanya meminta dia untuk jujur walau sepahit
apapun kenyataannya.
Menyadari
aku telah dibohongi oleh Novri, tiba-tiba air mata menetes di pipiku. Aku ingin
marah, tapi aku mengingat bahwa ini adalah bulan Ramadhan. Lagipula aku tidak
pernah bisa marah kepada Novri. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk
mengirimkan SMS kepada Novri. Kujelaskan kepadanya bahwa aku sudah mengetahui
kebohongannya. Aku kecewa sekaligus sedih. Aku pun menanyakan keseriusannya
padaku dan isi hatinya sehingga aku tahu caraku untuk menempatkan diri dalam
hidupnya. Aku tidak mau jika dia memilihku hanya karena terpaksa atau hanya
ingin mendapatkan status pacar dariku saja.
Tidak
lama kemudian Novri membalas dan mengatakan bahwa dia menyayangiku dengan
setulus hatinya. Aku merasa lega membaca SMS itu. Untukku kata-kata itu sudah
cukup untuk membuatku yakin bahwa dia serius untuk memilihku dan aku tahu cara
menempatkan diriku di dalam hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar