ISI HATIKU
Tak
pernah terbersit di pikiranku bahwa semua akan jadi seperti ini. Aku
menyayangmu dengan segenap jiwa dan ragaku, tapi kau berikan kepadaku segumpal
kebohongan yang tak dapat kuterima dengan kekuatanku. Tahukah kau yang kau
lakukan jauh lebih menyakitiku? Sungguh tak pernah terbersit di benakku untuk
mengkhianatimu, menyakitimu. Namun, kau terlalu dalam membohongiku. Jika
meminta kau melepaskanku adalah sebuah kesalahan, sungguh aku meminta maaf.
Namun, apakah kemudian kau harus melukai hatiku, sedangkan aku masih menjaga
perasaanmu?
Ketika
sikapmu mulai berubah kepadaku, aku hanya bisa diam. Kau selalu bilang jika aku
merasa tidak nyaman dengan sikapmu, maka aku harus mengatakannya padamu. Namun,
setiap aku menyatakan ketidaknyamananku terhadap hubungan yang kau jalin dengan
Ratih, adakah kau mendengarkanku? Aku kehilangan janji cintamu, yang kutemukan
hanya keegoisanmu. Aku mengeluh dan kau tak mempedulikanku. Pernahkah kau
pahami kalau aku juga ingin didengar, ingin dimengerti, ingin dihargai?
Sadarkah
kau, aku membutuhkanmu di tengah kesedihanku? Namun, kau menghilang. Sadarkah
kau bahwa aku merasa kau memanfaatkanku? Kau hanya menghubungiku di saat kau
membutuhkanku, setelah itu, tak pernah kau gubris aku. Seakan tidak ada artinya
aku yang kau sebut kekasih hatimu ini. Seakan tidak ada artinya perjuanganku
untuk mendapatkan hati orangtuaku agar merestui hubungan kita.
Aku
meminta kau melepaskanku bukan tanpa sebab. Orangtuaku sudah menyatakan
ketidaksetujuannya kepadaku. Sedangkan aku merasa bahwa hatimu sudah tidak ada
untukku. Ada wanita lain di sana. Aku tahu itu sejak aku datang ke kota
kelahiranmu untuk menemui ibumu. Kau mengatakan dia yang menghubungi, tapi kau
lupa bahwa aku tidak buta. Kau membuka kotak panggilan keluar dan jelas ada
nama Ratih di sana. Aku yang masih dipenuhi rasa cinta dan sangat mempercayai
dan meyakinimu, tak pernah menyimpan rasa curiga kepadamu.
Aku
semakin meyakini bahwa kau telah berubah, saat kau hanya menghubungiku hanya
sekedar untuk menanyakan apakah naskah yang milikmu yang kukerjakan sudah
selesai. Aku ini asistenmu atau kekasihmu. Kau tak pernah tahu bahwa setiap aku
menyadari perubahanmu, aku menangis hingga akhirnya keluargaku mengetahui hal
itu dan menyatakan ketidaksetujuannya pada dirimu.
Masih
terngiang di telingaku dan masih tergambar jelas di mataku. Dua malam yang lalu
kau menghubungikku, menyatakan semua kesedihanmu karena aku meminta kau
melepaskanku. Kau tahu aku menangis? Aku menangis bukan karena aku tidak
sanggup meninggalkanmu, melainkan karena aku merasa bersalah telah menyakitimu.
Aku meminta kerelaanmu melepaskan aku karena aku memikirkan hati orangtuaku,
adik-adikku, Ratih dan kau. Aku mengorbankan hatiku sendiri dengan harapan jika
benar kau sudah tidak mencintaiku, kau dapat mencari orang lain yang jauh lebih
pantas daripada aku. Namun, saat aku tahu kau dengan Ratih keesokan harinya,
hatiku terbakar amarah.
Sakit
yang kurasakan bukan karena ketidakrelaanku kau dengannya, tapi karena dengan
itu semua dugaanku terbukti benar. Hari
ini pula saat aku menyadari kau tak sebaik yang kukira, aku pun tersadar bahwa
tak selayaknya selama ini aku memperjuangkan dirimu. Saat ini pula kupahami
bahwa kata-katamu hanya omong kosong belaka. Suatu saat kau akan menuai buah
dari perbuatanmu padaku. Tidakkah kau sadari bahwa adikmu hampir saja menikah
dengan seorang pria beristri karena kebohongan? Sebentar lagi kau akan tahu
jika adikmu merasakan kepedihan yang lebih daripada yang aku rasakan.
Tangan
Tuhan yang bertindak. Aku hanya bisa menyaksikan. Karma itu memang pasti akan
berlaku. Semua akan terbalaskan, tanpa aku harus mengotori tanganku untuk
bertindak. Aku tak pernah berpikir untuk mengulangi semuanya denganmu. Aku rasa
semua sudah cukup dan memang sudah selayaknya untuk diakhiri.
Kau
sepantasnya tahu isi hatiku yang sebenarnya terhadap dirimu. Sejak awal kita
bertemu hingga kita berpisah, peraaanku tak selalu sama. Bertemu denganmu bukan
menjadi tujuan utamaku untuk datang ke Jakarta, melainkan keinginanku untuk
bertemu dengan teman-temanku yang jelas sebagai juniormu, terutama mantanku.
Bukan untuk menjalin cinta, melainkan untuk sekedar bertukar cerita dan saling
mengingat masa-masa lalu. Kejujuranku padamu sudah kujelaskan sebelumnya, bahwa
tidak ada sedikitpun keinginan untuk menjadi pacarmu saat pertama melihatmu.
Aku hanya melihat kau sebagai teman biasa, tidak lebih.
Ketika
ke monas, hanya satu hal yang aku temukan dari dirimu, yaitu keinginan untuk
mencari seseorang yang bisa serius menjalani hubungan denganmu. Satu hal jujur
yang belum aku katakan padamu, aku melihat dirimu bukan sebagai seorang Taufiq,
melainkan sebagai seseorang yang masih ada di dalam lubuk hatiku. Namun, sejak
itu, aku belajar mencintaimu.
Bukan
hal yang gampang. Tidak dalam sehari dua hari, tetapi lebih. Aku bertarung
dengan perasaanku yang ingin tetap mempertahankan pemuda yang berada di hatiku
itu. Sedangkan aku ingin kau yang ada di hatiku. Setiap malam dalam mimpiku kau
hadir, tapi bukan sebagai seorang kekasih, melainkan seseorang yang tidak
menggubris keberadaanku sama sekali. Namun, aku tidak peduli.
Hingga
akhirnya aku perlahan mencintaimu dan semakin mencintaimu. Begitu sakit rasanya
saat aku tahu kau akan ditugaskan ke Lebanon. Jangankan untuk melihat kau tewas
di sana, untuk mendengar kau terbatuk saat sedang menelfonku saja sudah menjadi
siksaan tersendiri buatku. Saat kau marah padaku untuk pertama kalinya, saat
itu pula aku tersadar bahwa sebenarnya aku sudah terlalu mencintaimu.
Saat
mendengarkan pengakuanmu mengenai hubungan-hubungan yang pernah kau jalin
dengan wanita-wanita lain, bukannya hatiku tidak sakit. Sakit sekali rasanya,
tapi cukup aku yang tahu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, seorang pemuda
menyatakan secara gamblang masa lalunya yang tak dapat dikatakan sempurna, dan
aku menghargai itu.
Di
saat hatiku yang sangat mncintaimu merindukanmu, tiba-tiba kau berubah drastis.
Tak ada lagi perhatian, tak ada lagi kata-kata cinta. Aku tidak pernah menuntut
untuk hal-hal itu. Aku hanya meminta kejujuran. Dan aku tidak menemukan itu.
Apalagi saat aku ke Madiun, aku terima kebohonganmu dengan lapang dada dengan
harapan suatu saat nanti kau akan menceritakan hal yang sebenarnya. Namun,
hingga detik ini tak pernah kau ungkapkan kejujuran padaku.
Aku
masih sangat ingat, saat kau membebtakku untuk yang pertama kalinya. Awal
September, hanya karena kekhawatiranku akan keadaaanmu, kau membentakku. Aku
sakit hati dan aku melupakan kalau aku mencintaimu. Namun, aku tak bisa.
Semakin hari kau semakin berubah. Kau hanya menghubungiku jika kau butuh. Ketika
kau ingin mengetahui apakah karya tulis yang kubuatkan untukmu sudah selesai,
maka saat itu, kau seolah membujukku hingga kemudian memintaku untuk
membuatnya. Jangan kau kira aku tidak menyadari itu! Tak ada satupun yang luput
dari pengamatanku.
Akhir
September, kau buat kau menangis untuk yang ke sekian kalinya. Malam itu kau
menelefonku, di tengah-tengah pembicaraan dan tepat saat aku yang berbicara kau
menutup telefonnya. Ini tak biasa. Jika biasanya hal itu terjadi, kau pasti
akan mengirimkan pesan singkat berisi alasan terputusnya telefon padaku. Namun,
jangankan pesan singkat, kau yang kutemui di jejaring sosial beberapa detik
setelah kau putus telefon, sama sekali tidak menggubrisku.
Belum
lagi saat kau menelefonku untuk waktu yang lainnya. Kau tinggalkan aku untuk
mengobrol dengan rekan-rekanmu dan menonton televisi. Aku tak pernah tahu
sebenarnya kau menganggap aku apa.
Awal
Oktober, aku meminta kau melepaskanku karena aku sudah tidak tahan diperlakukan
selayaknya patung yang tidak mempunyai hati. Aku pesimis untuk bisa hidup
bahagia dengan orang yang aku cinta, tapi tidak mencintaiku. Aku merasa seorang
diri. Ingatkah kau bagaimana tanggapanmu waktu itu? Kau seperti tidak
menganggap serius permintaanku. Kau katakan bahwa tidak ada yang perlu dibahas dan
aku seharusnya bertindak tidak seperti anak kecil. Aku hanya diam. Kau harus
tahu bahwa aku mulai membencimu saat itu, tapi aku tak ingin menyakitimu. Sama
sekali tidak ingin menyakitimu.
Di
tengah kesedihanku melihat sikapmu. Di tengah sakitnya hatiku karena
perangaimu, orang yang dulu hatiku pertahankan untuk tetap mencintainya hadir
kembali ke hadapanku. Dia tidak membawa perhatian untukku. Tidak pula dia
membawa cinta. Namun, dia menghargaiku. Dia seolah mengulurkan tangannya untuk
menarikku dari kesedihanku.
Dia
memang satu langkah lebih unggul darimu. Orangtuaku dan adik-adikku jauh lebih
akrab dengannya. Sehingga tak salah jika mereka mendorongku untuk kembali
kepadanya.
Aku
tahu dan sangat sadar bahwa dia pun pernah menyakitiku. Namun, apalagi yang
kucari jika orangtuaku sudah setuju dan keluargaku juga sudah merasa cocok
dengannya. Satu hal yang pasti, aku meminta kau melepaskanku untuk yang
terakhir kalinya dengan segala kekerasan sikapku karena telah kupertimbangkan
semua saran dari ibuku. Terlalu sulit memang untuk mengatakan bahwa aku
sebenarnya masih menyimpan rasa sayang yang begitu besar padamu. Namun, ketika
kuingat-ingat semua perlakuan burukmu padaku, aku semakin berkeras hati untuk
melepaskanmu.
Tanggapan
yang kau berikan atas permintaanku ini juga membuatku semakin yakin bahwa
sebenarnya kau tidak terluka atas berakhirnya hubungan kita. Justru saat kau
memblokir aksesku untuk melihat dunia maya barumu, kau meyakinkanku bahwa
sebenarnya aku tak pernah berarti untukmu.
Aku
ini wanita. Aku paham pula apa yang Ratih rasakan padamu. Dia masih
mencintaimu. Cara dia memperhatikanmu lewat pesan-pesan singkatnya. Cara dia
mengutarakan cerita-ceritanya tentang kau. Aku yakin masih ada cinta yang
begitu besar di hatinya.
Sedangkan
kau. Dengan upayamu membohongiku. Saat kau bercerita tentang Ratih, saat kau
melarangku untuk menghubungi Ratih, jauh di lubuk hatiku, aku merasakan hal
yang lebih menyakitkan daripada ketika aku mendengarkan kisahmu dengan Maya.
Bahkan, saat kau meminta agar Maya kujadikan objek tulisanku, sama sekali tak
terbersit cemburu di hatiku. Namun, saat kau mengucapkan nama Ratih, aku
benar-benar merasa terluka.
Dua
malam yang lalu, kau menghubungiku untuk meminta penjelasan dan menjalin
hubungan kembali denganmu. Saat itu, ada rasa bersalah yang luar biasa menyiksa
hatiku. Aku merasa bahwa aku telah menyakitimu. Aku menangis. Ya, aku menangis
untuk yang kesekian kalinya karena dirimu. Sejak malam itu, aku selalu dihantui
rasa bersalah. Hingga akhirnya hari ini, aku mengetahui bahwa kau telah dengan
Ratih dan kalian menjadi sepasang kekasih hanya dalam hitungan jam setelah kau
meminta untuk memperbaiki hubungan denganmu.
Aku
sakit. Ya, aku sakit. Bukan karena aku tidak rela kau bersama Ratih, melainkan
aku merasa terluka karena sebagai seorang wanita, aku begitu bodoh. Aku mau kau
perdaya. Bahkan di detak jantungku aku masih mengingat kenangan masa-masa saat
bersamamu. Namun, apa hendak dikata, kebohongan telah kau luncurkan
bertubi-tubi dan rasa sakit di hatiku sudah tak tertanggungkan. Siapa yang mau
tahu apa yang aku rasa?
Cintaku
sudah berubah menjadi kebencian. Bukan aku yang mengubahnya, tapi kau, orang
yang aku sanyangi dengan segenap jiwa dan raga. Cinta itu sudah mati dank au
yang membunuhnya. Sekarang bagiku kau hanya seorang pembunuh berdarah dingin,
pendusta, penjilat. Rasanya tak perlu
kusampaikan pula padamu bahwa aku hampir melupakanmu andai saja malam itu kau
tidak menghubungiku.
Kebencianku
sudah membubung tinggi. Tak ada lagi ruang maaf untukmu. Sudah kukatakan dari
awal padamu bahwa sekali saja kau menyakitiku, maka tak akan ada bagian dari
hatiku untuk memberi maaf padamu. Kau sudah berkali-kali menyakitiku dan sudah
berkali-kali aku memberimu maaf. Namun, untuk kali ini tak akan pernah ada maaf
lagi untukmu. Pengkhianatanmu, arogansimu, egoismemu, semuanya sudah menjadi
pandangan yang biasa bagiku.
Aku
bukan Tuhan, tapi aku dapat pastikan bahwa suatu saat ada masanya kau
diperlakukan sebagaimana kau memperlakukanku. Saat itu kau akan sadar betapa
kau ingin dihargai sebagaimana posisimu berada. Kau akan menganggap itu sebagai
mimpi, padahal itu kenyataan dan kau akan dapati dirimu sedang terluka karena kau
kalah dengan perasaanmu.
Akupun
tidak dapat memungkiri bahwa aku sudah tidak sendiri lagi. Aku tidak tahu ke
mana arah hubunganku ini. Hal terpenting bagiku dia dapat memposisikan aku
sebagai kekasihnya. Bukan sebagai patung yang tidak mempunyai hati. Bukan
sebagai mainan yang dipakai saat diperlukan dan disenangi saja. Setidaknya dia
paham bahwa aku manusia dan mengerti bahwa aku juga ingin dihargai.
Telah
kubuang semua benda yang berhubungan dengan dirimu dan kuharap kau pun
melakukan hal yang sama. Kucukupkan air mataku untukmu. Terlalu berharga air
mataku untuk kepalsuanmu. Anggaplah kita tidak pernah bertemu, tidak pernah
menjadi sepasang kekasih, tidak pernah mengenal satu sama lain. Lakukan hal
yang sama terhadap keluargaku dan akan kulakukan hal yang sama terhadap
keluargamu.
Apa
yang aku curahkan di dalam lembaran-lembaran ini adalah hal terakhir yang ingin
aku berikan padamu. Agar kau paham, agar kau tahu, agar kau dapat merasakan
bagian yang paling menyakitkan yang pernah kau torehkan di hatiku hingga aku
meninggalkanmu. Setelah kau membaca setiap lembaran ini, maka bakarlah agar
tidak ada sama sekali bekas dari hubungan kita.
Kau
yang menutup kisah di antara kita dan bukan aku. Kau menutupnya dengan luka.
Harap kau ingat itu!
Jika
di suatu tempat, suatu hari kelak kita bertemu, maka jangan kau tegur aku. Jika
tanpa diduga salah satu keturunan kita ternyata saling mengenal, hambat
hubungan itu. Aku sama sekali tak ingin ada kaitan lagi antara hidupku dan
hidupmu serta hidup wanita yang begitu kau puja itu. Bahagiamu bukan bahagiaku.
Sedihmu bukan sedihku. Dan begitu pulalah sebaliknya. Setiap kata dalam
lembaran ini, kau ingat agar kau tahu apa yang harus kau lakukan kelak jika
berhadapan denganku.
Berbahagialah
kau dengan kisahmu dan rasakanlah apakah kau mendapatkan ketenangan dalam
hidupmu sedangkan kau telah menyakiti seorang wanita. Namun, tak mengapa di
diriku. Aku akan jalani hidupku seperti dulu saat aku belum mengenalmu. Terima
kasih untuk semua pengorbanan yang kau ungkit di telingaku. Namun, ingat pula
kebaikanku jika kau ingin mengungkit lagi.
Selamat
tinggal saudara Taufiq. Berbahagialah kau dengan kemenanganmu!
0 komentar:
Posting Komentar