03Sabtu,November

TUGAS IPA

ISI HATIKU
Tak pernah terbersit di pikiranku bahwa semua akan jadi seperti ini. Aku menyayangmu dengan segenap jiwa dan ragaku, tapi kau berikan kepadaku segumpal kebohongan yang tak dapat kuterima dengan kekuatanku. Tahukah kau yang kau lakukan jauh lebih menyakitiku? Sungguh tak pernah terbersit di benakku untuk mengkhianatimu, menyakitimu. Namun, kau terlalu dalam membohongiku. Jika meminta kau melepaskanku adalah sebuah kesalahan, sungguh aku meminta maaf. Namun, apakah kemudian kau harus melukai hatiku, sedangkan aku masih menjaga perasaanmu?
Ketika sikapmu mulai berubah kepadaku, aku hanya bisa diam. Kau selalu bilang jika aku merasa tidak nyaman dengan sikapmu, maka aku harus mengatakannya padamu. Namun, setiap aku menyatakan ketidaknyamananku terhadap hubungan yang kau jalin dengan Ratih, adakah kau mendengarkanku? Aku kehilangan janji cintamu, yang kutemukan hanya keegoisanmu. Aku mengeluh dan kau tak mempedulikanku. Pernahkah kau pahami kalau aku juga ingin didengar, ingin dimengerti, ingin dihargai?
Sadarkah kau, aku membutuhkanmu di tengah kesedihanku? Namun, kau menghilang. Sadarkah kau bahwa aku merasa kau memanfaatkanku? Kau hanya menghubungiku di saat kau membutuhkanku, setelah itu, tak pernah kau gubris aku. Seakan tidak ada artinya aku yang kau sebut kekasih hatimu ini. Seakan tidak ada artinya perjuanganku untuk mendapatkan hati orangtuaku agar merestui hubungan kita.
Aku meminta kau melepaskanku bukan tanpa sebab. Orangtuaku sudah menyatakan ketidaksetujuannya kepadaku. Sedangkan aku merasa bahwa hatimu sudah tidak ada untukku. Ada wanita lain di sana. Aku tahu itu sejak aku datang ke kota kelahiranmu untuk menemui ibumu. Kau mengatakan dia yang menghubungi, tapi kau lupa bahwa aku tidak buta. Kau membuka kotak panggilan keluar dan jelas ada nama Ratih di sana. Aku yang masih dipenuhi rasa cinta dan sangat mempercayai dan meyakinimu, tak pernah menyimpan rasa curiga kepadamu.
Aku semakin meyakini bahwa kau telah berubah, saat kau hanya menghubungiku hanya sekedar untuk menanyakan apakah naskah yang milikmu yang kukerjakan sudah selesai. Aku ini asistenmu atau kekasihmu. Kau tak pernah tahu bahwa setiap aku menyadari perubahanmu, aku menangis hingga akhirnya keluargaku mengetahui hal itu dan menyatakan ketidaksetujuannya pada dirimu.
Masih terngiang di telingaku dan masih tergambar jelas di mataku. Dua malam yang lalu kau menghubungikku, menyatakan semua kesedihanmu karena aku meminta kau melepaskanku. Kau tahu aku menangis? Aku menangis bukan karena aku tidak sanggup meninggalkanmu, melainkan karena aku merasa bersalah telah menyakitimu. Aku meminta kerelaanmu melepaskan aku karena aku memikirkan hati orangtuaku, adik-adikku, Ratih dan kau. Aku mengorbankan hatiku sendiri dengan harapan jika benar kau sudah tidak mencintaiku, kau dapat mencari orang lain yang jauh lebih pantas daripada aku. Namun, saat aku tahu kau dengan Ratih keesokan harinya, hatiku terbakar amarah.
Sakit yang kurasakan bukan karena ketidakrelaanku kau dengannya, tapi karena dengan itu semua dugaanku terbukti benar.  Hari ini pula saat aku menyadari kau tak sebaik yang kukira, aku pun tersadar bahwa tak selayaknya selama ini aku memperjuangkan dirimu. Saat ini pula kupahami bahwa kata-katamu hanya omong kosong belaka. Suatu saat kau akan menuai buah dari perbuatanmu padaku. Tidakkah kau sadari bahwa adikmu hampir saja menikah dengan seorang pria beristri karena kebohongan? Sebentar lagi kau akan tahu jika adikmu merasakan kepedihan yang lebih daripada yang aku rasakan.
Tangan Tuhan yang bertindak. Aku hanya bisa menyaksikan. Karma itu memang pasti akan berlaku. Semua akan terbalaskan, tanpa aku harus mengotori tanganku untuk bertindak. Aku tak pernah berpikir untuk mengulangi semuanya denganmu. Aku rasa semua sudah cukup dan memang sudah selayaknya untuk diakhiri.
Kau sepantasnya tahu isi hatiku yang sebenarnya terhadap dirimu. Sejak awal kita bertemu hingga kita berpisah, peraaanku tak selalu sama. Bertemu denganmu bukan menjadi tujuan utamaku untuk datang ke Jakarta, melainkan keinginanku untuk bertemu dengan teman-temanku yang jelas sebagai juniormu, terutama mantanku. Bukan untuk menjalin cinta, melainkan untuk sekedar bertukar cerita dan saling mengingat masa-masa lalu. Kejujuranku padamu sudah kujelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada sedikitpun keinginan untuk menjadi pacarmu saat pertama melihatmu. Aku hanya melihat kau sebagai teman biasa, tidak lebih.
Ketika ke monas, hanya satu hal yang aku temukan dari dirimu, yaitu keinginan untuk mencari seseorang yang bisa serius menjalani hubungan denganmu. Satu hal jujur yang belum aku katakan padamu, aku melihat dirimu bukan sebagai seorang Taufiq, melainkan sebagai seseorang yang masih ada di dalam lubuk hatiku. Namun, sejak itu, aku belajar mencintaimu.
Bukan hal yang gampang. Tidak dalam sehari dua hari, tetapi lebih. Aku bertarung dengan perasaanku yang ingin tetap mempertahankan pemuda yang berada di hatiku itu. Sedangkan aku ingin kau yang ada di hatiku. Setiap malam dalam mimpiku kau hadir, tapi bukan sebagai seorang kekasih, melainkan seseorang yang tidak menggubris keberadaanku sama sekali. Namun, aku tidak peduli.
Hingga akhirnya aku perlahan mencintaimu dan semakin mencintaimu. Begitu sakit rasanya saat aku tahu kau akan ditugaskan ke Lebanon. Jangankan untuk melihat kau tewas di sana, untuk mendengar kau terbatuk saat sedang menelfonku saja sudah menjadi siksaan tersendiri buatku. Saat kau marah padaku untuk pertama kalinya, saat itu pula aku tersadar bahwa sebenarnya aku sudah terlalu mencintaimu.
Saat mendengarkan pengakuanmu mengenai hubungan-hubungan yang pernah kau jalin dengan wanita-wanita lain, bukannya hatiku tidak sakit. Sakit sekali rasanya, tapi cukup aku yang tahu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, seorang pemuda menyatakan secara gamblang masa lalunya yang tak dapat dikatakan sempurna, dan aku menghargai itu.
Di saat hatiku yang sangat mncintaimu merindukanmu, tiba-tiba kau berubah drastis. Tak ada lagi perhatian, tak ada lagi kata-kata cinta. Aku tidak pernah menuntut untuk hal-hal itu. Aku hanya meminta kejujuran. Dan aku tidak menemukan itu. Apalagi saat aku ke Madiun, aku terima kebohonganmu dengan lapang dada dengan harapan suatu saat nanti kau akan menceritakan hal yang sebenarnya. Namun, hingga detik ini tak pernah kau ungkapkan kejujuran padaku.
Aku masih sangat ingat, saat kau membebtakku untuk yang pertama kalinya. Awal September, hanya karena kekhawatiranku akan keadaaanmu, kau membentakku. Aku sakit hati dan aku melupakan kalau aku mencintaimu. Namun, aku tak bisa. Semakin hari kau semakin berubah. Kau hanya menghubungiku jika kau butuh. Ketika kau ingin mengetahui apakah karya tulis yang kubuatkan untukmu sudah selesai, maka saat itu, kau seolah membujukku hingga kemudian memintaku untuk membuatnya. Jangan kau kira aku tidak menyadari itu! Tak ada satupun yang luput dari pengamatanku.
Akhir September, kau buat kau menangis untuk yang ke sekian kalinya. Malam itu kau menelefonku, di tengah-tengah pembicaraan dan tepat saat aku yang berbicara kau menutup telefonnya. Ini tak biasa. Jika biasanya hal itu terjadi, kau pasti akan mengirimkan pesan singkat berisi alasan terputusnya telefon padaku. Namun, jangankan pesan singkat, kau yang kutemui di jejaring sosial beberapa detik setelah kau putus telefon, sama sekali tidak menggubrisku.
Belum lagi saat kau menelefonku untuk waktu yang lainnya. Kau tinggalkan aku untuk mengobrol dengan rekan-rekanmu dan menonton televisi. Aku tak pernah tahu sebenarnya kau menganggap aku apa.
Awal Oktober, aku meminta kau melepaskanku karena aku sudah tidak tahan diperlakukan selayaknya patung yang tidak mempunyai hati. Aku pesimis untuk bisa hidup bahagia dengan orang yang aku cinta, tapi tidak mencintaiku. Aku merasa seorang diri. Ingatkah kau bagaimana tanggapanmu waktu itu? Kau seperti tidak menganggap serius permintaanku. Kau katakan bahwa tidak ada yang perlu dibahas dan aku seharusnya bertindak tidak seperti anak kecil. Aku hanya diam. Kau harus tahu bahwa aku mulai membencimu saat itu, tapi aku tak ingin menyakitimu. Sama sekali tidak ingin menyakitimu.
Di tengah kesedihanku melihat sikapmu. Di tengah sakitnya hatiku karena perangaimu, orang yang dulu hatiku pertahankan untuk tetap mencintainya hadir kembali ke hadapanku. Dia tidak membawa perhatian untukku. Tidak pula dia membawa cinta. Namun, dia menghargaiku. Dia seolah mengulurkan tangannya untuk menarikku dari kesedihanku.
Dia memang satu langkah lebih unggul darimu. Orangtuaku dan adik-adikku jauh lebih akrab dengannya. Sehingga tak salah jika mereka mendorongku untuk kembali kepadanya.
Aku tahu dan sangat sadar bahwa dia pun pernah menyakitiku. Namun, apalagi yang kucari jika orangtuaku sudah setuju dan keluargaku juga sudah merasa cocok dengannya. Satu hal yang pasti, aku meminta kau melepaskanku untuk yang terakhir kalinya dengan segala kekerasan sikapku karena telah kupertimbangkan semua saran dari ibuku. Terlalu sulit memang untuk mengatakan bahwa aku sebenarnya masih menyimpan rasa sayang yang begitu besar padamu. Namun, ketika kuingat-ingat semua perlakuan burukmu padaku, aku semakin berkeras hati untuk melepaskanmu.
Tanggapan yang kau berikan atas permintaanku ini juga membuatku semakin yakin bahwa sebenarnya kau tidak terluka atas berakhirnya hubungan kita. Justru saat kau memblokir aksesku untuk melihat dunia maya barumu, kau meyakinkanku bahwa sebenarnya aku tak pernah berarti untukmu.
Aku ini wanita. Aku paham pula apa yang Ratih rasakan padamu. Dia masih mencintaimu. Cara dia memperhatikanmu lewat pesan-pesan singkatnya. Cara dia mengutarakan cerita-ceritanya tentang kau. Aku yakin masih ada cinta yang begitu besar di hatinya.
Sedangkan kau. Dengan upayamu membohongiku. Saat kau bercerita tentang Ratih, saat kau melarangku untuk menghubungi Ratih, jauh di lubuk hatiku, aku merasakan hal yang lebih menyakitkan daripada ketika aku mendengarkan kisahmu dengan Maya. Bahkan, saat kau meminta agar Maya kujadikan objek tulisanku, sama sekali tak terbersit cemburu di hatiku. Namun, saat kau mengucapkan nama Ratih, aku benar-benar merasa terluka.
Dua malam yang lalu, kau menghubungiku untuk meminta penjelasan dan menjalin hubungan kembali denganmu. Saat itu, ada rasa bersalah yang luar biasa menyiksa hatiku. Aku merasa bahwa aku telah menyakitimu. Aku menangis. Ya, aku menangis untuk yang kesekian kalinya karena dirimu. Sejak malam itu, aku selalu dihantui rasa bersalah. Hingga akhirnya hari ini, aku mengetahui bahwa kau telah dengan Ratih dan kalian menjadi sepasang kekasih hanya dalam hitungan jam setelah kau meminta untuk memperbaiki hubungan denganmu.
Aku sakit. Ya, aku sakit. Bukan karena aku tidak rela kau bersama Ratih, melainkan aku merasa terluka karena sebagai seorang wanita, aku begitu bodoh. Aku mau kau perdaya. Bahkan di detak jantungku aku masih mengingat kenangan masa-masa saat bersamamu. Namun, apa hendak dikata, kebohongan telah kau luncurkan bertubi-tubi dan rasa sakit di hatiku sudah tak tertanggungkan. Siapa yang mau tahu apa yang aku rasa?
Cintaku sudah berubah menjadi kebencian. Bukan aku yang mengubahnya, tapi kau, orang yang aku sanyangi dengan segenap jiwa dan raga. Cinta itu sudah mati dank au yang membunuhnya. Sekarang bagiku kau hanya seorang pembunuh berdarah dingin, pendusta, penjilat.  Rasanya tak perlu kusampaikan pula padamu bahwa aku hampir melupakanmu andai saja malam itu kau tidak menghubungiku.
Kebencianku sudah membubung tinggi. Tak ada lagi ruang maaf untukmu. Sudah kukatakan dari awal padamu bahwa sekali saja kau menyakitiku, maka tak akan ada bagian dari hatiku untuk memberi maaf padamu. Kau sudah berkali-kali menyakitiku dan sudah berkali-kali aku memberimu maaf. Namun, untuk kali ini tak akan pernah ada maaf lagi untukmu. Pengkhianatanmu, arogansimu, egoismemu, semuanya sudah menjadi pandangan yang biasa bagiku.
Aku bukan Tuhan, tapi aku dapat pastikan bahwa suatu saat ada masanya kau diperlakukan sebagaimana kau memperlakukanku. Saat itu kau akan sadar betapa kau ingin dihargai sebagaimana posisimu berada. Kau akan menganggap itu sebagai mimpi, padahal itu kenyataan dan kau akan dapati dirimu sedang terluka karena kau kalah dengan perasaanmu.
Akupun tidak dapat memungkiri bahwa aku sudah tidak sendiri lagi. Aku tidak tahu ke mana arah hubunganku ini. Hal terpenting bagiku dia dapat memposisikan aku sebagai kekasihnya. Bukan sebagai patung yang tidak mempunyai hati. Bukan sebagai mainan yang dipakai saat diperlukan dan disenangi saja. Setidaknya dia paham bahwa aku manusia dan mengerti bahwa aku juga ingin dihargai.
Telah kubuang semua benda yang berhubungan dengan dirimu dan kuharap kau pun melakukan hal yang sama. Kucukupkan air mataku untukmu. Terlalu berharga air mataku untuk kepalsuanmu. Anggaplah kita tidak pernah bertemu, tidak pernah menjadi sepasang kekasih, tidak pernah mengenal satu sama lain. Lakukan hal yang sama terhadap keluargaku dan akan kulakukan hal yang sama terhadap keluargamu.
Apa yang aku curahkan di dalam lembaran-lembaran ini adalah hal terakhir yang ingin aku berikan padamu. Agar kau paham, agar kau tahu, agar kau dapat merasakan bagian yang paling menyakitkan yang pernah kau torehkan di hatiku hingga aku meninggalkanmu. Setelah kau membaca setiap lembaran ini, maka bakarlah agar tidak ada sama sekali bekas dari hubungan kita.
Kau yang menutup kisah di antara kita dan bukan aku. Kau menutupnya dengan luka. Harap kau ingat itu!
Jika di suatu tempat, suatu hari kelak kita bertemu, maka jangan kau tegur aku. Jika tanpa diduga salah satu keturunan kita ternyata saling mengenal, hambat hubungan itu. Aku sama sekali tak ingin ada kaitan lagi antara hidupku dan hidupmu serta hidup wanita yang begitu kau puja itu. Bahagiamu bukan bahagiaku. Sedihmu bukan sedihku. Dan begitu pulalah sebaliknya. Setiap kata dalam lembaran ini, kau ingat agar kau tahu apa yang harus kau lakukan kelak jika berhadapan denganku.
Berbahagialah kau dengan kisahmu dan rasakanlah apakah kau mendapatkan ketenangan dalam hidupmu sedangkan kau telah menyakiti seorang wanita. Namun, tak mengapa di diriku. Aku akan jalani hidupku seperti dulu saat aku belum mengenalmu. Terima kasih untuk semua pengorbanan yang kau ungkit di telingaku. Namun, ingat pula kebaikanku jika kau ingin mengungkit lagi.
Selamat tinggal saudara Taufiq. Berbahagialah kau dengan kemenanganmu!


0 komentar:

Posting Komentar