CERPEN

Sesumbar Janji Untuk Seribu Wanita
Janji akan sebuah pernikahan merupakan sesuatu yang suci dan begitu diinginkan oleh setiap wanita, termasuk diriku. Sayangnya, tidak semua janji pernikahan yang disampaikan pria itu berisi kesungguhan hatinya. Aku pun menjadi salah satu korban janji palsu akan sebuah pernikahan dari seorang pemuda yang tidak memunyai hati.
Pemuda yang memberikan janji palsu padaku itu, bernama Widiyan. Dia bukan pemuda yang tampan. Bukan pula pemuda yang kaya atau memunyai kemampuan khusus. Aku menerimanya untuk menjadi pacarku karena dua alasan, yaitu pangkatnya yang lebih tinggi dari mantan-mantanku sebelumnya dan bayangan Galang yang selalu muncul setiap kali aku dengannya.
Aku dikenalkan dengan Widiyan via telefon oleh ibu dari salah satu temanku. Sepanjang dua minggu kami berkomunikasi via telefon hingga akhirnya aku memutuskan untuk datang ke Jakarta. Niatku untuk ke Jakarta didukung oleh kabar yang menyatakan bahwa Galang dan beberapa temannya juga akan datang ke Jakarta. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk datang ke Jakarta. Setidaknya aku dapat bertemu dengan Galang. Itulah yang menjadi harapanku.
Namun, harapanku tidak tercapai. Berita kedatangan Galang itu tidak benar. Di waktu itulah, ibu dari temanku yang memperkenalkanku dengan Widiyan, mempertemukanku dengannya. Sejujurnya aku tidak merasakan apapun ketika bertemu dengannya. Dia terlihat biasa saja dan tidak memunyai hal apapun yang mampu menarik perhatianku.
Malam harinya adalah malam minggu. Widiyan mengajakku ke beberapa tempat di Jakarta. Dia menggandeng tanganku dan bersikap seperti seorang pemuda yang ingin melindungi pasangannya. Aku menghargai itu dan merasa takjub dengan apa yang telah dilakukannya. Aku tidak pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya.
Ketika kami ke Monas, aku berjalan tepat di belakangnya dengan tangan yang masih dipegang erat olehnya. Sekelebat, aku melihat bayangan Galang dalam dirinya. Mungkin aku salah karena menganggapnya sebagai Galang. Namun, itu yang kudapati setiap kali aku bersamanya.
Keesokan harinya kami bersepakat untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Hubungan ini berjalan terus tanpa ada hambatan. Walaupun terkadang aku merasa bosan di saat dia terus bercerita mengenai mantannya, aku tetap mendengarkan curahan hatinya. Walaupun aku masih sering dibayangi oleh anganku tentang Galang, aku masih terus belajar mencintainya dengan sepenuh hatiku.
Menjelang dua bulan masa kami berpacaran, dia mendapatkan tugas untuk masuk ke dalam anggota UNIFIL di Lebanon. Demi kelancaran tugasnya, aku berpuasa dan terus mendukungnya selama proses pelatihan. Dia pun menyatakan keseriusannya untuk menikahiku kala itu.
Sebagai seorang wanita, aku merasa bahagia mendengar pernyataannya itu. Walaupun aku masih belum dapat melupakan Galang, aku meyakini bahwa dia akan mampu membahagiakanku. Di mataku, dia merupakan pemuda yang paling bisa membuatku tersenyum. Dia pandai merangkai kata-kata yang dapat membuatku merasa dilambungkan hingga ke langit ke tujuh. Aku pun terbuai dan terlena dengan semua rayuannya.
Pertengkaran pertama kami terjadi setelah tiga bulan berpacaran. Seorang wanita dari masa lalunya dan diakuinya sebagai orang yang pernah menolak cintanya hadir dalam hubungan kami. Wanita itu bernama Mala. Aku dapat merasakan bahwa Widiyan masih menyukai Mala, tetapi dia tetap bersikeras untuk mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkanku dengan orang tuanya.
Bulan Agustus 2011, aku berangkat ke Madiun untuk menemui Widiyan yang menungguku di rumahnya. Semua itu kulakukan sebagai bentuk penghormatanku atas keinginannya menikahiku. Untuk itu, aku membayar mahal. Aku harus bertengkar dengan mamaku yang tidak pernah menyetujui hubunganku dengan Widiyan.
Setelah kunjunganku ke Madiun, hubungan kami justru semakin merenggang. Selain orangtuaku yang tidak menyetujui hubungan kami, orangtua Widiyan pun menunjukkan sikap yang sama. Sikap orangtua Widiyan itu disebabkan oleh ramalan seorang paranormal yang menyarankan kami untuk berpisah.
Pada awalnya, aku memperjuangkan hubunganku dengan Widiyan. Berbagai upaya untuk mengambil hati orangtuaku dan orangtuanya kulakukan. Setelah aku menyadari bahwa aku berjuang sendirian dan Widiyan tidak melakukan apapun, aku mulai belajar untuk melepaskannya. Hal tersebut mungkin tidak terlalu menyakitkan untukku. Namun, aku merasakan sakit yang begitu dalam ketika aku tidak dihargai olehnya.
Dalam suatu pembicaraan via telefon, Widiyan tiba-tiba saja memutuskan percakapan tanpa pamit dan kala itu aku sedang berbicara. Aku mengira bahwa dia akan menghubungiku kembali, tetapi aku salah. Dia tidak memedulikanku. Justru aku menemukannya sedang asyik mengobrol ria dengan Mala. Aku pun mulai merasakan darahku mendidih. Aku merasa tidak dihargai.
Akupun mencoba berpikir positif mengenai peristiwa itu. Aku melupakan rasa sakit hatiku. Aku memaafkan apa yang telah dilakukannya padaku. Hubungan kami mulai membaik untuk sementara waktu.
Bulan September 2011, merupakan fase genting di dalam hubungan kami. Aku diminta olehnya untuk membantunya membuat sebuah karya tulis yang akan diikutsertakan dalam sebuah lomba yang diadakan kantornya. Karya tulis ini minimal harus terdiri dari 40 halaman dengan batas pengumpulannya pada tanggal 30 September 2011. Sepanjang September 2011, dia sering menghubungiku khusus untuk menanyakan apakah karya tulisnya sudah selesai atau belum. Selebihnya dia tidak pernah menghubungiku lagi. Aku merasa dikejar-kejar oleh hutang yang harus segera kulunasi.
Aku pun menyelesaikan makalah itu pada minggu pertama bulan September 2011. Aku langsung mengirimkan karyaku itu kepadanya melalui email. Setelah mendapatkan makalah yang diminta, dia tidak pernah menghubungiku. Sekalipun dia menghubungiku hanya di saat dia ingin berdiskusi mengenai isi makalah dan belajar bahasa Inggris untuk persiapan keberangkatannya ke Lebanon. Kala itu, aku merasakan bahwa hubunganku dengannya sudah tidak sehat. Aku hanya dimanfaatkan saja.
Bersamaan dengan kejenuhanku terhadap hubunganku dengan Widiyan, Galang kembali menghubungiku. Dia tidak langsung menyatakan perasaannya padaku. Kami bersikap seperti dua orang yang bersahabat dan menjajaki jalan untuk membentuk hubungan yang lebih dari sekedar sahabat. Aku mengetahui arah setiap pembicaraan yang disampaikan Galang padaku. Walaupun dia tidak menyatakan rasa sayangnya, aku mengetahui apa yang diharapkannya. Aku pun melakukan shalat istikharah.
Setiap aku selesai shalat istikharah, aku selalu mendapati bayangan Galang di pelupuk mataku. Hatiku dengan mudah terlepas dari Widiyan. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk mengakhiri hubunganku dengan Widiyan.
Tepat enam bulan kami berpacaran, aku menghubungi Widiyan untuk menyatakan keputusanku. Dia bersikeras untuk mempertahankan hubungan kami, tetapi aku menolak. Dia sempat menelfonku dan memohon agar aku bersedia menjalin kembali hubungan kami. Aku tetap pada pendirianku. Dia pun berkata, “aku akan selalu mencintaimu”, di akhir pembicaraan kami.
Manisnya kata-kata itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Seusai dia menyatakan bahwa dia akan selalu mencintaiku, keesokan harinya, dia berpacaran dengan Mala. Aku pun hanya tersenyum dengan segenap kekesalan di hatiku. Kala itu, aku sudah menjalin hubungan selama satu minggu dengan Galang.
Aku marah padanya. Bukan karena aku merasa cemburu dengan hubungan mereka. Aku hanya merasa menyesal karena semua perbuatanku pada orangtuaku yang kulakukan untuk membela manusia seperti Widiyan. Sungguh tidak ada gunanya.
Hal yang paling membuatku terpukul dan sakit hati adalah pengakuan Mala yang kudapatkan belakangan ini, di saat hubungan Mala dan Widiyan sudah kandas. Fakta yang kudapatkan, Widiyan menemui Mala saat dia berada di Solo, selemu menemuiku. Dia berkata bahwa dia berada di Yogyakarta untuk menghadiri acara yang diadakan keluarga atasannya. Namun, ternyata dia menghabiskan waktunya dengan Mala. Selain itu, wanita yang diakui Widiyan sebagai mantannya dan bernama Wulan mengatakan bahwa mereka masih menjalin hubungan hingga saat ini.
Mereka semua sama sepertiku. Widiyan menjanjikan mereka sebuah pernikahan sepulangnya dari Lebanon. Aku bersyukur karena fakta-fakta itu kutemukan ketika aku menikmati indahnya impianku dan Galang untuk bersatu. Aku tidak merasakan luka yang begitu dalam. Aku hanya merasakan penyesalan karena pernah memperjuangkan orang yang salah. Widiyan adalah orang yang tidak pantas untuk diperjuangkan.
Aku sudah menghapuskan setiap kenanganku dengan Widiyan. Sekalipun dia dalam keadaan yang berbahagia, aku mengetahui bahwa karma akan menghampirinya. Hidup itu tidak seindah yang direncanakannya. Dia dapat berkata pada setiap wanita bahwa dia akan menikahi wanita tersebut, tapi hanya Tuhan yang tahu siapa yang menjadi jodohnya kelak. Sungguh aku meyakini kekuasaan Tuhan. Setiap perbuatan Widiyan akan dibalas oleh Tuhan dengan balasan yang setimpal.
Hidupku yang sekarang sudah cukup bahagia . Aku tidak ingin merusaknya dengan memikirkan apa yang terjadi pada Widiyan. Aku hanya menginginkan setiap detik dalam hidupku berjalan dengan baik. Biarlah Widiyan mengumbar janjinya kepada wanita mana pun! Aku tidak peduli. Suatu saat, dia akan bertemu denganku. Di saat itu, aku ingin melihat seberapa besar keberaniannya untuk menatap wajahku dan menegurku, wanita yang pernah dipermainkannya.



Penulis (saya) bernama Erlinda Matondang dan akrab dipanggil “Er” atau “Lin”. Saya merupakan wanita berdarah batak yang lahir di tanah Jawa pada tanggal 7 Agustus 1991. Saya bertempat tinggal di Karangasem Rt. 02/02, Karangasem, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah. Saat ini, saya merupakan seorang mahasiswa di Universitas Slamet Riyadi Surakarta jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Jika ingin menghubungi saya, maka rekan-rekan dapat menghubungi saya di email saya, erlinda.maharani@yahoo.com. Beberapa karya saya baik yang berupa fiksi maupun non-fiksi dapat dilihat di erlindamatondang.blogspot.com.

0 komentar:

Posting Komentar