Love in Silence
|
|
ERLINDA MATONDANG
|
2012
|
|
Love in Silence
|
|
ERLINDA MATONDANG
|
2012
|
|
|
|
|
|
|
Kupersembahkan
karya kecilku ini untuk dia yang terkasih, yang selalu hadir dalam setiap
bagian dari hidupku, yang tidak pernah dapat kulupakan dan selalu kucinta
dengan caraku. Dia adalah Novri Hamzah.
Kekasih
hatiku, semoga setiap doa dan harapan kita dikabulkan oleh Sang Khalik. Ini
salah satu upayaku menghibur hatiku yang merindu dan mencapai impian yang kita
torehkan bersama. Dari hatiku untuk hatimu.
Kekasihmu,
Erlinda
Matondang
Mencintaiku
dalam Diam
Erlinda
Matondang
Terbit sebagai mentari
Seperti itulah cinta yang kau tanam di hatiku
Bersinar dari jauh
Seperti itulah kasih yang kau berikan
Kau tidak pernah berkata cinta
Namun, hatimu berbicara dengan caramu
Kau tidak pernah mengucapkan sayang
Namun, kurasakan dalamnya rasamu dengan caraku
Kau mencintaiku dalam diam
Tanpa kata, kau sematkan mimpi dalam jiwaku
Tanpa kata, kau kembalikan aku pada harapan dan
perjuangan hidup
Kau mencintaiku dalam diam
Selamanya akan selalu begitu
Dan aku pun akan mencintaimu
Dengan caraku
Dengan menerima dirimu yang selalu.....
mencintaiku dalam diam
DAFTAR
ISI
Isyarat
Cinta yang Terabaikan..............................................................................
|
|
Datang
dan Pergi Tanpa
Kata...............................................................................
|
|
Pelarian
yang Menyakitkan...................................................................................
|
|
Cinta
Palsu............................................................................................................
|
|
Menyambung
Benang Putus.................................................................................
|
|
Mencintaiku
dalam
Diam......................................................................................
|
|
Akhir
dari Sebuah Penantian Panjang..................................................................
|
|
Isyarat Cinta yang Terabaikan
Kebanyakan wanita menganggap
pernyataan cinta itu penting, termasuk diriku. oleh karena itu, aku tidak peka
pada isyarat yang kau berikan padaku.
Entah
bagaimana dan apa penyebab hatiku jatuh cinta. Akupun tidak pernah bermimpi
untuk jatuh cinta dan memercayai cinta sejati. Namun, aku dapati jiwaku
digenggam oleh seorang pemuda asing yang terasa tak asing sejak awal bertemu.
Pernah
aku berkata pada diriku sendiri, “Rhe, tidak pernah ada cinta sejati dalam
hidup ini. Hampir semua kisah cinta itu menyakitkan. Jadi, jangan pernah jatuh
cinta!” Ironisnya, aku tetap jatuh cinta. Ultimatum yang kujatuhkan pada diriku
tidak pernah berlaku. Ya, siapa yang kuasa melawan hati dan perasaan?
Bukan mudah menakhlukkan hatiku, melainkan
sangat sulit. Aku tidak pernah berharap mendapatkan pemuda yang kaya,
berpangkat dan tampan. Harapanku hanya satu, aku hidup bahagia dengan orang
yang mencintaiku tanpa syarat, tulus dan tidak pernah memandang kekurangan dan
kelebihanku. Lantas siapa pemuda itu?
Pemuda
itu adalah orang yang saat ini sedang kupandangi foto-fotonya yang berada di
memori komputerku. Dia yang mengisi ruang hatiku selama ini. Tidak berbatas
ruang dan waktu. Aku dengan kegilaanku yang hampir tidak masuk akal selalu
menyimpan cinta kepadanya. Pemuda itu bernama, Galang Novangga.
***
Aku
masih duduk di depan komputerku. Kupandangi foto-foto Galang yang berada di
layar komputerku. Tidak ada fotoku dengannya karena memang kami tidak pernah
berfoto bersama. Aku memandanginya untuk melepaskan kerinduanku pada Galang.
Aku memandanginya sekedar membuka memoriku saat bersamanya, saat pertama
mengenalnya, saat aku kehilangannya, saat aku melarikan diri dari bayangannya. Pahit
dan manis kehidupan yang kurasakan saat bersamanya. Itulah pengobat rindu yang
paling mujarab untukku.
***
Sore
itu, mentari masih bersinar cerah, ketika kulihat segerombol pemuda berseragam
biru dengan langkah tegap yang teratur dan tertata rapi melintasi jalan di
depan rumah kontrakan baru keluargaku. Beberapa orang dari mereka memasuki
halaman kos yang berada di depan rumah kontrakanku.
Pemilik
rumah kontrakan keluargaku dan pemilik kos yang berada di depan rumahku adalah
orang yang sama. Rumah kontrakan yang aku dan keluargaku tempati tidak memunyai
kamar mandi. Sehingga untuk mandi, mencuci pakaian dan piring, kami harus ke
kamar mandi kos yang berada di seberang jalan.
Sore
itu, aku yang sedang mencuci pakaian di dekat kamar mandi kos tersebut, ditegur
oleh mereka dengan sangat ramah. Aku pun hanya menanggapinya dengan biasa. Untukku
sapaan dan teguran mereka hanya hal yang biasa yang sering diucapkan oleh
sebagian besar orang ketika bertemu dengan orang lain.
Tidak
beberapa lama setelah aku selesai mencuci dan mandi, mamaku pulang membawa
banyak barang dagangan yang akan dijual di warung kecil kami. Barang dagangan
itu tidak berasal dari modal pribadi kami. Modal yang digunakan untuk membuka
warung tersebut merupakan pinjaman yang diberikan oleh si pemilik rumah
kontrakan. Pinjaman modal yang tidak banyak itu menjadi tumpuan harapanku untuk
memperbaiki hidup kami yang sedang berada pada fase tersulit dari sebuah roda
kehidupan. Oleh karena itu, dengan penuh semangat, aku berlari mendekati mamaku
dan membantu beliau membawakan barang belanjaan ke dalam rumah.
Setelah
aku dan adik-adikku dengan antusias menyusun barang dagangan yang ada di warung
yang sekaligus menjadi rumah kami, aku duduk dengan santai di sebuah dipan
panjang yang terletak di teras rumah. Saat itu, aku merasa bersyukur atas apa
yang diberikan Tuhan padaku. Aku bersyukur karena aku masih dapat merasakan keindahan
waktu petang. Sebelumnya aku hampir tidak pernah merasakan keindahan waktu
petang lagi karena tempat tinggalku yang terpencil dan tidak memiliki teras
yang dapat kumanfaatkan untuk bersantai seperti ini.
Tiba-tiba
seorang pemuda datang ke warungku dan memegang salah satu bungkus kopi susu.
“Mbak,
kopi susunya berapa?” tanyanya padaku.
“Sebentar
ya, saya juga kurang tahu,” jawabku seraya mendekati mamaku yang berada di
dalam kamar.
Mamaku
keluar dari kamar dan membuatkan secangkir kopi susu yang dimintanya. Sedangkan
dia kembali ke kamar kos yang berada di seberang jalan dan menghadap tepat ke
arah rumah kontrakanku. Setelah mama selesai membuatkan kopi susu yang
dipesannya, aku diminta mama untuk mengantarkan kopi susu tersebut kepadanya.
Dengan perasaan yang sedikit malu kuantarkan kopi susu itu kepadanya.
“
Baru pindah ya, Mbak?” tanyanya kepadaku.
“Iya.
Baru pindah kemarin sore,” jawabku singkat.
“Pantesan.
Baru kelihatan hari ini,” ucapnya.
Kubalas
ucapannya dengan senyum simpul. Aku merasa tidak nyaman dengan pandangan
teman-temannya yang terus melihat ke arahku. Sehingga kupercepat langkahku
meninggalkan kos itu.
Waktu
berjalan menuju malam. Selepas adzan maghrib, aku bersantai ria dengan
adik-adikku di dipan panjang yang terletak di depan rumah. Kami bercanda dengan
riangnya. Di depan deretan kamar kos yang berada di seberang jalan, aku melihat
beberapa pasang mata tertuju ke arah kami. Namun, kami tidak peduli. Kami tetap
sibuk dengan canda di antara kami. Ya, hari itu
menjadi hari pertama aku menemui dan mengenal kehidupan dari seorang
prajurit udara. Inilah awal dari sebuah jalan yang mempertemukanku pada
kehidupanku yang ditakdirkan harus kulalui.
***
Keesokan
harinya, Minggu, 5 Juni 2009, aku mengajar les di Kartasura. Itulah
satu-satunya sumber penghasilanku. Aku mengandalkan gajiku yang hanya Rp
20.000,00 tiap pertemuan untuk memenuhi kebutuhan sekolahku yang hanya tinggal
menunggu dibagikannya ijazah. Di tengah perjalanan pulang, aku bertemu dengan
mama yang membawa banyak barang dagangan.
Sesampainya
dirumah, aku dan mama terkejut melihat warung berantakan. Adik-adikku mengeluh
dan menceritakan bahwa siswa-siswa angkatan itu pesiar[1]
dan langsung memesan banyak sekali mie untuk makan siang. Aku dan mama hanya
tertawa mendengarkan cerita mereka. Aku paham benar kalau adik-adikku tidak
bisa memasak dan tidak terbiasa bekerja dengan sigap dan cekatan. Aku dapat
membayangkan rasa masakan adik-adikku yang pasti tidak karuan. Oleh karena itu,
ketika aku mengambil piring-piring kotor yang mereka letakkan di depan kamar
kos mereka, aku hanya tersenyum dan mama meminta maaf atas peristiwa itu.
Siang
itu, terik matahari terasa begitu panas
menyinari bumi.aku yang berada di dalam kamar beriseng-iseng ria mematut-matut
diri di depan cermin. Tiba-tiba terdengar suara pemuda sedang memanggil-manggil
di depan warung. Aku yang sedang mengenakan pakaian rapi langsung menyambut dan
menanyakan keperluannya.
“Mbak,
ada nescafe?” tanya pemuda itu.
“Kalau
Ces HP ada, Mas. Tapi, takutnya nanti
nggak cocok,” jawabku.
Dia
mengernyitkan keningnya. Aku heran dengan ekspresinya. Oleh karena itu, aku
mempertegas kalimatku.
“Nggak
ada, Mas,” tukasku.
“Terus
ini apa?” tanyanya sambil menunjuk pada serenteng kopi susu yang tergantung di
deretan barang dagangan.
“Ada
apa, Rhe?” tanya mama.
“Bu,
ada nescafe?” tanya pemuda itu pada
mama.
“Adanya
yang merek ini. Gimana?” tanya mama.
“Iya.
Nggak apa-apa, Bu,” jawabnya sopan.
“Iya.
Nanti diantar ke sana,” ucap mama.
Pemuda
itu kembali ke kamar kosnya dan aku berlari ke kamarku. Aku malu setangah mati.
Aku menutup wajahku dengan bantal. Apalagi adik-adikku terus mengejekku. Aku
menertawai diriku sendiri. Rasanya aku terlihat begitu bodoh karena bersikap
seperi itu di hadapan pemuda itu.
“Halah,
nanti juga nggak bakal ketemu lagi,” hiburku dalam hati.
Namun,
perkiraanku salah. Petang itu, pemuda itu datang lagi ke warungku. Dia berdiri
di depan pintu warung dan memandangiku yang sedang mondar-mandir membantu mama
mengantarkan makanan dan minuman yang dipesan oleh siswa-siswa angkatan yang
berada di kosnya. Sebelum dia datang dan aku sibuk membantu mama, aku sempat
bersenda gurau dengan salah satu temannya, Mas Ari.
Mas
Ari merupakan orang yang lucu dan memunyai segudang lelucon yang hampir tidak
dapat aku balas. Aku hanya terdiam setiap kali dia mengejekku dan memberikanku
tebak-tebakan. Dia merupakan orang pertama yang kulihat berbincang dengan
pemuda yang tadi siang membuatku merasa begitu malu. Mereka berbincang dengan
bahasa minang.
Aku
yang telah selesai dengan kesibukanku mengantarkan pesanan siswa-siswa angkatan
udara dengan sedikit menunduk melewati pemuda itu dan duduk di depan pintu
kamarku. Ketika aku melewatinya, aku mencuri pandang ke arah papan nama yang
terpasang di dadanya. “Galang Novangga”. Nama itulah yang kubaca di papan nama
itu.
Aku
merasa keheranan ketika aku mendengarkan perbincangannya dengan mamaku. Dia
kelihatan begitu pemalu. Sesekali dia tertunduk. Bahkan, dia tidak berani
menoleh ke arahku. Dia bercerita panjang lebar dengan mamaku. Seperti seorang
ibu dan anak, dia mampu membuat mamaku berkata, “Wah, cocok itu buat Rhea!”
Dia,
pemuda yang hebat. Dia, pemuda pertama yang mampu membuat mamaku merasa akrab.
Dia, pemuda yang sopan dan berkharisma.
“Hei,
kenapa kamu, Rhe? Kenapa kamu begitu kagum pada calon prajurit yang satu itu?”
tanyaku pada diriku sendiri.
“HUH!
Sungguh bodohnya diriku ini”, gerutuku dalam hati.
***
Siswa-siswa
angkatan udara itu pesiar setiap hari Rabu, Sabtu dan Minggu. Hari Rabu
merupakan pesiar tersingkat. Mereka keluar dari asrama pada pukul 17.00 WIB dan
kembali sebelum pukul 20.00 WIB.
Sejak
bertemu dengan pemuda yang bernama Galang itu, hatiku menjadi tidak karuan. Aku
merasa tidak asing dengan wajah dan namanya. Postur tubuhnya, cara dia
memandangku, cara dia berbicara, cara berjalan, semua itu terasa begitu akrab
denganku. Aku mulai mengingat-ingat apakah aku pernah bertemu dengan dia
sebelumnya. Aku terus memikirkan mengenai pemuda itu.
Hari
Rabu itu, dia pesiar. Dari jauh, aku dapat mengetahui bahwa itu adalah dia.
Cara berjalannya membuatku tersenyum karena aku menyadari bahwa dia sedang
menuju ke kosnya. Aku duduk di dipan yang sudah dipindahkan ke dalam warung.
Aku terus memandang ke arahnya. Pikiranku kembali berkecamuk mempertanyakan
siapa pemuda itu.
Waktu
terus bergulir. Setelah adzan maghrib, seorang prajurit yang merupakan senior
di antara siswa-siswa angkatan udara itu memesan segelas es teh manis. Ketika
aku mengantarkan pesanannya, dia yang duduk di sebuah kursi di depan kamar kos
meminta nomor telefonku dengan ekspresi yang sangat genit. Aku merasa jijik
melihatnya karena itu aku mengernyitkan dahi dan menggelengkan kepalaku.
Ketika
aku berbalik hendak kembali ke warungku, aku melihat sesosok pemuda sedang
duduk di depan pintu kamar kos. Dia hanya menggunakan kaos dalaman berwarna
putih. Dia duduk dengan kaki bersila. Dia tersenyum kepadaku dengan sebuah
senyum kepuasan. Aku membalas senyumannya. Sungguh teduh senyuman itu. Senyuman
itu yang membuat aku semakin memikirkan dirinya.
***
Waktu
terus bergulir. Aku semakin dekat dengan calon-calon prajurit yang menyewa
kamar kos di seberang rumahku, termasuk dengan Galang. Kami sering bersenda
gurau bersama di warung mama.
“Mbak,
nomor HP-nya mana? Bohong ya?” tegur salah seorang di antara mereka.
Aku
terdiam sejenak, mengingat-ingat pemuda itu. Kemudian aku teringat pada pemuda
yang memesan kopi susu pertama sekali di hari pertama mamaku membuka warung.
Setelah pertemuan kami yang pertama itu, pemuda itu tetap sering ke warung. Dia
ikut bercanda dengan teman-temannya yang lain.
Aku
memberikan nomor HP-ku kepadanya. Menurutku, tidak ada salahnya jika pemuda itu
menyimpan nomor HP-ku. Jika suatu saat dia membutuhkan pertolonganku dan aku
dapat membantunya, mungkin nomor HP-ku bisa mempermudah komunikasi kami.
Dari : Naya
Kamu mau nggak jadi pacarku?
Ya,
itulah SMS yang membuatku sangat terkejut. Naya, itulah nama pemuda yang
meminta nomor HP-ku. Aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan menyatakan hal
tersebut. Aku merasa senang sekaligus bingung. Aku merasa senang karena
mengetahui bahwa ada seorang pemuda yang menyukaiku. Aku merasa bingung karena
aku tidak menyukainya, tetapi aku ingin memunyai pacar.
Ya,
aku belum pernah memunyai pacar sebelumnya. Bukan karena tidak ada yang
menyukaiku, melainkan keinginanku untuk menyelesaikan sekolahku. Pernyataan dari
Naya bukan hal baru untukku, sebelumnya sudah banyak pemuda yang mengatakan hal
yang sama padaku. Namun, tidak satupun aku terima.
Ketika
Naya menyampaikan itu melalui SMS, aku melihat ke arah Galang tanpa dia sadari.
Aku mulai menerka-nerka isi hatinya. Aku berharap diriku akan menemukan sedikit
isyarat cinta darinya. Namun, tidak kudapati itu sama sekali. Akhirnya, aku
sampai kepada kesimpulan bahwa hati Galang bukan untukku, lantas aku pun
berpikir bahwa tidak ada gunanya aku menyukainya.
Inilah
kegilaanku yang pertama. Aku menerima Naya untuk menjadi pacarku, tetapi aku
tidak pernah berharap Galang akan mengetahui hal ini. Sehingga aku tetap bisa
leluasa bercanda dengannya. Aku berpacaran tanpa cinta dan aku belajar untuk
mencintai Naya sebagai bentuk kepantasan membalas cinta darinya.
Hari
minggu, Naya datang ke warung mamaku dengan penuh senyum. Aku hanya tersenyum
malu melihat tingkahnya. Dia memegang tanganku. Dia terus menatapku.
“Duduk
sini, Sayang,”ucapnya sambil menepuk dipan yang dia duduki.
Aku
hanya tersenyum dan duduk di sebelahnya. Diam-diam, aku memandang ke arah
Galang yang duduk di dipan yang sama. Aku menghela nafas karena tidak kutemui
raut kecemburuan darinya. Aku kecewa, tetapi aku tidak memunyai hak untuk itu.
Datang dan Pergi Tanpa Kata
Kedatanganmu membawa tangis bahagia
kepadaku. Kepergianmu membawa tangis kesedihan dan perih di hatiku. Namun, aku
tak peduli. Kebahagiaanmu adalah hal terpenting untukku.
Dalam
kehidupan, terluka itu hal yang biasa. Di saat aku belajar mencintai seorang
yang kuduga menyayangiku dengan sepenuh hati, dia justru melukaiku dengan
sebuah pengkhianatan cinta. Sebagai manusia, merupakan hal yang wajar jika aku
marah, kecewa dan ingin membalas semua luka di hatiku. Namun, masa lalu itu
tidak pernah mengizinkan hatiku untuk tega membalas dendam dengan penuh
kebencian.
Perlahan,
kukubur luka itu. Kuhapus rasa sayang yang pernah singgah di hatiku. Walaupun
tidak mudah, aku tetap berusaha. Dia bagian dari masa laluku dan karena itu
kuhargai dan kumaafkan dirinya walapun aku tidak pernah bisa sepenuh hati
memberi maaf kepadanya.
“Bu,
Rhe harus bagaimana ya, Bu? Rhe pengen lupain sakit di hati Rhea ini, tapi kok
susah banget ya, Bu?” ceritaku pada Bu Hanafi, ibu angkatku.
“Sebenarnya
hati kamu nggak ke dia kan?” tanya Bu Hanafi padaku.
“Maksudnya,
Bu?”
“Hati
kamu itu lho, Rhe. Sebenarnya hati kamu itu nggak buat si Naya. Kamu itu suka
sama yang lain. Temannya Naya kan?”
Aku
terdiam sesaat. Di pikiranku muncul beberapa teman Naya. Galang, Ardi, Bayu,
Tio, Indra dan beberapa lainnya. Namun, aku tidak tahu siapa yang dimaksud Bu
Hanafi.
“Siapa
ya, Bu?” tanyaku kebingungan.
“Kok
malah bingung. Temannya Naya yang paling dekat sama kamu.”
Aku
mulai menimbang-nimbang siapa temannya Naya yang paling dekat denganku. Lantas,
bayangan Galang muncul di pelupuk mataku. Bayangan Galang itu membuatku
tersenyum. Bu Hanafi pun tersenyum memandang ke arahku.
“Nduk,
sakit hati itu nanti bakalan hilang dengan sendirinya. Biar waktu yang
menjawab! Sekarang kamu konsentrasi aja ke kuliah dan keluarga. Mamamu dan
adik-adikmu itu membutuhkan kamu,” nasihat Bu Hanafi.
Aku
mulai memperbaiki diriku. Aku kembali kepada semua ambisiku uuntuk menunjukkan
kepada dunia bahwa akk adalah wanita yang kuat. Tidak ada lagi air mata di
dalam kisah cintaku. Tuhan telah mempersiapkan seorang pemuda untuk menjadi
pasanganku karena memang manusia tercipta berpasangan.
Pelarian yang Menyakitkan
Demi sebuah obat luka hati, aku
coba membunuh waktu dan mencari pengganti. Namun, sayangnya semua berakhir tak
seindah yang kuharapkan.
Cinta Palsu
Ketika aku dijanjikan sebuah akhir
yang bahagia, aku pun terlena dan berusaha keras menutup luka lama dan jati
diriku. Namun, saat pengkhinatan kudapati, luka baru tercipta dan lebih parah dari
sebelumnya.
Aku
kembali kepada sebuah kegilaanku. Jika sebelumnya aku mencoba membunuh waktu
dan mencari pengganti Galang, maka kali ini aku bertaruh dengan hidupku.
Jakarta, kota inilah tempat aku bertaruh kehidupan. Bertemu dengan Galang atau
kembali bermain api cinta dengan pemuda-pemuda tidak jelas lainnya.
Tanggal
8 April 2011, aku memulai kegilaanku. Aku yang sebelumnya tidak pernah
bepergian jarak jauh seorang diri memberanikan diri berangkat dari stasiun
Purwosari, Solo menuju stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Aku berangkat hanya
dengan satu tujuan yang tidak pernah orang lain ketahui. Bertemu dengan Galang
dalam perayaan ulang tahun TNI AU pada 9 April 2011.
Sebelumnya,
aku dihubungi oleh ibunya Ardi dan diminta untuk berkunjung ke Jakarta untuk
melihat penampilan prajuriit TNI AU di Lanud Halim Perdana Kusuma. Beliau
mengatakan bahwa semua prajurit berkumpul pada tanggal itu di Lanud Halim
Perdana Kusuma. Oleh karena itu, aku menyimpan harapan untuk bertemu dengan
Galang yang sedang bertugas di Biak.
Saat
itu, ibunya Ardi juga menjelaskan keinginan Widi untuk bertemu denganku. Namun,
aku sama sekali tidak memunyai keinginan yang begitu besar untuk bertemu dengan
Widi. Akhirnya setelah berdiskusi panjang mengenai di mana aku menginap dan
bagaimana caraku pulang, aku memutuskan untuk berangkat ke Jakarta.
“Rhe,
mau ke Jakarta, Ma,” ucapku pada mama.
“Ngapain?
Sama siapa?” tanya mama.
“Pengen
jalan-jalan aja sama temen,” kataku penuh harap mama memberikan izin.
“Buat
apa jalan-jalan sampe ke Jakarta? Kalau mau jalan-jalan sekitar sini juga bisa
kan? Keliling kota Solo aja belum pernah, malah mau main ke Jakarta,” ujar
mama.
“Ya
kan Rhe pengen, Ma,” rengekku.
“Ya
udah, terserahlah! Mentang-mentang lagi punya duit aja, terus mau
dihambur-hamburin.”
Aku
tahu kala itu mama tidak memberikan izin dengan tulus. Ada kemarahan dari nada
bicara mama, tapi kenekatanku mengalahkan semuanya. Pertaruhan itu pun dimulai.
Bertemu dengan Galang atau bermain api denga Widi.
Seorang
diri, aku menginjakkan kaki untuk yang pertama kali di atas sebuah kereta api
Mataremaja. Ini pengalaman pertama aku menempuh perjalanan jauh dengan
menggunakan kereta api. Jika ditanya bagaimana rasanya, maka aku hanya bisa
berkata, “Asing dan aneh”. Asing karena itu merupakan pengalaman pertama
untukku, sedangkan aneh karena terlalu banyak hal yang membuatku bingung,
termasuk seorang pria paruh baya yang sok kenal sok dekat denganku dan mencoba
merayuku.
Perjalanan
selama kurang lebih sepuluh jam pun aku lalui di dalam kereta api. Tepat pukul
lima pagi, aku sampai di stasiun Jatinegara, Jakarta Timur.
Segarnya
udara pagi berhembus ke arahku yang baru saja melangkahkan kaki keluar dari
kereta. Sesuai dengan rencana, aku akan dijemput oleh ibunya Ardi. Namun, tidak
semudah yang dibayangkan. Sebelumnya aku tidak pernah bertemu dengan ibunya
Ardi, sehingga aku tidak mengetahui di mana ibunya Ardi tersebut. aku berjalan
mondar-mandir mencari ibunya Ardi yang ditandai dengan jaket bertuliskan
“PASKHAS”. Namun, aku tidak menemukannya.
“Huft, kalau bukan karena Galang bakal datang ke
Jakarta, aku nggak akan mau datang ke sini. Apalagi harus kejadian kayak
begini,” gerutuku sambil berjalan keluar stasiun.
HP-ku
yang kehabisan baterai tidak dapat kugunakan untuk menghubungi siapapun.
Akhirnya aku menumpang ke sebuah warung untuk mengisi baterai HP-ku. Hingga
akhirnya aku dapat menghubungi ibunya Ardi dan bertemu dengannya di depan pintu
gerbang stasiun.
Aku
tidak langsung dibawa pulang ke rumahnya untuk bersiap melihat acara parade
yang kunanti-nantikan. Ibunya Ardi membawaku berkeliling Lanud Halim Perdana Kusuma
yang sedang disibukkan oleh kegiatan parade. Puluhan prajurit berpakaian loreng
sedang sibuk dengan perlengkapan mereka. Puluhan Polisi Militer Angkatan Udara
sudah mulai berjaga di pos-posnya.
Di
tengah perjalanan kami bertemu dengan sebuah truk bermuatan prajurit. Mereka
semua melihat ke arahku dan ibunya Ardi.
“Di
dalam situ ada Widi, Rhe,” ucap ibunya Ardi.
“Oh
iya, Bu? Ikut bertugas juga?” tanyaku sewajarnya.
“Iya,
kan kemarin itu dia SMS kamu waktu lagi latihan,” jawab ibunya Ardi.
“Oh
begitu. Kemarin itu, waktu di kereta, dia juga nelpon Rhe, tapi cuma sebentar
karena nggak kedengaran. Sebelum Rhe berangkat, dia juga nelpon Rhe bilang
kalau lagi dikerokin sama juniornya. Katanya masuk angin gitu, Bu.”
“Ikh,
tentara masak kerokan! Nanti kita ledekin aja itu.”
Setelah
berkeliling Lanud Halim Perdana Kusuma, aku dan ibunya Ardi ke rumah kontrakan
keluarga. Di dalam rumah kecil itu, aku bertemu dengan adiknya Ardi, Ganes. Dia
bukan tipe gadis yang bersahabat. Dia terlihat seperti gadis yang tegas, kuat
dan kasar. Namun, bukan Rhea namaku jika tidak bisa membuka pembicaraan
dengannya.
“Ini
adiknya Bang Ardi, Bu?” tanyaku.
“Iya,
ini adiknya Ardi. Ganes! Ini Rhea datang jauh-jauh dari Solo,” ujar ibunya Ardi
sambil memanggil Ganes.
“Ganes,”
ucap Ganes jutek.
“Rhea,”
jawabku dengan senyum.
“Emm.
Aku manggilnya apa ya? Mbak atau apa nih?” tanyaku pada Ganes berusaha
beramah tamah.
“Emangnya
kamu lulusan tahun berapa?” tanya Ganes masih dengan nada jutek.
“Aku
lulusan tahun 2009. Kalau kamu?”
“Aku
juga tahun 2009.”
“Tapi
kalau lahirnya tahun berapa, Rhe?” tanya ibunya Ardi.
“Kalau
Rhe lahir tahun 1991, Bu. Kalau Mbak Ganes ini kelahiran tahun berapa?”
“Aku
kelahiran tahun 1990. Jangan panggil Mbak! Tua banget gue kayaknya!” ujarnya
sambil tersenyum simpul dan berjalan ke dalam kamar.
Aku
pun tersenyum melihat Ganes. Aku merasa berbangga hati bisa menakhlukkan
ke-jutekan Ganes. Setelah Ganes berangkat kerja, aku membantu membersihkan diri
dan membantu ibunya Ardi yang kelihatan sangat kerepotan dengan berbagai
kegiatan membersihkan rumah. Setelah semua pekerjaan rumah tangga kelar, tepat
pukul tujuh, aku dan ibunya Ardi berangkat ke Lanud Halim Perdana Kusuma
bersama dengan tantenya Ardi.
***
Lapangan
itu terlihat begitu luas. Rumput hijau yang menghiasi lapangan itu sedang
diinjak-injak oleh ratusan kaki pengunjung yang hendak menonton parade dari
angkatan udara Indonesia. Beberapa helikopter telah dipersiapkan dikeluarkan dari
dalam hanggar. Beberapa prajurit juga terlihat sudah siap dengan dandanan khas
Papua. Semuanya terlihat begitu bersemangat dan antusias hendak melihat aksi
prajurit-prajurit udara itu.
Mataku
mulai mencari-cari di mana orang yang selalu aku dambakan siang dan malam. Di
dalam hatiku tersirat sebuah harapan untuk bertemu dengan Galang. Namun, tidak
kudapati apa yang kucari. Ketika pertunjukkan dimulai dengan upacara dan
diikiuti dengan serentetan acara lainnya, aku masih mencari dan terus mencari,
tetapi tetap saja, aku tidak mendapatkan hasil apapun selain mata jalang lelaki
yang melihat kepadaku.
“Apa
nggak pernah lihat cewek kayak aku?” gerutuku dalam hati.
Ibunya
Ardi terus membawaku berkeliling. Dia mengira aku begitu ingin bertemu dengan
Widi. Padahal aku datang hanya untuk satu nama yang pada akhirnya aku membuatku
merasa kecewa karena tidak menemukannya di tengah kerumunan.
“Si
Widi mana, Ratno?” tanya ibunya Ardi kepada salah satu prajurit di situ.
“Bang
Widi tadi ada kok. Lagi nonton parade di situ,” ucap pemuda itu.
“Panggilin,
No! Bilang dicariin sama mami!” ucap ibunya Ardi.
Pemuda
itu langsung memasuki kerumunan pemnonton parade pesawat dan kemudian muncul
seorang pemuda lain dengan seragam yang sama, tetapi tanda pangkat yang
berbeda. Dia berhenti tepat di depanku. Dia tersenyum padaku dan aku pun
tersenyum kepadanya. Aku melihat ke papan nama yang tertempel di seragamnya. “Widi
Diestra” , begitulah nama yang tertulis di papan nama itu.
Dia
mengulurkan tangan ke arah ibunya Ardi, tetapi ibunya Ardi sibuk menerima
telefon dari seseorang. Dia pun mengulurkan tangannya ke arahku, aku
menjabatnya. Dia tersenyum kembali padaku.
“Lu
dicariin dari tadi. Kemane aje? Dicariin ama cewek cakep kagak mau Lu?” tanya
ibunya Ardi.
“Di
situ, nonton parade. Ke hanggar aja yuk, Mi!” ajak Widi.
Dia
berjalan jauh di depan, meninggalkan aku dan ibunya Ardi. Kami menyusulnya ke
hanggar yang kosong tersebut.
“Udah
sarapan belum?” tanyanya padaku.
“Emm,
udah belum ya, Bu?” tanyaku kepada ibunya Ardi.
“Ya
belum lah! Tadi aja cuma sempat beres-beres sebentar, mandi langsung ke sini. Masih kosong nih perutnya,”
cerocos ibunya Ardi.
Ibunya
Ardi bercerita mengenai pertemuan kami di stasiun, perjalanan kami ke rumah
kontrakannya dan perjalanan kami mengelilingi Lanud Halim Perdana Kusuma. Dia
terus bercerita tanpa henti dan aku hanya tersenyum malu mendengarkannya.
Cerita itu terhenti di saat ibunya Ardi bertemu dengan salah satu anak
angkatnya yang juga merupakan teman seangkatan Ardi.
Widi
mengajakku ke tengah lapangan hijau untuk melihat parade pesawat yang masih
berlangsung. Dentuman-dentuman bom terdengar di antara keramaian dan beberapa
prajurit melakukan terjun payung. Widi terus melihat ke arahku dengan pandangan
keheranan.
“Kamu
kok nggak kaget dengar suara bom tersebut? Nggak ada ekspresi kayak cewek-cewek
lain yang tutup telinga atau gimana gitu,” tanyanya.
“Kenapa
harus kaget? Aku tinggal di dekat Lanud Adi Sumarmo. Hampir setiap pagi jika
ada calon prajurit yang latihan, pasti aku mendengarkan dentuman yang sama,”
jawabku.
“Hebat
ya kamu itu. Mantep!” pujinya.
Aku
hanya mengernyitkan keningku tanda tidak mengerti. Widi tidak akan pernah tahu
bahwa sejak aku jatuh cinta pada orang dari kalangannya, aku belajar untuk
mengenal dunia militer dan mulai membiasakan diri dengan berbagai kegiatan
mereka dalam dunia mereka. Sehingga tidak ada yang mengherankan jika aku
terbiasa dengan dentuman bom yang diledakkan oleh sejumlah prajurit. Ini dunia
Galang dan aku belajar untuk memasukinya untuk memahami dunianya ini.
***
Aku
dan ibunya Ardi pulang ke kontrakan keluarga Ardi dan tidur siang sejenak.
Rasanya lega sekali dapat berbaring setelah satu malaman di kereta api.
Walaupun hanya beralaskan selembar karpet dan di depan TV, aku dapat terlelap
dengan mudah. Mungkin karena aku kelelahan dengan perjalanan dan kekecewaanku.
Aku
tidak menyadari berapa lama aku telah tertidur. Saat aku terbangun kudapati
diriku hanya seorang diri dan waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku
mandi dan membenahi diriku. Selesai mandi, ibunya Ardi sudah berada di depan TV
dengan beberapa gorengan di atas piring.
“Temenin
Ibu ke bidan sebentar ya, Rhe!” pinta ibunya Ardi.
“Iya,
Bu. Memangnya ibu sakit apa?” tanyaku.
“Cuma
kontrol aja kok,” jawab ibunya Ardi.
Sore
itu juga kami ke bidan langganan ibunya Ardi. Aku menunggu di luar ruang
periksa. Selama ibunya Ardi di dalam ruang periksa, Widi menghubungiku dan
menanyakan keberadaan kami. Dia juga menyatakan bahwa dia sudah sampai di rumah
kontrakan keluarga Ardi.
Sepulangnya
dari bidan, kau melihat seorang pemuda yang tadi pagi aku temui di Lanud Halim
Perdana Kusuma. Dia sedang duduk di depan pintu dengan wajah cemberut. Aku dan
ibunya Ardi hanya tersenyum-senyum melihat ekspresi Widi.
“Darimana
aja sih? Lama banget!” tanyanya padaku yang berusaha membuka pintu.
“Nemenin
ibu ke bidan,” jawabku singkat.
“Memangnya
sakit apa, Mi?” tanya Widi pada ibunya Ardi.
“Cuma
kontrol aja,” jawab ibunya Ardi.
Di
ruang nonton TV, kami bercanda. Widi memasang VCD lagu-lagu dangdut. Dia
berkaraoke ria seorang diri. Aku hanya mengamatinya. Aku merasa kikuk di
depannya. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal diantara kami.
Ketika
adzan maghrib berkumandang, dia meminta izin untuk shalat maghrib di kamar. Dia
shalat dalam waktu yang menurutku sangat singkat. Sedangkan aku yang sedang
haid dan ibunya Ardi menonton VCD film Bollywood yang dibawakan Widi.
“Biasanya
Lu kagak pernah shalat, Di. Tumben-tumbenan!” ujar ibunya Ardi.
“Udah
tobat, Mi,” ucap Widi.
“Udah
sana kalau mau jalan-jalan!” ucap ibunya Ardi.
“Kemana
ya, Rhe?’ tanya Widi padaku.
“Ya
terserah. Aku nggak tahu daerah Jakarta.”
“Ya
udah, siap-siap sana!” perintah Widi.
“Mau
jalan ke mana dulu?” tanyaku.
“Cari
makanan. Ayo, cepetan!”
Aku
bergegas mengganti pakaianku. Aku mengoleskan sedikit bedak ke wajahku. Setelah
itu kami berangkat dengan tempat tujuan yang tidak jelas.
“Kita
kemana ya, De?” tanya Widi.
“Terserah
Mas aja,” jawabku.
Akhirnya,
dia membawaku ke sebuah cafe yang
menjual roti bakar. Setelah kami memakan roti bakar, dia mengajakku untuk
melihat jadwal keberangkatan kereta api di stasiun Jatinegara. Dia menggenggam
tanganku, terlihat begitu ingin melindungiku. Dia seolah-olah ingin menjadi
tameng untukku. Aku menatap wajahnya dari samping. Aku melihat wajah Galang.
Lalu aku menunduk dan memejamkan mataku
sejenak. Hatiku mulai berdebar kencang. Namun, Galang menghilang ketika aku
membuka mataku kembali. Hatiku menciut.
“Hanya
bayangan,” bisikku dalam hati.
“Keberangkatan
pagi jam sepuluh itu adanya yang kereta bisnis, De,” ucap Widi membuyarkan
lamunanku.
“Ya
udah, yang bisnis juga nggak apa-apa, Mas,” jawabku.
Walaupun
yang aku menghendaki kereta api ekonomi, aku sudah mempersiapkan biaya untuk
menggunakan kereta api eksekutif. Sehingga tidak menjadi masalah untukku jika
akhirnya aku harus menaiki kereta api
bisnis. Perencanaan untuk pulang keesokan hari dengan kereta api bisnis jam
sepuluh pagi pun sudah menjadi keputusanku.
Setelah
itu, kami ke Monumen Nasional (Monas). Malam itu adalah malam minggu. Monas
terlihat sangat ramai. Pasangan-pasangan muda terlihat bergandengan mesra.
Sedangkan aku seperti orang buta yang dituntun oleh pemuda yang sama sekali
tidak pernah aku harapkan.
Dia
mengajakku duduk di bagian taman Monas. Kami duduk bersebelahan di atas rumput
hijau. Dia bercerita panjang lebar mengenai masa lalunya. Dia bercerita
mengenai mantan-mantan kekasihnya. Sesekali dia menatap ke arahku. Sedangkan
aku terus mendengarkan ceritanya.
Hampir
di setiap bagian dari ceritanya, dia menggambarkan posisi sulitnya sebagai seorang
kekasih yang tidak dianggap dan dilukai.
Rasa iba pun tumbuh di hatiku. Aku pun pernah disakiti. Aku pun pernah
ditinggalkan oleh orang yang sangat kusayangi. Bahkan, luka itu masih terus
membekas dan membuatku menutup hatiku pada cinta. Mungkin aku tidak akan
terlalu bersimpati jika yang terluka itu adalah seorang wanita karena pada
umumnya memang wanita yang selalu menjadi objek yang disakiti.
“Semoga
kamu bisa mengerti masa laluku yang suram ini!” ujarnya.
Aku
melihat ke arahnya. Aku mendapati sebuah harapan akan cinta tulus dari raut
wajahnya. Aku semakin merasa iba. Aku terus mengamati wajahnya, tiba-tiba
bayanagan Galang muncul kembali. Aku memejamkan mataku dan menggelengkan
kepalaku. Aku tahu bahwa kau tidak boleh seperti ini. Bayangan Galang harus
berhenti mengikutiku.
Kami
pulang dari monas tepat pada pukul dua belas malam. Dia mengantarkanku sampai
ke rumah kontrakan keluarga Ardi. Dia sempat duduk sebentar dan bercerita
dengan ibunya Ardi. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku sempat
menghampiri mereka sebentar dan mereka hanya diam.
Keesokan
harinya, sekitar jam sembilan pagi, dia datang menghampiriku. Seperti yang
telah aku rencanakan sebelumnya, aku akan berangkat ke Solo pada pukul sepuluh
dengan menggunakan kereta api ekonomi. Oleh karena itu, aku sudah berdandan
rapi.
“Mau
ke mana, De?” tanya Widi ketika melihatku sudah berdandan rapi.
“Ya
mau pulanglah!” ujarku.
“Keretanya
kan adanya jam dua siang. Kemarin kan kamu lihat sendiri.”
Aku
hanya diam. Dalam hati aku bergumam,”Nih orang paham apa nggak sih kalau aku
besok harus kuliah?”
Aku
menyadari bahwa posisiku saat ini hanya sebagai orang yang menumpang di tempat
orang lain, maka hidupku dan semua keinginanku tergantung kepada orang yang aku
tumpangi. Tidak akan ada yang mengantarkanku ke stasiun sebelum jam
keberangkatan kereta yang mereka inginkan. Sedangkan aku tidak berdaya
menghadapi mereka.
Berulang
kali kulihat jam di HP-ku. Berharap selama di kereta api nanti, waktu akan
berhenti dan aku dapat sampai di Solo pada sore hari. Walaupun aku tahu bahwa
itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi, aku masih terus berharap. Di tengah
kegalauanku dan ketakutanku terhadap kemarahan mamaku dan perkuliahan yang
harus aku hadapi pada hari Senin pagi, Widi terus bermanja kepadaku. Dia meletakkan
bantal di pangkuanku, lalu berbaring di atas bantal itu.
Ya
Tuhan, betapa risih yang aku rasakan. Namun, kubiarkan saja dia bermanja.
Kulihat kembali dirinya. Sungguh berat rasa hatiku. Aku berharap bahwa dia yang
sedang berbaring di pangkuanku ini adalah Galang, tapi yang aku temui bukan
Galang. Aku mulai membenci keadaan ini.
Aku
mengelak dari semua cumbuan dan rayuannya. Hatiku yang sudah kubunuh semenjak
kepergian Galang, masih membeku. Namun, Widi tidak tahu. Di hadapannya, aku
tersenyum, tapi di dalam hatiku dia tidak pernah mengetahui bahwa masa lalu
yang kujalani bersama Galang tidak pernah dapat tergantikan oleh apapun dan
sampai kapanpun.
Jam
dua belas siang, Widi dan ibunya Ardi mengantarkanku ke stasiun. Di tengah
perjalanan, ban sepeda motor yang dikendarai Widi bocor. Kami hampir terlambat
karena harus mengikuti arus kemacetan dengan menggunakan angkutan kota.
Sesampainya
di stasiun, aku dan Widi bergegas ke loket untuk membeli tiket. Aku hendak
mengeluarkan uang, tetapi Widi menarik tanganku dan memintaku menunggu di
belakangnya. Dia membelikan tiket untukku. Sialnya, aku mendapatkan tiket tanpa
tempat duduk yang berarti selama perjalanan dari Jakarta ke Solo, aku harus
duduk di lantai kereta api. Selain itu, kereta api yang akan mengantarkanku ke
Solo juga merupakan kereta api kelas ekonomi.
“Cuma
tiket berdiri yang ada, De,” ujarnya.
“Ya
udahlah. Nggak apa-apa,” jawabku.
Dalam
hati aku terus menggerutu. Apalagi mamaku sudah marah-marah karena aku tidak
segera pulang. Aku pun mulai membayangkan apa yang akan aku hadapi di Solo.
“Kamu
kayaknya gelisah banget. Ada apa?” tanya Widi.
“Nggak
ada apa-apa,” jawabku.
“Yang
bener? Kok kelihatannya ada yang dipikirkan.”
“Mamaku
marah karena aku tidak segera pulang.”
Widi
terdiam mendengarkan jawabanku. Dia mulai mereka-reka
Menyambung Benang Putus
Kedatanganmu tidak pernah kuduga.
Namun, kuyakini cintamu setulus ucapanmu. Oleh karena itu, aku memilihmu untuk
kedua kalinya.
Mencintaiku dalam Diam
Bukan jarang aku mengeluh karena
sikapmu yang tak pernah memberiku perhatian. Bukan jarang pula aku mendapati
kasih sayangmu berlimpah tanpa kau ucapkan dalam kata.
Akhir dari Sebuah Penantian Panjang
Sekian lama aku menanti akhir dari
sebuah penantian dan awal dari perjalanan cinta yang sulit ini, akhirnya aku
temukan sebuah impian yang akan kugapai dengan atau tanpamu.
0 komentar:
Posting Komentar