KEYAKINANKU TERJAWAB
Dalam
kesunyian aku berandai-andai
Andai
dia tahu aku menantinya di sini
Akankah
dia kembali?
Andai
dia membalas cintaku
Akankah
aku memilikinya?
Andai
semua bisa diulang
Akankah
aku sanggup menatap matanya lagi?
Akh,
semua itu hanya andai
Namun,
hati kecilku tak berandai
Dia
tak bermimpi
Dia
membisikkan keyakinannya padaku
Orang
terkasih,
Idaman
hatiku,
Akan
segera kembali
Kututup buku catatanku. Aku tak
pernah paham mengenai perasaanku. Terkadang aku bisa membenci dengan sepenuh
hatiku. Namun, terkadang rasa cinta mengalahkan segala kebencian itu. Pada
suatu titik aku memahami bahwa perbedaan antara cinta dan benci itu amatlah
tipis. Sayangnya, di titik lain aku tidak pernah bisa menemukan apa makna cinta
dan benci itu sehingga aku dapat terjebak di dalamnya.
Kupandangi teras rumahku. Di tempat
itu terlalu banyak peristiwa yang kualami. Ada terlalu banyak kisah dan
kenangan yang terukir di sana. Kenangan-kenangan yang tak mungkin kulupakan
sepanjang hidupku.
Waktu itu, ya dapat kukatakan jika
itu adalah senja. Sesudah adzan maghrib berkumandang. Tak sengaja-atau
entahlah, mungkin sudah ditakdirkan demikian-mataku mengarah pada seorang
pemuda. Sebagai seorang pemuda, sama sekali tak ada cacat dalam dirinya. Postur
tubuhnya ideal dan tegap, wajahnya manis, kulitnya hitam, dan yang tak pernah
bisa kulupakan adalah cara dia menatapku. Dia sedang asyik mengobrol dengan
ibuku selayaknya tetangga baru.
Dia seorang pemuda yang sedang
menjalani pendidikan kemiliteran dan mendapat izin keluar asrama tiga kali
seminggu. Dia hanya menempati kamar kontrakan sebagai kamar singgahnya.
Sedangkan aku dan keluargaku adalah warga baru di lingkungan ini, yang kemudian
membuka warung kecil di bagian depan rumah.
Sekilas kuarahkan pandanganku
padanya dan kudapati dia juga sedang melihat ke arahku. Aku melirik pada papan
nama yang dipasang di bagian dada dari seragamnya. Tertulis “Galang Novri”
dengan huruf balok. Aku tersenyum dan berlalu dari hadapannya. Itulah pertama
kali kami bertemu. Tanpa perkenalan selayaknya orang yang baru saling mengenal,
kami menjalani semuanya seperti air yang mengalir.
Setiap ada izin keluar asrama, dia
selalu berada di warungku. Seharian hanya di warungku. Walaupun dia hanya
sekedar membeli makanan, minuman,
bercanda denganku dan keluargaku, dia seakan tak pernah merasa bosan. Dan harus
aku akui, secara tak sadar, aku jatuh cinta kepadanya. Semuanya terjadi karena
terbiasa. Beberapa waktu saja dia tak terlihat di warungku dan aku tahu bahwa
dia mendapat izin keluar asrama hari itu, aku bisa kelimpungan mencari
keberadaannya.
Teras rumahku tak hanya menjadi
saksi bisu dari saat pertama kali kami bertemu, tapi tempat ini juga menjadi
saksi terakhir kali aku melihat dirinya. Malam itu adalah kesempatan terakhir
untuk izin keluar asrama karena tiga hari kemudian dia akan dilantik dan pindah
ke Bandung. Masih terbayang dengan jelas di mataku, sikapnya yang tak biasa.
Dia lebih sering melamun. Bahkan, ketika dipanggil dari jarak yang tak jauh,
dia seakan tidak mendengarkan apapun. Wajahnya pun terkesan begitu datar. Tidak
seperti waktu-waktu sebelumnya, dia selalu bercanda. Namun, malam itu kesan
murung lebih terlihat di wajahnya.
Sementara aku, ada perasaan yang
tidak menentu di hatiku. Ketika dia menjabat tanganku sebelum pergi, ada rasa
sakit sekali di dadaku. Namun, segera kusanggah diriku. Kukatakan pada diriku
sendiri bahwa dia hanyalah orang baru dalam hidupku dan aku ini bukan
siapa-siapa baginya. Kata-kata itu tak berdampak apapun bagiku. Aku hanya bisa
melihat dia berlalu dan melihat di belokan perempatan jalan.
Ya,
saat itu kami tidak menyadari bahwa ada perasaan yang telah menyusup begitu
dalam. Hingga setahun berlalu dan tak ada kabar darinya. Sedangkan aku terus
dibayang-bayangi dirinya. Tahun lalu, tepatnya tanggal 19 Juni dia
menghubungiku. Komunikasi di antara kamipun terjalin kembali. Perasaan yang tak
kami sadari itu pun kami ungkapkan hingga akhirnya kesepakatan untuk memadu
kasih itu terucap dari bibir kami.
Sayangnya,
hanya dua minggu semua itu bertahan. Dia tergoda oleh wanita lain dan
meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Walaupun hubungan yang kami jalin adalah
hubungan jarak jauh, kedekatan yang kami jalin jauh sebelum ikrar memadu kasih
itu terucap begitu berarti bagiku. Sehingga luka yang begitu dalam menjadi
tapak tilas dari hubungan kami itu.
Jangan
pernah ditanyakan apa yang terjadi padaku setelah itu! Aku begitu terluka
hingga luka itu mengubahku menjadi seseorang yang nyaris tak memiliki hati. Kupermainkan
hati pria-pria yang mendekatiku. Bagiku melihat pengobral cinta seperti mereka
terluka adalah sebuah kepuasan tersendiri. Namun, bayangan Galang kembali
melemahkanku. Dan setiap kali itu terjadi, air mata yang menetes di pipiku. Aku
benar-benar tak bisa melepaskan rasa cintaku yang teramat besar kepadanya.
Aku
terus berusaha melupakannya, menghapus semua hal tentang dirinya. Namun,
semuanya sia-sia belaka. Siang malam, di setiap sujudku, tetap mengalir doa
untuknya. Di penghujung shalatku, selalu air mata yang meminta kemudahan untuk
melupakan dirinya. Tak hanya sekali dua, aku menulis di selembar kertas tentang
semua isi hatiku, keperihan hati yang tak tertahankan. Lalu kuremas kertas itu
dan kulemparkan jauh-jauh, sekedar untuk menghempaskan sedikit beban kerinduan
dan kesakitanku.
Kupenuhi
setiap detik di hari-hariku dengan berbagai kegiatan yang menguras pikiran dan
tenagaku. Hingga akhirnya aku jatuh sakit. Namun, lagi-lagi itu tak berdampak
apapun bagiku. Semakin aku berusaha untuk melupakannya, maka semakin sakit yang
kurasakan. Aku seolah-olah hampir gila. Di setiap sudut mataku memandang, wajahnya
muncul begitu jelas. Aku berteriak marah dalam hati, tetapi itu hanya berakhir
pada jatuhnya air mataku.
Hari
ini telah lebih dari dua tahun perpisahan itu dan lebih dari satu tahun hatiku
menangis. Namun, ada keyakinan di dalam hatiku bahwa Galang akan kembali dengan
cinta yang lebih besar. Dia akan menyadari bahwa aku sedang menunggu
kehadirannya di sini. Akupun akan menyambutnya dengan senyuman bahagia, tanpa
dendam, tanpa amarah karena aku masih mencintainya dan akan selalu begitu.
***
“ Hai, Aya.”
Aku tersentak. Suara itu begitu
akrab di telingaku. Suara yang setahun lebih kunantikan. Mendengar suara itu
hatiku menjadi tak menentu.
Aku membalikkan badanku. Ada sedikit
ketakutan dalam hatiku. Ketakutan kalau yang aku harapkan tidak terjadi. Aku
takut harapanku bahwa suara yang kudengar itu adalah suara Galang tidak menjadi
kenyataan.
Setelah
aku memiliki segenap keberanian, kudongakkan kepalaku. Ya Tuhan, rasanya dada
ini begitu sesak. Ingin rasanya aku melompat ke arahnya, tapi aku hanya bisa
diam membeku. Irama jantungku tidak beraturan. Aku berdiri tegak dalam diam
sebagaimana patung yang begitu kokoh.
“
Kau?” tanyaku meyakinkan diri.
“
Iya. Ini aku Galang. Masa lupa sih?” jawabnya dengan cara bicara yang begitu
kukenal.
Mendengar
jawabannya, air mataku mengalir membasahi pipiku. Rasanya ingin kulepaskan
semua kerinduanku kepadanya, tetapi aku hanya bisa menatapnya dalam-dalam.
“
Lho, kok nangis?” tanyanya sambil mengusap air mataku.
“
Maaf,“ jawabku seraya menghapus air mataku.
“
Ayo masuk! Mama pasti senang lihat kamu datang ke sini,” sambungku.
Dia
masuk mengikutiku. Kemudian dia duduk di salah satu kursi di ruang tamu. Dengan
setengah berlari, aku menemui mamaku untuk mengabarkan berita kedatangan
Galang. Mamaku langsung menemui Galang. Mamaku sudah menganggap Galang seperti
anaknya sendiri. Sehingga kedatangan Galang ke rumah kami merupakan kebahagiaan
pula bagi mama.
Mama
menyambut kedatangan Galang dan langsung mengobrol santai dengannya. Aku
membuatkan tiga cangkir cappuccino.
Lalu kubawa ke ruang tamu. Kami bercanda dengan penuh keakraban hingga tak
terasa waktu berjalan begitu cepat. Senja pun menjelang dan dia berpamitan
pulang. Satu hal yang terasa di dalam dadaku, kebahagiaan.
Sungguh
tak pernah terlintas di benakku, aku dapat bertemu kembali dengan orang yang
terus menerus kunantikan sepanjang waktu selama dua tahun lebih. Namun, hari
ini semuanya seakan menjadi mimpi indah bagiku. Sebuah mimpi yang tak akan
pernah aku lupakan. Penantianku untuk bertemu kembali dengan pujaan hatiku
terjawab. Dan bahagia itu begitu indah terasa.
***
Matahari bersinar begitu cerah.
Begitu hangat mengenai kulitku. Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Di
taman Balekambang, aku menemani Galang mengisi waktu liburannya di kota
Solo. Sekedar berjalan-jalan dan berfoto
dengan rusa yang ada di taman itu. Lalu, kami duduk di sebuah bangku panjang
yang menghadap ke kolam ikan.
“ Banyak juga ya ikannya,” gumamnya
membuka pembicaraan.
“ Iya. Mau ngasih makan ikan?”
tawarku seraya menyodorkan roti.
“ Boleh juga tuh.”
Sambil berkelakar, aku dan Galang
memberi makan ikan-ikan di kolam yang cukup luas itu. Setiap kali kami
melemparkan roti, ikan-ikan itu datang menggerombol. Ikan-ikan itu berebut
makanan. Sangat mengasyikkan melihat gerombolan ikan itu.
“ Aya, maafin aku ya!” ucap Galang
lirih.
“ Hm?” aku mengernyitkan dahi.
“ Aku udah nyakitin hati kamu. Aku
tahu kalau aku uudah ngelakuin kesalahan besar sampai aku menyakitimu. Aku
minta maaf untuk itu semua.”
“ Boleh Aya tanya sesuatu?”
“ Tanya apa Ya?”
“ Kenapa kamu dulu ninggalin Aya
begitu aja? Apa Aya nggak ada artinya
buat kamu?”
“ Jangan pernah berpikiran seperti
itu! Asal kamu tahu, dari dulu sampai sekarang cuma kamu yang ada di hatiku.
Aku sayang sama kamu. Waktu itu aku nggak
ngerti sama diri aku sendiri. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf yang
sebesar-besarnya sama kamu.”
“ Aya nggak pernah bisa benci sama kamu. Aya udah maafin semua itu. Nggak usah dibahas lagi! Yang lalu
biarlah berlalu. Kita jalani aja waktu yang sekarang. OK?”
Aku tersenyum dan Galang pun
tersenyum pula. Di hatiku ada secercah ketenangan melihat senyuman di wajah
Galang. Rasanya gundahku hilang melihat senyuman Galang.
“ Andai waktu bisa kuulang, mau nggak kamu menjadi milikku lagi?”
Aku begitu terkejut mendengar
pertanyaan Galang. Aku hanya bisa menatapnya dengan perasaan yang tak karuan. Jika
ditanya, apakah aku senang, maka jawabnya ya aku senang. Namun, tak dapat kupungkiri
bahwa ada rasa takut yang menyergapku. Rasa takut kalau Galang akan
meninggalkanku lagi.
“ Aya, kenapa kamu diam?” tanya
Galang memecah lamunanku.
“ Apa kamu akan ninggalin Aya lagi?”
“ Nggak akan, Ya. Kali ini aku serius sama kamu. Aku ingin kamu jadi
istriku. Selama ini aku tak pernah bisa berhenti menyesali kesalahanku. Aku
selalu mengingatmu. Aku sayang sama kamu. Aku janji, aku nggak akan ngecewain kamu lagi.”
“ Kasih Aya waktu ya. Aya nggak mau gegabah.”
“ Tapi, apa aku ada di hatimu?”
“ Apa perlu Aya jawab?”
“ Sangat perlu. Aku ingin tahu isi
hatimu.”
“ Di akhir hubungan kita dulu, Aya
pernah bilang kan ke kamu kalau hati Aya nggak
akan pernah berubah. Semuanya akan tetap sama. Entah itu kemarin, hari ini,
besok atau waktu yang akan datang, di hatiku tetap ada kamu. Aya terlanjur
sayang sama kamu. Tapi, jujur saja Aya masih merasa takut kalau peristiwa yang
dulu terjadi lagi.”
“ OK. Kamu yakinkan diri kamu dulu.
Aku tunggu jawaban dari kamu. Satu hal yang harus kamu tahu, aku sayang sama
kamu.”
“ Makasih udah mau ngertiin Aya.”
***
“ Bu, Galang pamit ya, Bu. Nanti
kalau dapat cuti lagi, Galang main lagi ke sini.”
Suara Galang terdengar samar-samar
dari kamarku. Tapi sekilas aku mendengar kata “pamit”. Aku berlari keluar kamar
menuju ke ruang tamu. Tepat di depan pintu yang menghubungkan ruang tengah dan
ruang tamu aku berhenti. Kulihat Galang sedang berdiri di hadapan mamaku dan
hendak membalikkan badan-keluar dari rumah. Aku ingin berteriak, tapi tak bisa.
Aku hanya terpaku.
Sejenak aku teringat pertanyaannya
yang belum kujawab. Aku berlari mengejarnya dengan harapan bahwa semuanya belum
terlambat. Sekarang dia telah samapai di depan pagar. Sedangkan mamaku berdiri
di depan pintu rumah.
“ Galang,” panggilku perlahan.
Galang membalikkan badannya. Mama
meninggalkan kami dan masuk ke dalam rumah. Sekarang hanya ada aku dan Galang.
“ Kamu nggak mau pamit sama Aya?” tanyaku berurai air mata.
“ Kamu nggak mau dengar jawaban Aya?” sambungku masih dengan linangan air
mata yang tidak dapat aku tahan.
Dia mengangkat kedua tangannya
setinggi dada, seolah memberikanku tempat bersandar di dadanya. Akupun berlari
ke arahnya. Kutubrukkan tubuhku ke dalam pelukannya. Begitu hangat terasa hingga
ke relung jiwaku. Dilonggarkannya pelukannya, lalu disekanya air mataku.
“ Aku pulang dulu. Nanti kalau dapat
cuti lagi aku ke sini. Kamu jaga diri baik-baik ya.’
“ Apa kamu nggak mau dengar jawaban Aya dulu?”
“ Aku nggak mau maksain ke kamu. Aku akan tetap tunggu sampai kamu
benar-benar yakin.”
“ Galang, Aya udah yakin sama
jawaban Aya. Aya mau jadi milik kamu.”
“ Kamu benar-benar yakin yang kamu
ucapin barusan, Ya?”
Aku hanya mengangguk. Galang
memelukku erat-erat. Akupun membalas dengan hal yang sama. Jika aku boleh
memilih, aku tidak ingin melepaskan pelukan Galang untuk selamanya.
“ Terima kasih Aya. Aku nggak akan ngecewain kamu lagi. Aku
janji.”
Ya, Tuhan. Hari ini, aku saksikan
kehebatanmu. Engkau yang Maha Kuasa. Kau ciptakan cinta di antara manusia dan
Kau berikan aku keyakinan dari cinta itu. Kini aku di sini, bersama cintaku.
Bersama dengan jawaban atas keyakinanku yeng ternyata Kau jadikan
harapan-harapan semuku menjadi nyata, aku bersyukur. Kuucapkan terima kasihku
yang begitu besar pada-Mu ya Rabb-ku. Tak ada yang dapat kulakukan selain
menyembah-Mu, sebagai bukti rasa syukurku pada-Mu.
***
Erlinda
Matondang, seorang wanita berdarah batak kelahiran Surakarta, Jawa Tengah pada
tanggal 7 Agustus 1991. Saat ini, saya adalah seorang mahasiswa penerima
beasiswa penuh dari Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Universitas Slamet
Riyadi Surakarta jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Saya tinggal di
Karangasem Rt. 02/02, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah. Rekan-rekan yang ingin
berbagi cerita dan menjalin komunikasi dengan saya biasanya menghubungi saya di
email saya erlinda.maharani@yahoo.com.
Atau
via facebook dengan alamat yang sama, yakni erlinda.maharani@yahoo.com. Jika
ingin menghubungi saya via telefon, hubungi saya di nomor 085728948493 atau
087836570608.
0 komentar:
Posting Komentar