BEFORE MARRIAGE
|
|
|
Pernikahan tidak hanya
mengikat dua insan dalam satu ikatan, tetapi juga mengikat dua keluarga
yang berbeda.
|
|
Erlinda
Matondang
|
4 Juli 2012
|
|
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk yang terkasih,
orangtuaku , adik-adikku dan kekasihku. Semoga ini dapat menggambarkan betapa
aku sangat menyayangi kalian.
BAGIAN I
Aku
masih duduk di sebuah kursi yang berada di ruang tunggu bandara Adi Sumarmo.
Mataku mengelilingi ruangan itu. Aku masih menunggu kedatangan orang yang
paling kunantikan selama tiga tahun ini. Dia adalah kekasih hatiku, Galang
Novangga.
Hatiku
terasa tidak menentu. Aku merasa gelisah, tidak sabar sekaligus malu untuk
bertemu dengannya. Rasanya sudah terlalu lama aku tidak melihat wajah pemuda
yang paling kucintai dalam hidupku. Jarak yang memisahkan kami terasa sudah
terlalu menyiksaku. Inilah mimpiku. Sebuah pertemuan yang indah dengan orang
yang sangat kusayangi setelah sekian lama kami berpisah.
Sudah
tiga tahun, aku tidak melihat dirinya. hanya kudengar suaranya melalui telefon.
Aku hanya dapat memandangi foto-fotonya di jejaring sosial. Bukan sebuah
perjalanan hubungan yang mulus. Aku sering bertengkar dengannya, tapi
pertengkaran itu tak lantas membuatku membencinya. Rasa rinduku tidak pernah
berubah. Aku selalu menunggu dan terus menunggu saat pertemuan kami menjadi
sebuah kenyataan.
Galang
berhasil mendapatkan izin pindah tugas dari Biak ke Jakarta. Jarak kami semakin
dekat. Namun, pertemuan yang belum menjadi nyata itu membuat semuanya terasa
hambar. Hari ini, Galang berjanji akan mengunjungiku di Solo. Janji akan sebuah
pertemuan itu akan menjadi nyata. Aku merasa begitu bahagia menyadari bahwa
impianku akan menjadi sebuah kenyataan.
Detik
demi detik terus berlalu. Aku masih terus menunggu dengan sabar. Mataku masih
terus mencari-cari sesosok pria bertubuh tegap dengan kulit hitam dan seragam
kebanggaannya. Aku meyakini bahwa dia akan datang. Aku meyakini bahwa Galang
tidak akan mengingkari janjinya.
Aku
terdiam. Aku tak bisa berkata apapun ketika kulihat sesosok pemuda dengan
seragam loreng dan baret jingga terpasang rapi di kepalanya. Dia membawa tas
ransel yang cukup besar. Sungguh lidahku kelu hendak berkata. Rasanya dadaku
sesak dipenuhi oleh kebahagiaan. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba
HP-ku berbunyi. Aku tahu kalau yang menghubungiku adalah Galang karena di saat
yang sama aku melihat dia sedang menelefon sambil memandang ke sekeliling
ruangan seperti sedang mencari-cari seseorang.
“Di
depanmu,” ucapku perlahan setelah itu kumatikan telefonnya.
Kami
saling bertatapan dari kejauhan. Perlahan aku melangkah mendekatinya.
Begitupula dengan dirinya. Hatiku rasanya tak karuan. Lidahku terasa kelu. Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Saat
dia tepat berdiri di depanku, aku hanya mampu menatap matanya. Tak kusadari air
mata menetes di pipiku. Sungguh kerinduanku seakan ingin kulampiaskan
sepenuhnya.
“Hai!”
ujarku dengan suara tertahan.
Dia
membuka kedua tangannya, seolah memberikanku tempat untuk mendekapnya. Aku pun
tak dapat menahan diriku lagi. Kuhempaskan tubuhku ke dalam dekapannya.
Kulepaskan tangisanku di dalam pelukannya. Kudekap erat tubuhnya. Begitupula
dengan dirinya. Dia mendekapku dengan erat. Sungguh pelukan yang begitu hangat
dan sangat ingin kurasakan setelah sekian lama kami harus berpisah.
Kami
saling melepaskan diri dari pelukan yang telah menenggelamkan diri kami ke
dalam lautan rindu yang terlampiaskan. Galang menghapus air mataku seraya
bertanya, “Kenapa menangis?”
“Kau
masih bertanya kenapa aku menangis? Kau benar-benar nggak pengertian,” gerutuku
dengan manja.
Galang
tertawa. Kemudian dia merangkulku dan mencium keningku.
“Aku
paham, Sayang. Aku juga rindu kok,” ucapnya perlahan.
Sepanjang
perjalanan menuju ke rumahku, aku terus bercerita sedangkan dia hanya diam dan
memandangi wajahku. Setelah aku menyadari bahwa Galang memperhatikanku dan
tersenyum, aku melihat ke arahnya dan mengerutkan keningku.
“Kau
ini kenapa sih? Senyam-senyum terus. Emangnya di muka aku ada yang lucu ya?”
tanyaku keheranan.
“Kamu
itu lho, dulu waktu PDKT bisanya cuma diem aja. Waktu di telefon, cerewetnya
minta ampun. Ternyata aslinya cerewet juga. Hahaha....,” jawabnya sambil
tertawa.
“Ih,
malah ngetawain! Ya udah, kalau gitu aku diem aja,” ucapku.
“Yeee,
malah ngambek! Jelek tahu kalau lagi ngambek gitu. Justru omelan kamu itu yang
buat aku kangen kalau kamu nggak telefon.”
“Gombal!
Huuu...”
Begitulah
gaya berpacaran kami. Aku kerap kali bermanja padanya dan dia sering menggodaku
hingga wajahku memerah. Walaupun hanya sebatas telefon, hubungan jarak jauh
yang kami bina selama satu tahun berpacaran terasa tidak memiliki jarak yang
berarti.
Sesampainya
di rumah, keluargaku menyambut Galang dengan hangat, termasuk mama. Keluargaku
sudah mengenal Galang saat aku bertemu dengannya pada tahun 2009 silam.
Sehingga tidak mengherankan jika mama dan adik-adikku sudah sangat akrab
dengannya. Apalagi Galang memunyai karakter yang santai dan sopan kepada
orangtua serta mengalah kepada yang lebih muda.
Mama
terus mengobrol dengannya. Aku yang sudah membuatkan minuman untuk dia dan mama
sengaja meninggalkannya bersama mama dan duduk di teras rumahku. Aku tidak
ingin mengganggu percakapan mereka. Lagipula jika aku berada di antara mereka,
mama dan Galang pasti akan menjadikanku objek pembicaraannya.
“Ceritanya
menyendiri nih di sini?” tanya Galang yang tiba-tiba muncul dan membuatku
terkejut.
“Cuma
nggak mau ngeganggu kalian aja,” ucapku seraya tersenyum.
Galang
memegang pundakku. Lalu kutatap matanya.
“Kita
jalan-jalan yuk!” ucapnya dengan semangat yang samar.
“Memangnya
mau jalan-jalan ke mana?”
“Ke
Waduk Cengklik, udah itu terserah deh, kamu mau ngajak aku ke mana.”
“Kita
ke keraton dulu ya, terus ke Waduk Cengklik. Besok, kita ke Tawangmangu, ke air
terjun Grojogan Sewu. Gimana?”
“Boleh
juga itu!”
“Ya
udah. Kalau gitu sekarang dirimu ganti baju dulu, Sayang. Masa mau jalan-jalan
pake seragam.”
“Iya,
iya. Bantuin milih baju yuk!”
“Yeee,
kayak mau ketemu sama menteri aja sampe harus dipilihin bajunya.”
“Ayo
dong, Jelek! Bantuin ya!”
“Iya,
Item. Ya udah, ayo masuk! Mana tasnya?”
Aku
pun membantu Galang memilih pakaian yang akan dipakainya. Setelah Galang
memakai pakaian yang kupilihkan, aku merapikan pakaiannya. Aku pun mengganti
pakaianku dan sedikit berhias.
Di
halaman rumah, Galang sudah berdiri di dekat sepeda motor yang terparkir di
sana. Aku mendekatinya sambil memasangkan helm di kepalaku.
“Jelek,
kamu cantik banget,” ucapnya setengah berbisik.
Aku
hanya tersipu malu dan menundukkan wajahku. Aku takut jika Galang melihat rona
merah di wajahku, dia akan semakin menggodaku. Apalagi dia merasa senang sekali
jika mampu membuatku tersipu-sipu malu.
Mama
melihat kami dari teras rumahku. Sementara adik-adik perempuanku mengintip dari
jendela. Aku dan Galang saling berpandangan dan tersenyum melihat perilaku
adik-adikku.
Aku
dapat memahami tingkah laku adik-adik perempuanku yang masih kekanak-kanakan.
Apalagi Galang juga dekat dengan mereka, terutama kepada Arista. Galang
menganggap Arista seperti adik kandungnya. Hal ini karena dia tidak pernah memunyai
adik kandung perempuan. Ketiga adik kandungnya adalah laki-laki.
Setelah
kami berpamitan kepada mama, aku dan Galang segera berangkat ke tempat yang
telah direncanakan, Keraton Kasunanan Surakarta. Galang terlihat begitu cekatan
membawa sepeda motor. Dia tetap hati-hati walaupun mengambil kecepatan yang
semakin tinggi. Sepanjang perjalanan, aku yang mengarahkan ke mana sepeda motor
itu harus dikendalikan.
Sesampainya
di Keraton Kasunanan Surakarta, Galang kuajak berkeliling melihat bangunan tua
yang sekarang digunakan sebagai museum itu. Aku melihat Galang tidak terlalu
tertarik pada tempat itu. Galang itu berjiwa petualang. Dia lebih menyukai alam
terbuka untuk dijadikan tempat liburan dibandingkan tempat-tempat bersejarah
ataupun bangunan modern.
Aku
hanya diam saja melihat kebosanan Galang. Aku ingin menguji kesabarannya.
Selama ini, jika kami mengobrol via telefon, dia selalu sabar menghadapiku.
Walaupun aku marah atau kesal padanya, dia hanya diam. Jika aku cemburu, dia
berusaha meyakinkanku. Aku ingin memastikan dirinya yang sebenarnya.
Satu
jam lebih kami mengelilingi museum Keraton Kasunanan Surakarta. Walaupun
wajahnya menunjukkan kebosanan, Galang tidak mengeluh dan meminta keluar dari
bangunan tua itu. Pemandu masih menjelaskan berbagai bagian dari museum itu
ketika aku meminta untuk menghentikan perjalanan berkeliling keraton.
Setelah
itu, aku menarik tangan Galang, mengajaknya keluar dari museum. Galang terkejut
dengan tindakanku itu. Namun, aku tidak memedulikannya. Aku langsung menariknya
untuk naik ke atas andhong[1].
Kami pun berkeliling alun-alun Keraton Kasunanan Surakarta.
“Kenapa
tadi langsung keluar, Ay?” tanya Galang padaku.
“Apa
kau kira aku suka melihat item-ku ini mati kebosanan di dalam sana?”
Aku
melihat wajah Galang yang masih keheranan. Aku tersenyum melihat raut Galang
itu. Lalu kuarahkan wajahnya ke salah satu kandang lembu yang menjadi simbol
keselamatan rakyat Solo.
“Sudah.
Jangan dipikirin banget! Intinya aku nggak mau lihat kau bosan mendengarkan
celoteh pemandu wisata tadi. Inilah duniamu. Alam terbuka. Benar kan?”
cerocosku.
Galang
tersenyum lalu merangkulku. Dia terlihat antusias melihat berbagai macam barang
yang berada di alun-alun. Mulai dari sapi Slamet yang merupakan sapi bule milik
kebanggaan keraton, hingga kereta kuda tua yang dulunya dimanfaatkan untuk
mengangkat mayat. Dia banyak bertanya padaku dan juga kusir. Aku senang melihat
Galang yang seperti itu. Aku senang bisa membuatnya tersenyum bahagia.
Setelah
kami puas mengelilingi alun-alun keraton, aku mengajak Galang untuk minum es
dawet ayu yang berada di sekitaran keraton. Walaupun Keraton Kasunanan
Surakarta itu dekat dengan pasar Klewer, aku tidak mengajak Galang ke sana. Aku
tidak ingin Galang membelikanku berbagai macam barang. Lagipula kami harus melanjutkan
perjalanan ke Waduk Cengklik.
Galang
selalu mengagendakan untuk bersantai ria di Waduk Cengklik. Bukan karena
keindahan tempatnya, melainkan karena kenangan masa lalu Galang di tempat ini.
Waduk Cengklik merupakan sebuah waduk yang dekat dengan Bandara Adi Sumarmo dan
tidak jauh dari mess TNI AU. Tempat ini kerap dikunjungi oleh pasangan muda
hanya untuk sekedar duduk menikmati udara sore atau jalan-jalan dan lari pagi.
Semasa
pendidikan di Lanud Adi Sumarmo, Galang dan teman-temannya sering melewati tempat
ini ketika sedang latihan. Disiplinitas dan masa karantina yang cukup lama
membuat kebanyakan dari mereka merasa iri dengan kebebasan orang-orang yang
terlihat sedang bersantai ria menikmati udara sore yang sejuk dengan hamparan
air waduk yang jernih. Apalagi sebagian dari orang-orang yang bersantai itu
membawa pasangannya. Hal itu membuat siswa-siswa TNI AU semakin iri.
Galang
pun merasakan hal yang sama. Sebelum dia sempat datang ke Solo, setiap kali
membicarakan mengenai kedatangannya ke Solo, dia selalu menyebutkan Waduk
Cengklik. Galang selalu mengatakan bahwa dia ingin memamerkan kemesraan di
depan siswa-siswa yang masih menjalani pendidikan di Lanud Adi Sumarmo.
Sore
itu, sepulang dari keraton, kami langsung menuju Waduk Cengklik. Aku dan Galang
memilih duduk di bawah salah satu pohon rindang yang tidak jauh dari jalan
utama yang melintasi waduk itu. Galang terlihat sangat senang memandang jauh ke
arah waduk yang tidak begitu luas itu.
Sayup-sayup
terdengar hentakan kaki dan teriakan bernada dari kejauhan. Aku dan Galang
mulai mencari-cari asal suara itu. Tidak lama kemudian terlihat beberapa baris
pemuda berkulit hitam legam sedang membawa senjata. Mereka berlari-lari kecil
seraya bernyanyi.
Galang
merapatkan posisinya kepadaku. Dia merangkulku dengan tiba-tiba. Aku merasa
terkejut melihat tingkah lakunya. Namun, aku memahami alasan dia melakukan hal
itu. Dia tersenyum puas saat beberapa pemuda yang berada di barisan itu menoleh
ke arah kami.
“Lihat
itu, Ay! Mereka pasti iri ngeliat kita kayak tadi. Hahaha..,” ujar Galang
dengan raut wajah penuh kepuasan.
“Item,
Item. Balas dendam nih ceritanya?”
“Iya
dong, Jelek. Emang enak digituin! Dulu saku yang digituin. Sekarang gantian
dong!”
“Dasar
Item. Kalau udah kumat jahilnya, ampun deh!”
“Biarin!
Yang penting masih sayang kan?”
“Auah
gelap!”
“Ini
terang kok, matahari belum tenggelam.”
Sore yang indah itu pun terasa semakin indah
dengan Galang di sampingku. Walaupun dia tidak romantis. Dia tidak pandai
merayu. Dia pun tidak pandai berlaku mesra. Namun, cara dia menemaniku terasa
begitu hangat. Walaupun hanya sekedar berpegang tangan dan bersandar di
bahunya, aku dapat merasakan romantisme hubungan yang telah lama terjalin itu.
***
“Mau
ke mana lagi? Kok udah pada dandan gini?” tanya mama.
“Mau
ke Grojogan Sewu, Ma. Mau lihat air terjun,” jawabku singkat.
“Iya,
Bu. Saya minjam Kanaya sebentar ya, Bu,” pamit Galang.
“Iya.
Hati-hati ya di jalan! Ibu titip Kanaya ya, Lang,” pesan mama pada Galang.
Aku
dan Galang segera berangkat ke air terjun Grojogan Sewu yang berada di
Tawangmangu. Seperti sebagian besar air terjun alami lainnya, air terjun
Grojogan Sewu berada di daerah pegunungan yang terletak di Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah, tepatnya di lereng Gunung Lawu. Meskipun bernama
Grojogan Sewu, air terjun ini tidak berjumlah seribu. Di tempat ini terdapat
beberapa tiik air terjun dengan ketinggian yang berbeda dan membentuk cabang-cabang
yang luas.
Setelah menuruni anak tangga yang
sangat banyak, aku dan Galang dapat melihat air terjun itu dari dekat. Kami
berfoto dan bermain-main air sedikit. Lalu kami kembali naik ke lahan bagian
atas. Kami berkuda mengelilingi taman buah yang berada di wilayah itu. Setelah
puas mengelilingi tempat wisata itu, kami beristirahat sejenak di salah satu
tempat yang teduh. Sambil memandangi keramaian orang yang berlalu lalang, kami
berbincang-bincang mengenai banyak hal.
“Aku ingin mengetahui keseriusanmu
padaku. Apakah kau sungguh-sungguh telah mantap hati untuk memilihku?” tanyaku.
“Kenapa ditanya lagi sih, Sayang?
Insya Allah, aku udah mantap hati buat milih kamu. Memangnya kenapa?”
“Apa kau tidak ingin mengetahui
tentang diriku terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan sebesar itu?”
“Apalagi yang harus kuketahui? Aku
mengenalmu sejak tiga tahun yang lalu. Aku sudah kenal orangtua dan
adik-adikmu. Itu kan udah cukup.”
“Belum, Lang. Belum cukup. Kau tidak
ingin tahu mengenai keluarga besarku?”
“Aku akan tahu dengan sendirinya
seiring berjalannya waktu.”
“Lalu kau akan menyesal telah
memilihku setelah kau mengetahui keluarga besarku. Begitukah yang kau
inginkan?”
“Aku nggak bakal nyesal.”
“Apapun yang kau katakan, aku merasa
kau perlu mengenal keluarga besarku sebelum keputusan terbesar dalam hidupmu
itu kau sampaikan pada semua orang.”
“Lalu sekarang kamu hendak apa, Ay?”
“Bolehkah aku menceritakan semua
tentang keluargku?”
“Oke. Ya udah cerita aja!”
“Setelah ini, aku mau kau
mempertimbangkan niatanmu untuk meminangku. Aku tidak ingin ada penyesalan di
hatimu karena telah memilihku. Sungguh, bukan karena aku tidak menginginkan
dirimu, tapi aku merasa bahwa kau pantas mendapatkan hal yang terbaik dalam
hidupmu.”
“Ya udah cerita! Aku bakal dengerin
kok. aku jamin pasti keputusanku bakal tetap sama.”
“Dengerin aja dulu, Tem! Baru ambil
keputusan!” ujarku sambil tersenyum.
***
Pada
tanggal 7 Agustus 1991, pukul 02.00 WIB di sebuah rumah sakit yang berada di
Surakarta, terdengar suara tangisan bayi yang terkejut dengan lingkungan
barunya. Sebuah dunia, tempat dia berpijak dan mengukir setiap takdirnya. Semua
orang yang menyambutnya dengan gelak tawa kebahagiaan. Bayi itu adalah aku,
Kanaya Arnelita Harahap.
Aku
terlahir sebagai seorang bayi perempuan dengan panjang 48 cm dan berat badan
2,8 kg. Kehadiranku menjadi pengobat kesedihan keluargaku yang pernah
kehilangan kakak kandungku, Ricky Riady Harahap. Aku terlahir dan tumbuh dengan
berbagai beban di pundakku. Kedua orangtuaku selalu membanggakanku ke mana pun
mereka melangkah. Kebanggaan itu yang selalu menjadi tuntutan dan beban yang
harus kuperjuangkan di dalam hidupku.
Aku
pantas bersyukur. Aku terlahir di tengah keluarga yang lengkap. Ada mama, ayah,
nenek, tante, om, tidak ada satu pun yang kekurangan dalam keluargaku. Sebagai
seorang anak, aku tidak kekurangan kasih sayang dalam hidupku, setidaknya
sampai aku menginjakkan kakiku di usia 13 tahun. Aku disayangi tidak hanya oleh
anggota keluargaku, tetapi juga tetangga sekitar rumahku. Mereka menganggapku
seperti bagian dari keluarganya.
Keluargaku
semakin lengkap dengan kehadiran ketiga adikku. Billy Iskandar Harahap, adik
laki-lakiku yang lahir pada 20 Mei 1993. Zahra Vinanda Harahap, adik
perempuanku yang pertama lahir pada 16 Mei 1995. Arista Agustina Harahap, adik
bungsuku lahir pada 15 Agustus 1996. Kehadiran ketiga adikku menjadi sebuah
cambuk yang memacu kedewasaan pemikiranku lebih cepat dari waktunya. Hal itu
ynag terkadang membuatku rindu pada indahnya menjadi seorang anak kecil yang
masih ingin bermanja di pangkuan orangtuanya. Namun, aku tidak bisa, karena aku
adalah anak sulung yang mandiri—setidaknya itulah yang menjadi prinsip dalam
hidupku.
Aku
selalu mengira hidupku akan berjalan baik-baik saja dan tanpa hambatan seperti
layaknya cerita dongeng yang kubaca di beberapa buku cerita anak. Namun,
kehidupan tidak semudah itu. Hidup itu kejam. “Siapa yang kuat dia yang
bertahan dan menang”. Kalimat inilah yang kupegang ke mana pun aku melangkah.
Aku selalu menunjukkan kekuatan dan keunggulanku di mana pun aku berada karena
aku ingin selalu menang dan menjadi yang terdepan.
Aku
tumbuh menjadi pribadi yang keras, disiplin, idealis, dewasa dan ambisius. Aku
bukan seorang yang pemaaf, tapi aku berani meminta maaf jika tindakanku salah.
Aku bukan pribadi yang lemah. Aku tidak pernah menangis hanya karena sebuah
gertakan, cemoohan dan kebahagiaan. Aku hanya akan menangis jika hatiku
tersakiti dan lukanya terasa sangat menyakitkan.
Setiap
kali aku memasuki lingkungan baru, aku tahu banyak orang berbisik menyatakan
bahwa aku merupakan seorang gadis yang sombong, angkuh dan berbagai penilaian
buruk lainnya. Namun, aku tidak pernah khawatir akan hal itu. Aku meyakini
dengan sepenuh hatiku, suatu saat nanti akan tiba waktunya orang asing menjadi
keluarga sendiri. Jika mereka sudah mengenalku dengan baik, maka mereka akan
duduk di dekatku dan bercanda denganku. Aku meyakini hal itu.
Aku
mengira Kanaya yang kuat akan tetap menjadi kuat hingga akhir hayatnya.
Ternyata aku salah. Perjalanan hidupku telah membuat jiwa Kanaya yang kuat
menjadi lemah dan menjadi lebih lembut. Perjalanan hidup yang membuatku merasa
menjadi orang terburuk, termiskin dan termalang sedunia. Perjalanan hidup yang
membuatku mengenal cinta yang membuatku kadang tersenyum bahagia dan kadang
menangis sesenggukkan.
Inilah
aku sengan segala sifatku. Namun, ketahuilah bahwa sekeras-kerasnya aku,
seegois apapun diriku, seambisius apapun pikiranku, aku tetaplah seorang
wanita. Aku tetaplah Kanaya yang mengandalkan perasaan. Aku hanya seorang wanita
yang lemah dan terlalu rapuh untuk dihancurkan dengan rasionalitas.
***
Sebelum
aku menceritakan padamu berbagai peristiwa dalam keluargaku, aku ingin
memberitahumu sebuah rangkaian cerita tentang kedua orangtuaku. Pahamilah! Agar
kau paham mengenai bibit, bebet dan bobotku. Agar tidak ada penyesalan dalam
hatimu ketika kau telah memutuskanku untuk menjadi pendamping hidupmu.
Dermawan
Harahap (alm.), beliau adalah ayahku. Dalam berbagai data kependudukan, beliau
dinyatakan lahir pada tanggal 14 Mei 1953. Namun, tidak ada yang tahu dan ingat
dengan pasti tanggal lahir ayahku yang sebenarnya. Di data kependudukan pun,
beliau dicatat sebagai tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, pada
kenyataannya, ayahku tidak tamat sekolah dasar. Bukan karena beliau kurang
pintar, melainkan karena ketidakmampuan nenekku untuk menyekolahkannya.
Beliau
merupakan kebanggaan kedua orangtuanya. Terlahir sebagai anak ketujuh dari
sepuluh bersaudara, ayah selalu mengalah untuk saudara-saudaranya. Beliau rela
bekerja keras di usianya yang masih kecil untuk biaya hidupnya dan kebutuhan
keluarganya. Beliau memang tidak lulus sekolah dasar, tetapi beliau
berpandangan luas. Beliau sangat antusias jika berbicara mengenai politik dan
olahraga. Dari beliau, aku belajar mengenai perpolitikan yang keji dan penuh
kelicikan.
Ayah
merupakan seorang pria yang berwatak keras, cerdas, berpemikiran jauh ke depan,
penuh perhitungan, sayang pada keluarga dan pekerja keras. Itulah penilaianku
terhadap ayahku. Penilaianku untuk tempat bermanja masa kecilku. Penilaianku
untuk seorang ayah yang selalu tertawa saat aku meminta sesuatu dengan berkata,
“Yah, kalau ayah punya uang nanti,...” Penilaianku pada pria yang selalu
berkata kepada teman-temannya, “Ini anakku yang selalu menjadi juara kelas.”
Ayahku
mempersunting mamaku, enam tahun sebelum aku dilahirkan ke muka bumi ini.
Mamaku bernama Suci Lestari. Asal-usul mama jauh lebih jelas jika dibandingkan
dengan ayah. Mama adalah seorang wanita kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah pada
13 Oktober 1966. Beliau merupakan salah satu keturunan dari kerajaan yang
berdiri di Jawa.
Mama
adalah seorang wanita lulusan Sekolah Menengah Atas (SMEA). Mama tergolong
wanita ynag cerdas, rajin, tegas, hormat kepada orangtua dan selalu ingin
berkarier. Walaupun ayah tidak menyukai jika mama bekerja, mama tetap saja
nekat untuk bekerja di beberapa perusahaan multilevel.
Mama
mendidikku dan adik-adikku dengan sangat tegas dan disiplin. Waktu untuk makan,
bermain, belajar, mandi, mengaji, tidur, semuanya dudah terjadwalkan dengan
baik. Bahkan, kebiasaan menaruh barang yang sudah digunakan ke tempatnya semula
menjadi salah satu didikan beliau.
Pemikiranku
dan mama kerapkali berbeda. Kami sering berdebat, terlebih mengenai pergaulan.
Mama selalu berkata bahwa semua orang dijadikan teman baik. Untukku itu tidak
berlaku. Aku akan menilai seseorang secara psikis terlebih dahulu sebelum aku
menyatakan bahwa dia adalah temanku. Aku terlalu berpilih karena aku tidak
ingin terjerumus pada kejahatan yang terselubung dan hal itu yang kerap kali
dialami oleh mamaku. Pandangan yang berbeda dan sifat keras kepala yang sama
membuat aku dan mama sering bertengkar. Bahkan, aku pernah meminta untuk masuk
ke sekolah Taruna Nusantara agar aku tidak terlibat perdebatan sengit lagi
dengan mamaku. Walaupun begitu, aku sangat menyayangi mama.
Aku
marah ataupun mendebat mama karena terkadang aku merasa kesal dengan teman mama
yang kerapkali memanfaatkan mama. Selain itu, aku terkadang merasa iri dengan
anak-anak lainnya yang diperlakukan ibu mereka dengan penuh kasih sayang dan
kelembutan. Sedangkan mama selalu memperlakukanku dengan ketegasan. Hal itu
yang membuatku jarang bercerita mengenai permasalahanku di sekolah. Bahkan,
utuk bertanya mengenai pelajaran saja jarang. Aku lebih memilih untuk memahami
dan menyelesaikan masalah dengan caraku sendiri.
Aku
tidak dapat bermanja pada mama. Adik-adikku lebih menyita kasih sayang mama.
Oleh karena itu, setiap ayah pulang, dua minggu sekali, aku selalu bermanja
pada ayah. Aku menyayangi kedua orangtuaku. Walaupun keinginanku untuk sebuah
kehangatan dan kelembutan kasih sayang kerap kali tidak kudapati, aku tahu
mereka menyayangiku dengan sepenuh hati dan segenap jiwa mereka.
Itulah
kedua orangtua kandungku. Meskipun ayahku telah tiada, kau harus memahaminya.
Agar aku paham, asal sifat dan sikapku. Mereka adalah orang yang telah merawat
dan membesarkan wanita yang hendak kau nikahi ini. Dapatkah kau menerima mereka
tanpa ada pengecualian? Pertimbangkanlah itu dalam hatimu!
***
Hal
ketiga yang harus kau ketahui adalah mengenai keluarga besarku. Baik itu
keluarga dari pihak ayah, maupun dari pihak mama. Aku menceritakan ini padamu dengan
harapan bahwa kau akan memahami posisi keluarga kecilku di tengah keluarga
besarku. Sehingga kau pun dapat menempatkan diri dalam keluargaku dengan tepat.
Itupun jika kau masih tetap berniat mempersuntingku.
Jika
mengingat keluargaku, ingin rasanya diriku kembali ke masa kanak-kanak di mana
ayah selalu memanjakanku dan aku terus bermain dengan kakak-kakak sepupuku.
Namun, hal tersebut tidak mungkin. Aku terus dewasa dan permasalahan dalam
keluarga menjadi bagian dalam hidupku juga.
Hubungan
keluarga ayah dan mama tidak terlalu dekat. Selain karena jarak Kota Medan dan
Solo yang jauh, perbedaan budaya dan waktu bertemu yang relatif minim membuat
hubungan kedua keluarga ayah dan mama tidak terlalu akrab. Hanya orang-orang
tertentu dari keluarga ayah yang dekat dengan keluarga mama dan begitupula
sebaliknya. Jika kami sedang berada di Solo, maka kami dekat dengan keluarga
mama. Jika kami berada di Medan, maka kami dekat dengan keluarga ayah.
Pada
tahun 1995, aku dan keluarga kecilku pindah dari Medan ke Solo. Aku tidak tahu
tanggal pastinya, tapi aku ingat dengan pasti bahwa kepindahan kami ke Solo
beberapa hari setelah mama melahirkan Zahra. Aku pun tidak tahu dengan pasti
penyebab kepindahan kami yang terbilang mendadak itu.
Aku
masih ingat ketika aku melihat mama yang sedang hamil besar membawa sebuah
koper yang cukup besar. Saat aku bertanya ke mana beliau akan pergi, beliau
hanya berpesan untuk tetap di rumah dan menurut dengan Bouk[2]
Lila. Sepeninggal mama, hanya ada aku, Billy dan Bouk Lila di rumah kami. Bouk
Lila adalah adik sepupu ayah yang tinggal di rumah kami untuk membantu mama
yang sedang hamil tua.
Sekitar
dua hari kemudian, ayah yang merupakan seorang supir bus antarkota
antarprovinsi, pulang ke rumah setelah lebih dari seminggu menempuh perjalanan
Medan-Solo. Ketika ayah pulang, mama masih belum pulang. Keluarga besar ayah
mulai mencari-cari ke mana mama pergi. Hingga akhirnya Bang Zul, keponakan ayah
yang seorang kernet bus antarkota antar provinsi , memberikan kabar bahwa mama
dan Zahra sedang dalam perjalanan menuju Solo dan saat itu sedang berada di
Pekan Baru bersamanya.
Ayah
langsung memutuskan untuk pindah ke Solo malam itu juga. Aku, Billy dan Bang
Fandi, keponakan ayah yang tinggal bersama kami sejak kecil, ikut berangkat
malam itu juga. Beberapa jam kemudian, kami bertemu dengan mama di sebuah rumah
makan yang berada di Pekan Baru. Mama sedang menggendong Zahra yang masih
berusia beberapa hari dan di sebelahnya berdiri Bang Zul.
Sesampainya
di Solo, hampir seluruh keluarga dari pihak mama menyambut kami dengan hangat.
Kami tinggal di rumah Mbah[3]
Sari, ibu kandung mama. Namun, kehangatan itu perlahan mulai memudar. Keluarga
mama mulai berselisih paham, terutama dengan mama. Sikap mama yang tegas dan
tetap pada pendirian selalu berseberangan dengan sikap Mbah Sari dan beberapa
anggota keluarga lainnya yang selalu berusaha menerapkan aturan-aturan baru.
Permasalahan kecil yang muncul dalam keluarga dapat menjadi hal besar yang
menyebabkan perseteruan dalam rumah Mbah Sari. Apalagi Budhe[4] Kapti,
kakak tiri mama, termasuk salah satu orang yang kerap memberikan aturan baku
dalam keluarga dan mama tidak menyukai hal tersebut.
Budhe
Kapti tidak menyukai pernikahan mama dengan ayah. Menurut Budhe Kapti, mama
yang berpendidikan lebih tinggi daripada ayah dan merupakan wanita yang cerdas,
tidak seharusnya menikah dengan ayah. Apalagi ayah hanya seorang supir bus
antarkota antarprovinsi. Tidak hanya Budhe Kapti yang tidak menyukai pernikahan
ayah dan mama, tetapi Mbah Sari juga tidak menyetujui. Sedangkan saudara mama
yang lainnya, seperti Pakdhe[5]
Haryo, Paklik[6]
Rendro dan Bulik[7]
Wati menyetujui dan bersikap wajar terhadap mama dan ayah.
Ketidakcocokan
mama dengan Budhe Kapti dan Mbah Sari membuat ayah memutuskan untuk pindah dari
rumah Mbah Sari dan mengontrak sebuah rumah di kawasan Kartasura, Jawa Tengah.
Sebelumnya, kami sempat tinggal beberapa bulan di rumah kontrakan Paklik Rendro
yang terbilang cukup besar. Namun, mama menyadari bahwa tinggalnya dua keluarga
dalam satu rumah bukan merupakan hal yang baik, maka kami pun pindah ke
kontrakan kami yang berada di Kartasura itu.
Tahun
demi tahun berlalu, konflik-konflik kecil sering muncul dalam keluarga mama.
Ikatan kekeluargaan itu seolah-olah muncul dan tenggelam. Ada kalanya semuanya
berjalan baik dan penuh keharmonisan. Ada kalanya semuanya berjalan penuh
ketegangan.
“Keluarga
bukan hanya mereka yang memunyai ikatan darah dengan kita.” Itulah ajaran mama.
Di mana pun kami berada, tetangga dan teman dekat menjadi anggota keluarga
untuk kami. Di Kartasura, anggota keluarga kami pun bertambah. Bang Fandi yang
bertekad menjadi tentara, mengikuti seleksi di Komando Pasukan Khusus
(Kopassus). Namun, dia gagal pada seleksi terakhir. Kegagalannya menjadi
anggota Kopassus justru membentuk sebuah kedekatan dengan beberapa orang
anggota Kopassus yang berada di Kartasura.
Bang
Regar dan Bang Junaedi merupakan dua di antara banyak teman Bang Fandi yang
menjadi anggota Kopassus. Mereka sering bertandang ke rumah, terutama ketika
hari libur. Mereka memperlakukanku seperti adik kandungnya. Bahkan, Billy
pernah diajak ke mess mereka dan bermain di sana seharian. Walaupun saat ini
komunikasi di antara kami sekeluarga dengan mereka terputus, mereka tetaplah
saudara kami.
Tahun
2000, kami pindah kembali ke Medan. Seperti ketika sampai di Solo pada tahun
1995, keluarga di Medan menerima kami dengan tangan terbuka. Semuanya menyambut
kami dengan penuh kehangatan.
Untuk
beberapa bulan, kami sekeluarga tinggal di rumah Bouk Mina, kakak kandung ayah.
Bukan karena kami tidak memunyai rumah, melainkan karena rumah kami masih dalam
masa sewa. Rumah kami yang ditinggalkan pada tahu 1995 itu disewakan agar tetap
terawat. Selama menunggu selesainya masa sewa, mama mempersiapkan beberapa
perabotan rumah tangga yang diperlukan nantinya.
Aku
tahu bahwa kala itu keluarga kami sedang dalam krisis. Ayah yang sempat keluar
dari tahanan karena tidak sengaja menabrak orang yang melintas begitu saja pada
saat demonstrasi 1998. Apalagi jumlah penumpang merosot pasca reformasi. Dengan
kata lain, keluarga kami memulai dari nol lagi. Inilah awal mula aku belajar
melepaskan kemanjaanku.
Kanaya
kecil yang masih kelas III SD paham benar dengan kondisi yang dihadapinya.
Kanaya kecil tidak pernah menuntut apapun pada orangtuanya. Bahkan, untuk
meminta uang saku berlebih pun tidak pernah. Kanaya kecil pun mulai belajar
mandiri. Dia mulai berani pergi naik angkot seorang diri untuk berangkat dan
pulang sekolah. Walaupun pada awalnya, dia masih diantar-jemput, perlahan
Kanaya kecil memupuk keberaniannya menempuh
perjalanan sekitar 5 km dengan angkot. Dari hal itulah masa kecilku yang manja
menjadi lebih mandiri dan berani.
Ketika
masa sewa rumahku telah selesai, aku, mama dan adik-adikku segera menempati
rumah kami itu. Aku melihat kesedihan di mata mama, ketika beliau mengamati aku
dan adik-adikku yang tidur di atas selembar tikar karena mama belum bisa
membelikan kasur. Saat itu, ayah sedang dalam perjalanan dari Solo. Sehingga di
dalam rumah yang berdiri di atas tanah berukuran 12x13 meter itu hanya ada aku,
mama dan adik-adikku yang masih kecil.
Baru
beberapa hari menempati rumah itu, aku dan adik-adikku menaglami demam tinggi
secara serempak. Mama kelimpungan mengurusi kami. Walaupun tidak ada satupun di
antara kami yang rewel, aku tahu kalau mama kebingungan. Hingga akhirnya ayah
pulang membawa seperangkat VCD dengan kaset CD film Superman. Billy senang
bukan kepalang. Billy tidak henti-henti mengamati perangkat VCD yang ayah beli.
Begitupula aku dan adik-adikku yang lain. Kami menonton film Superman dengan
antusias. Ya Allah, rasanya seperti ada setitik kebahagiaan di tengah kepahitan
yang kami alami.
Perlahan
kondisi perekonomian keluarga kami membaik. Perabotan rumah tangga, seperti
lemari, tempat tidur, meja dan kursi tamu, serta berbagai keperluan lainnya
sudah mulai terpenuhi. Renovasi rumah pun dilakukan. Lantai yang sebelumnya
hanya semen halus, diubah dengan memasangkan keramik. Rumag yang sebelumnya
masih berupa tumpukan bata, disemen dan dicat dengan rapi. Warna cat rumah pun
diganti setiap tahunnya. Asbes pun dipasang. Dapur yang sebelumnya sangat kecil
diperluas dan ditambah dengan ruang makan. Rumah yang tidak terlalu besar itu
pun dipagari dan ditata halamannya dengan rapi. Semuanya berubah ke arah yang
lebih baik.
Seperti
madu yang dikerumuni lebah atau gula yang dirubung semut, di dalam kondisi yang
semakin membaik itu, semua keluarga dekat dan jauh berdatangan. Teman menjadi
kerabat, musuh pun menjadi teman. Apalagi ayah dan mama termasuk orang yang
bersikap terbuka dan sangat pengasih kepada sesama. Pintu rumah kami terbuka
untuk siapa pun. Sehingga bukan hal yang istimewa jika pada hari libur rumah
kami ramai dengan sanak saudara. Apalagi jika ayah berada di rumah.
Acara
kumpul keluarga menjadi tempatku berkomunikasi langsung dengan
saudara-saudaraku yang remaja. Walaupun tidak ada yang seumuran denganku, aku
merasa nyaman jika bermain atau bercanda dengan mereka. Namun, adakalanya aku
merasakan jenuh, terutama dengan sikap kakak-kakakku yang lebih tua lima sampai
enam tahun dariku. Aku jenuh dengan bahan pembicaraan mereka. Setiap kali
bertemu dengan mereka dan berjalan bersama mereka, selalu yang kudengar
pembahasan mengenai pacar, cinta dan pemuda yang tampan. Aku tidak terbiasa
dengan bahan pembicaraan seperti itu. Bukan aku tidak normal atau tidak pernah
merasakan jatuh cinta, melainkan pilihanku untuk menyimpan hal-hal yang
bersifat pribadi. Jika aku jatuh cinta, aku hanya akan diam saja tanpa
mengumbarnya di setiap pembicaraan. Kalau aku hendak bercerita aku mengubah
tema dan menyelipkan sedikit yang ingin kusampaikan. Itulah hal yang membuatku
jenuh. Terkadang aku pernah mengeluh pada mamaku dan berkata, “tukang gosip
datang.”
Sedangkan
dengan adik-adikku, baik yang sepupu maupun kandung, aku selalu menjadi bahan
untuk kejahilan mereka. Oleh karena itu, aku lebih memillih bermain dengan
keponakan-keponakanku yang masih balita atau bercerita dengan orangtua.
Walaupun terkadang isi pembicaraan juga berhubungan dengan gosip, aku
mengetahui banyak hal tentang adat istiadat dan nilai-nilai di dalam suku Batak
Mandailing.
Aku
dan mama tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Semut di kejauhan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak—begitulah
pepatah melayunya. Biarlah setiap orang mengurusi kehidupannya masing-masing!
Kalau apa yang mereka lakukan mengganggu kehidupan kita, saat itulah kita
berhak untuk masuk ke dalam perkara itu. Prinsip itu yang hingga kini aku dan
mama junjung.
Kebiasaan
berkumpul ini terus berlanjut selama kami masih di atas tanduk kejayaan. Ketika
ayah tidak lagi menjadi supir bus Medan-Solo dan dipindahkan ke trayek
Medan-Pekan Baru, perekonomian kami mulai melambat. Penumpang bus terbilang
sedikit. Apalagi trayek yang ayah tempuh juga tergolong pendek. Kala itu,
kebiasaan berkumpul itu mulai jarang dilakukan.
Terlebih
lagi ayah sempat dipecat dari pekerjaannya oleh anak nenekku yang merupakan
pemilik dari PT tempat ayah bekerja. Kejayaan itu mulai meredup. Walaupun ayah
dipanggil kembali untuk bekerja dengan trayek yang lebih panjang, yaitu
Jember-Medan, kehidupan kami masih belum stabil.
Pada
tahun 2003, ketidakcocokanku dengan mama mulai muncul. Kami sering bertengkar.
Aku tidak menyukai beberapa teman mama yang kunilai memanfaatkan mama. Mereka
memanfaatkan mama yang memunyai posisi yang baik di dalam multilevel tempat
mama bekerja. Aku tidak menyukai itu dan mama tidak memercayaiku.
Teman-teman
mama menguras tenaga, pikiran dan kantong mama. Kondisi ekonomi keluarga
semakin menurun. Hingga akhirnya mama pergi dari rumah tanpa pamit. Ayah yang
berada di rumah saat mama pergi ikut kelimpungan mencari-cari mama.
Hampir
seminggu ayah mencari mama. Tidak hanya di Medan, tapi juga di Solo, Pekan Baru
dan Bali. Akhirnya ayah menemukan mama sudah berada di Solo. Ayah membujuk mama
untuk pulang ke Medan, tapi mama tidak berani pulang karena banyaknya hutang
yang melilit keluarga kami. Akhirnya ayah memutuskan untuk menjual rumah kami.
Selama
ayah dan mama di Solo, aku dan ketiga adikku berada di Medan. Kami dirawat oleh
Bouk Mina. Walaupun Bouk Mina terhitung sudah tua dan sering terserang asma dan
cepat lelah karena kegemukan, beliau tetap cekatan dalam mengatur kami di
rumah. Aku tidak ingin memberatkan Bouk Mina karena itu kulakukan berbagai macam
hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
Aku
berusaha mencuci pakaian seisi rumah jika aku sedang libur sekolah. Namun, jika
aku berangkat ke sekolah, Kak Fatimah—anak pertama dari Bouk Nisma, adik
kandung ayah—yang mencucikan pakaian kami. Kak Fatimah pun mendapatkan uang
saku dari ayah untuk melakukan hal itu. Aku juga berbelanja dan membersihkan
rumah serta belajar memasak. Kala itu kurasakan susahnya menjadi seorang ibu
yang harus mengurus tiga anak yang masih kecil.
Pada
tahun 2004, setelah rumah kami dijual dengan harga yang sangat murah,
adik-adikku berangkat ke Solo, sedangkan aku tetap berada di Medan. Ayah
menawarkan pilihan padaku untuk tetap tinggal di Medan atau ikut pindah ke
Solo. Aku pun memilih untuk tetap tinggal di Medan.
Terlalu
banyak hal yang aku pertimbangkan saat itu. Aku tidak ingin kehilangan prestasi
yang telah kuukir di SMP favorit yang menjadi tempatku bersekolah. Kala itu,
aku pun masih marah kepada mama yang telah meninggalkan kami begitu saja.
Kebencianku dan ambisiku untuk menjadi yang terbaik di Medan membuatkku tetap
bertahan.
Sejak
tahun 2004 sampai 2007, aku tinggal dengan keluarga dari pihak ayah. Sepanjang
masa akan selalu kuingat pengalamanku selama tiga tahun itu. Berpindah dari
satu keluarga ke keluarga yang lain. Bukan hal yang mudah untuk menyesuaikan
diri denganberbagai aturan di keluarga yang berbeda. Namun, itu kujalani demi
kelangsungan pendidikanku.
Pada
tahun pertamaku di Medan. Aku aktif mengikuti berbagai macam di sekolah. Mulai
dari paskibra sampai berbagai perlombaan, termasuk olimpiade matematika.
Walaupun tidak mendapatkan gelar juara, aku puas dengan berbagai pencapaianku.
Kala itu, aku tinggal di rumah Bouk Mina. Selama di rumah beliau, ayah kerap
datang dan memberikanku uang saku dan berbagai kebutuhan sekolah.
Pada
tahun kedua aku di Medan tanpa mama dan adik-adikku, aku tinggal di rumah
Amangboru[8]
Ahmad. Beliau adalah seorang mantri. Kehidupan Amangboru Ahmad yang tergolong
berkecukupan dan tidak memunyai tanggungan anak karena anak beliau satu-satunya,
Kak Nur sudah menjadi perawat dan sudah menikah, maka aku pun diminta untuk
tinggal bersama mereka.
Ketika
tinggal bersama mereka, aku berkecukupan secara materi, Amangboru Ahmad sering
memberikanku uang saku untuk berangkat ke sekolah. Beliau juga sering
mengantarkanku ke sekolah. Namun, secara psikis, aku merasa tertekan. Oleh
karena itu, aku meminta kembali ke rumah Bouk Mina.
Hidup
menumpang di rumah orang lain tidak akan pernah menyenangkan sekalipun itu
adalah orang yang dekat dengan kita. Selama tiga tahun di Medan, cukup puas
rasanya aku disanjung karena prestasi yang kuraih. Namun, cukup puas pula
rasanya aku dimaki, dicaci, dimarahi dan dibatasi pergerakannya dengan berbagai
aturan yang terbilang kolot dan menghambatku mengikuti berbagai kegiatan.
Ketika
aku tinggal di rumah Bouk Mina, beliau dan suaminya, Amangboru Udin, tidak
pernah memarahiku. Sekalipun menegurku yang mulai malas shalat dan mengaji,
mereka akan menegurku dengan sindiran yang tidak ditujukan langsung kepadaku.
Namun, anak bungsunya tidak seperti itu.
Suatu
ketika Bouk Mina memarahi Kak Aas, anak bungsunya karena setiap pekerjaan rumah
tangga dikerjakan olehku. Kak Aas tidak menyukainya. Apalagi Bang Radit, kakak
laki-laki Kak Aas, lebih sering memberi berbagai macam hal kepadaku karena aku
sering menurut perkataannya. Hal itu membuat Kak Aas semakin marah. Hingga
akhirnya dia berkata padaku, “Kau ini cuma numpang di rumah ini. Sadarlah kalau
kau cuma numpang!” Sungguh sakit sekali rasa hatiku. Aku hanya bisa diam dan
melangkah perlahan ke kamar mandi untuk meneteskan air mata.
Tidak
hanya sekali dua kali, tetapi berulang kali. Pernah pula dia berkata padaku,
“Kau ini keluarga broken home. Omak[9]
entah di mana, ayah kau pun entah di mana. Udah pulang aja kau sana ke Solo.”
Aku pun hanya bisa diam. Aku tahu bahwa dia mengatakan hal yang benar, tapi aku
sering bertanya, apakah dia tidak pernah berpikir jika dia berada di posisiku.
Aku pun tidak pernah bermimpi akan menghadapi posisi sulit seperti kala itu,
tapi takdir Tuhan memintaku untuk
melaluinya.
Tidak
hanya Kak Aas, semasa aku masih tinggal di rumah Amangboru Ahmad, Kak Nur yang
juga tinggal di rumah itu bersikap sama.Dia sering bercerita kepada tetangga
kalau aku malas, pekerjaanku tidak beres dan berbagai hal lain. Penyebabnya
hanya karena aku menunda untuk mencuci piring. Aku menunda mencuci piring
karena gejala tipes yang menyerangku membuatku pusing dan aku tidak sanggup
berdiri.
Hampir
setiap hari aku membersihkan rumahnya yang begitu besar. Mulai dari
membersihkan bagian dalam rumah, halaman yang begitu luas, mencuci piring dan
memasak. Namun, hanya karena satu hal kecil yang kulakukan karena alasan
kesehatanku, omongan tidak mengenakkan pun disampaikan kepada orang lain di
depan mataku.
Aku
dilatih untuk hidup bak orang yang tinggal di kolong jembatan. Makan nasi yang
sudah tidak layak dimakan pun bukan hal yang asing lagi untukku. Semasa tinggal
di rumah Amangboru Ahmad, ketika hendak berangkat ke sekolah dan aku tida
mendapati lauk apapun di atas meja makan, aku segera memasak nasi yang setengah
membusuk dari dalam magic jar. Kugoreng
nasi itu dengan sedikit minyak jelantah dan kutambahkan sedikit garam dan
bawang merah.
Enak
ataupun tidak , sudah tidak terasa lagi. Jika aku hendak puasa, aku cukup
membeli sepotong roti atau sebungkus susu kental manis untuk sahur. Namun, aku
tidak pernah mengeluh dengan semua yang kuhadapi. Aku sangat sadar bahwa semua
itu adalah proses yang harus kutempuh untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sikap
Kak Nur berubah ketika mengetahui ayahku datang ke rumah Amangboru Ahmad dan
memberikanku sedikit uang untuk ikut pulang kampung bersama keluarga besar dan
membeli pakaian lebaran. Mereka bersikap baik dan berharap bahwa aku akan
memberikan uang untuk membeli bensin selama perjalanan. Padahal saat itu ayah
hanya memberikanku uang Rp 300.000,00.
Tiga
tahun hidup bersama saudara dari pihak ayah di Medan mengajarkanku banyak hal.
Aku menjadi pribadi yang lebih tegar, kuat dan pentang menyerah di hadapan
orang banyak. Walaupun di hadapan diriku sendiri aku harus menahan sakitnya
hatiku atas perlakuan mereka, aku tidak pernah menunjukkannya kepada siapa pun.
Setiap hal yang kualami di Medan membuatku lebih menghargai hasil kinerja orang
lain. Aku pun berjanji pada diriku sendiri bahwa orang yang kelak mengalami
posisi yang sama denganku dulu, akan kurangkul dan kuperlakukan dia jauh lebih
baik daripada apa yang dilakukan oranglain kepadaku.
Beberapa
orang kasar kepadaku dan beberapa lainnya masih bersikap baik padaku. aku
selalu menghargai dan mengingat sikap baik mereka. Suatu saat jika aku berada
di atas roda kehidupan, aku tidak akan pernah lupa bahwa ada mereka yang perneh
manjadi bagian dari masa laluku yang cenderung gelap.
***
Solo,
kota kelahiranku. Aku menginjakkan kaki kembali di kota ini setelah hampir
delapan tahun tidak pernah kukunjungi. Aku tidak pernah menyesal kembali ke
kota ini. Walaupun banyak unggah-ungguh yang tidak dapat kupahami, aku tetap
senang menjadi bagian dari kota ini. Apalagi aku dapat bertemu denganmu di kota
ini.
Perbedaan
budaya membuatku harus berusaha lebih keras untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi di kota Solo. Mulai dari cara berbicara hingga cara bersikap. Banyak
hal yang harus kuubah dalam diriku.
Ketika
aku di Medan, aku pernah ditertawakan oleh saudaraku karena aku menyahut sapaan
orang lain dengan nada yang lemah lembut. Namun, ketika di Solo, aku
ditertawakan oleh teman-temanku karena aku menjawab sapaan orang lain dengan
nada yang keras. Belum lagi logat Medan yang kerapkali kugunakan walaupun aku sedang
berbahasa Jawa.
Semua
perbedaan itu membuatku merasa terasing. Namun, semangatku untuk meraih
prestasi dan cita-citaku membuatku tetap bertahan. Aku meyakini bahwa
teman-temanku akan dekat denganku jika aku memunyai kelebihan. Popularitas
adalah senjata paling utama, yang harus kubangun untuk memunyai banyak teman.
Ketika
di Medan, aku membangun popularitasku dengan mengikuti berbagai macam
organisasi. Aku pun menjadi salah satu siswa yang kritis dan kerapkali membuat
kakak kelas tidak berkutik dengan kritikanku. Namun, di Solo, aku tidak ingin
berorganisasi. Aku membangun sebuah popularitas dengan berbagai prestasiku. Aku
mengikuti berbagai macam lomba dan berhasil membawa nama sekolah hingga ke
tingkat provinsi. Hal itulah yang membuat seantero sekolah mengenalku.
Bukan
karena kecantikan, tapi karena prestasi. Aku mengakui bahwa diriku bukan
seorang gadis yang cantik jelita. Aku cenderung berpenampilan apa adanya.
Bahkan, postur tubuhku tergolong tidak ideal. Aku gemuk, berkulit hitam, wajah
penuh dengan jerawat dan berkacamata tebal. Namun, pada akhir masa SMA-ku, aku
berubah secara berangsur-angsur.
Aku
mulai belajar cara berdandan. Aku mulai menata diriku. aku menurunkan berat
badanku. Kanaya yang tidak pernah tampil dengan rambut rapi dan seragam yang
penuh gaya, berubah menjadi seorang gadis yang selalu memperhatikan pakaian dan
tatanan rambutnya.
Pada
tahun 2009, aku lulus dengan nilai terbaik untuk semua jurusan. Aku masih ingat
dengan baik ketika aku dipanggil sebagai lulusan terbaik dalam acara wisuda
SMA. Aku mendapatkan sebuah amplop hadiah berisikan uang Rp 100.000,00.
Aku
juga mndapatkan hadiah berupa uang saku dari salah satu guru fisikaku.
Sebelumnya, beliau pernah berjanji padaku akan memberikanku hadiah jika aku
mendapatkan nilai ujian nasional di atas delapan untuk mata pelajaran fisika.
Aku pun berhasil mendapatkan nilai 9,5 untuk mata pelajaran fisika. Oleh karena
itu, beliau memberikanku uang sebesar Rp 50.000,00 sebagai hadiah atas
prestasiku.
Hadiah-hadiah
itu adalah sumber nafas untuk kehidupan keluargaku kala itu. Tahun 2009
merupakan tahun tersulit dalam kehidupan keluargaku. Kehadiranmu dan
teman-temanmu di tahun itu membuatku merasa tidak terasing. Kalian menjadi
temanku dan kau hadir untuk mengambil hatiku.
Sepanjang
tahun 2007—di saat aku pindah ke Solo—hingga 2009, kehidupan keluargaku tidak
sebaik prestasi-prestasi yang kuraih di sekolah. Tahun-tahun ini adalah
masa-masa tersulit dalam hidupku.
Pada
minggu-minggu pertama kepindahanku ke Solo, ayah dan mama sering bertengkar. Mama
menuntut agar angkutan kota milik kami yang berada di Medan segera dijual untuk
biaya hidup kami. Namun, ayah menolak dan berkata itu untuk biaya masa depan
kami. Seperti biasanya, aku mencoba menengahi pertengkaran mereka. Namun, aku
gagal. Hingga akhirnya aku hanya dapat menangis di dalam kamar semalaman.
Pada
pagi harinya, ayah dan mama sudah akur. Ya, seperti itulah mereka. Aku pun
bersyukur karena dapat melihat mereka akur kembali.
Sejak
kepindahanku ke Solo hingga akhir tahun 2007, aku dan keluargaku menempati tiga
kamar di sebuah kos-kosan keluarga di Tohudan, Colomadu. Setelah itu, kami
pindah ke sebuah rumah tua yang cukup luas jika dibandingkan dengan tiga kamar
kos yang kami huni sebelumnya. Di rumah inilah ujian hidup itu dimulai.
Akhir
tahun 2007, di rumah yang baru saja kami tempati, kami mendapat kabar bahwa
ayah divonis menderita penyakit kanker paru-paru dan pneumonia[10].
Vonis dokter tersebut diperoleh setelah ayah memeriksakan kesehatannya di Medan
dan dibantu oleh Amangboru Ahmad. Awalnya ayah tidak tahu mengenai vonis dokter
tersebut. Pihak keluarga ayah menyembunyikan hal tersebut dari ayah. Mereka pun
memberikan kabar kepada kami mengenai vonis itu melalui telefon.
Ayah
nekat pulang ke Solo seorang diri. Beliau masih belum mengetahui vonis dokter
tersebut ketika sampai di Solo. Beliau baru mengetahuinya ketika mama
memeriksakan kondisi ayah ke rumah sakit khusus paru-paru.
Mama
terus mengupayakan pengobatan ayah. Mulai dari pengobatan medis yang terbilang
mahal, hingga pengobatan alternatif. Mama mengurus jaminan kesehatan masyarakat
(Jamkesmas) agar ayah mendapatkan keringanan untuk biaya pengobatan.
Bouk
Nisma pernah datang ke Solo dengan niat untuk menjenguk ayah. Ketika Bouk Nisma
berada di Solo, ayah pernah marah besar dan membuat kondisinya semakin
memburuk. Kemarahan ayah disebabkan karena mama dan Bouk Nisma pergi terlalu
lama.
Ketika
Bouk Nisma berada di Solo, dia meminta mama menemaninya berbelanja ke pasar
Klewer. Ayah pun memberikan izin. Mereka pergi berbelanja dalam waktu yang
cukup lama. Bahkan hampir lima jam,
mereka baru kembali ke rumah. Padahal itu sudah melewati batas waktu
minum obat ayah. Sedangkan aku tidak tahu obat yang mana yang harus kuberikan
kepada ayah. Selain itu, ayah juga tidak mau meminum obat, kecuali diberikan
oleh mama. Oleh karena itu, ketika mama dan Bouk Nisma pulang, ayah marah besar
dan kondisi beliau menjadi semakin melemah. Sasaran kemarahan ayah bukan Bouk
Nisma, melainkan mama. Kemarahan ayah ini membuat mama membenci keluarga yang
berada di Medan.
Menurunnya
kesehatan ayah, membuat mama memutuskan untuk membawa ayah ke rumah sakit dan
menjalani rawat inap. Hampir tiga bulan ayah dirawat di rumah sakit. Mama tidak
dapat pergi ke mana pun. Beberapa kali mama ke rumah untuk mengawasi kami. Aku
dan adik-adik perempuanku tinggal di rumah dan jarang ke rumah sakit karena
kesibukan sekolah dan memberekan rumah. Billy yang kala itu baru lulus SMP dan
sedang mendaftar ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), lebih sering manginap di
rumah sakit bersama mama.
Angkutan
kota yang pernah menjadi permasalahan antara mama dan ayah pun akhirnya dijual
dengan sistem dicicil. Uang hasil penjualan angkutan kota itu digunakan untuk
biaya hidup selama mama tidak bekerja dan ayah di rumah sakit. Selain itu, uang
tersebut juga digunakan untuk biaya masuk SMK Billy dan SMP Arista. Belum lagi
biaya untuk tahun ajaran baru aku dan Zahra.
Hingga
pertengahan Juli, ayah sudah dua kali melakukan kemoterapi, tapi tidak juga ada
perubahan keadaan ke arah yang lebih baik. Hal tersebut membuat ayah semakin
frustasi. Ayah menjadi sering marah-marah. Apalagi jika mama meninggalkan
beliau sebentar saja. Tuduhan dan sikap ayah ini semakin bertambah kasar.
Hingga akhirnya, ayah meminta keluarga yang di Medan datang dan menjemputnya.
Pada
tanggal 6 Agustus 2008, Bouk Nisma, Bang Novan—suami Kak Nur—dan Bang
Rendi—keponakan ayah dari kakak laki-lakinya—sampai di Solo. Mereka
mempersiapkan keberangkatan ayah. Mereka menunjukkan wajah ketidaksukaan kepada
kami karena kami dituduh tidak menjaga dan merawat ayah dengan baik.
Tepat
di hari ulang tahunku yang ke-17, ayah diberangkatkan ke Medan melalui bandara
Adi Sumarmo. Tidak seorang pun dari kami—anak-anak ayah yang mengantarkan
beliau ke bandara. Kami tidak berani mengantarkan beliau karena tidak seperser
pun uang di saku kami, kecuali untuk ongkos ke sekolah. Kami pun dapat
memastikan bahwa tiga orang saudara kami itu tidak akan memberikan kami uang
saku untuk pulang dari bandara.
Malam
harinya, mama dan Bang Fandi—yang kembali tinggal bersama kami setelah sempat
diusir oleh ayah—pergi membawa sekarung pakaian bekas layak pakai dan beberapa
barang yang sudah tidak terpakai lagi. Barang-barang bekas itu hendak dijual
dengan harga yang sangat murah. Namun, malam itu hanya sebagian saja yang terjual.
Uangnya hanya dapat digunakan untuk sarapan kami sebelum berangkat ke sekolah.
Keesokan
harinya, ketika aku pulang dari sekolah, aku melihat mama dan Bang Fandi
menenteng karung goni besar. Aku hanya dapat menelan air ludah melihatnya.
Dalam hati aku hanya dapat berkata, “Ini adalah mulanya, apa yang terjadi kali
ini akan terbalaskan pada waktunya.”
Usaha
mama dan Bang Fandi tidak hanya sebatas itu. Keesokan harinya, Bang Fandi
berjualan kasur lantai dengan cara berkeliling. Sedangkan mama ikut membuat
kasur lantai yang dimodali oleh temannya. Namun, hasil usaha itu belum mampu
mencukupi kebutuhan keluarga, terutama untuk biaya sekolah.
Waktu
terus berlalu, tepat di hari ulang tahun Arista, 15 Agustus 20008, mama
dihubungi oleh salah satu kepala kantor perwakilan tempat ayah bekerja. Beliau
mengabarkan bahwa ayah sudah meninggal dunia pada malam sebelumnya. Kami
berusaha menghubungi keluarga di Medan, tetapi tidak ada yang mengangkat
telefon kami. Bahkan, mereka menolak telefon kami.
Jika
kau bertanya bagaimana perasaanku, aku akan menjawab dengan sangat jelas, aku
membenci mereka. Aku tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran mereka. Aku, mama
dan adik-adikku adalah keluarga ayah. Kami darah daging dari ayah, tetapi
mereka tidak memberikan kabar sedikitpun kepada kami bahwa ayah sudah meninggal
dunia. Rasanya aku ingin marah, menangis dan memaki, tapi semuanya tertahan
dalam hatiku.
Malam
itu juga kami membacakan surah Yasin untuk ayah. Aku dan adik-adikku masih
belum memercayai keadaan yang melanda kami. Tidak pernah terbersit di benak
kami bahwa kami akan kehilangan ayah. Kami tidak pernah membayangkan bahwa kami
akan menjadi anak yatim. Namun, inilah kehidupan. Semuanya sudah diukir Tuhan,
manusia hanya tinggal menjalaninya.
Di
tengah keterpurukan itu, mama mendatangi Budhe Kapti untuk mengabarkan
meninggalnya ayah. Mama juga meminta bantuan kepada Budhe Kapti untuk biaya
pendidikan kami. Hal ini mama lakukan karena di antara saudara seibu, hanya
Budhe Kapti yang hidup lebih dari cukup.
Namun,
aku melihat wajah mama yang lesu sepulang dari rumah Budhe Kapti. Ketika aku
menanyakan penyebab kelesuan mama, beliau langsung berkata, “Mulai sekarang
jangan ada lagi yang menginjakkan kaki ke rumah Budhe-mu itu! Aku nggak rela
kalau kalian ke rumah si Kapti itu lagi!”
Aku
terkejut sekali mendengarnya. Aku terus mendesak mama menceritakan apa yang
terjadi ketika mama di rumah Budhe Kapti. Hingga akhirnya mama menceritakan
bahwa Budhe Kapti tidak bersedia membantu biaya pendidikan kami dan berkata,
“Anak yatim di dunia ini bukan cuma anakmu, yang harus dibantu ya bukan anakmu
saja. Kalau mau uang ya kamu kerja yang nggak
perlu pake modal.”
Aku
hanya dapat menghela nafas dan berkata, “Ya udah. Nanti juga ada rezeki yang
lain.”
Sejak
saat itu, hubungan kami dan Budhe Kapti terputus, kecuali dengan anaknya, Mbak
Puri. Aku dan Mbak Puri masih sering berkomunikasi via email. Dengan saudara
dari pihak mama yang lain kami masih sering berkomunikasi. Walaupun Mbah Sari
dan Mbah Buyut sudah meninggal, setiap lebaran kami masih sering berkunjung ke
rumah peninggalan Mbah Sari yang ditinggali oleh Pakdhe Haryo. Namun, kami
selallu pulang lebih awal ketika lebaran. Kami menghindari pertemuan dengan
Budhe Kapti. Kami tidak mau mama marah dan kecewa karena kami masih bersikap
baik dengan Budhe Kapti.
Waktu
terus bergulir dan aku bersama keluargaku mulai menyusun kehidupan kami. Mama
menikah dengan seorang atlet voli, Bapak Sudjarwo. Beliau bertemu dengan mama
ketika ayah masih dirawat di rumah sakit. Beliau membantu kehidupan ekonomi kami kala itu. Walaupun beliau belum
menikah dengan mama, beliau tidak sungkan mengirimkan uang untuk kebutuhan
sehari-hari dan mengontrak rumah. Namun, beliau berhenti menjadi atlet setelah
menikah dengan mama. Beliau tidak ingin jauh dari mama, sedangkan mama belum
siap meninggalkan kami di Solo. Oleh karena itu, beliau menolak beberapa
tawaran untuk bertanding di Kalimantan.
Sebelum
menikah dengan Bapak Sudjarwo, kami sekeluarga pindah ke Kartasura. Kepindahan
kami ke Kartasura bertujuan untuk mempermudah aku dan Billy untuk menempuh
perjalanan ke sekolah. Kala itu aku sedang duduk di bangku kelas III SMA. Aku
harus sampai di sekolah jam enam pagi untuk pelajaran tambahan dan pulang jam
tiga sore untuk les tambahan di sekolah. Sementara Billy mengikuti kegiatan
Paskibra sehingga harus pulang menjelang maghrib setiap harinya.
Kepindahan
kami ke Kartasura membuat aku dan Billy tidak perlu khawatir jka tidak ada bus
atau angkutan umum yang beroperasi saat kami pulang. Hal ini disebabkan semua
bus mini dan angkutan kota yang menuju kawasan Colomadu hanya beroperasi hingga
pukul lima sore. Sedangkan di kawasan Kartasura, bus yang beroperasi tidak
hanya bus mini dan angkutan kota, tetapi juga bus antarkota antarprovinsi.
Selain itu, transportasi umum tersebut beroperasi hingga malam hari.
Mama
dan Bapak Sudjarwo menikah pada tanggal 24 Desember 2008. Pesta sederhana pun
digelar di rumah kami. Keluarga dari pihak mama dan bapak datang. Pesta pun
berlangsung cukup meriah. Namun, kelanjutan dari pesta itu tidak berlangsung
dengan menyenangkan.
Setelah
pesta pernikahan selesai, mama dan bapak pergi ke tempat yang tidak kuketahui
selama seminggu. Di rumah hanya ada aku, adik-adikku dan Bang Fandi. Mama
sesekali datang ke rumah mengantarkan makanan untuk kami. Setelah itu, beliau
pergi kembali entah kemana.
Pada
malam tahun baru 2009, aku melihat adik-adikku yang kelaparan karena tidak ada
makanan apapun di rumah. Mereka duduk di ruang tamu. Mata mereka menatap ke
arah pagar berharap mama datang membawa makanan. Aku ingin membelikan makanan,
tapi aku tidak memunyai uang simpanan lagi. Tidak lama kemudian, seorang
tetangga datang membawakan roti dan beberapa potong kue. Adik-adikku memakannya
dengan begitu lahap. Hatiku merasa sedih sekali melihat hal itu.
Beberapa
hari kemudian, mama dan bapak pulang ke rumah. Aku yang merasa kecewa menyambut
mereka dengan kemarahan. Aku dan mama bertengkar. Namun, setelah itu, aku dan
mama bersikap seperti tidak pernah ada pertengkaran di antara kami.
Beberapa
hati kemudian, mama meminta bapak kembali ke Sragen untuk mengupayakan
pekerjaan yang lebih layak. Ketika bapak berada di Sragen, kami pindah ke
sebuah rumah yang lebih kecil.sebuah rumah yang hampir tidak layak huni. Namun,
kami merasa nyaman dengan keadaaan rumah itu. Lantainya berlapis semen yang
tidak rapi. Atapnya bocor, tidak ada ruang tamu, hanya sedikit bagian untuk
dapur dan kamar mandi yang berada di bagian luar rumah. Itulah rumah kecil yang
kami tempati.
Kami
tidak memunyai banyak perabot yang dapat memenuhi rumah kecil itu. Kami hanya
memunyai pakaian seadanya, buku-buku pelajaran sekolah, peralatan masak dan
sebuah kasur lantai. Kami tidak memunyai apapun lagi.
Untuk
makan dan ongkos berangkat ke sekolah, mama membantu orang yang berjualan bebek
goreng di pasar Kartasura selama satu malam. Beliau harus mengipas bara api
yang membakar sate dan ayam atau bebek bakar, mencuci piring kotor, mengangkat
bahan makanan dari rumah yang mempunyai warung sampai ke pasar. Semua pekerjaan
itu dikerjakan oleh mama. Semua pekerjaan itu hanya dihargai Rp 20.000,00
setiap malamnya.
Tak
jarang mama mengeluh lelah dan badannya terasa pegal. Apalagi beliau mengalami
kesulitan tidur di siang hari. Sehingga beliau selalu kurang tidur jika
melakukan pekerjaan tersebut. namun, beliau tetap melakukannya demi mendapatkan
uang Rp 20.000,00 untuk sarapan dan ongkos kami berangkat ke sekolah. Itupun
tanpa uang saku untuk jajan di sekolah.
Siang
harinya mama mencuci pakaian orang yang meminta bantuannya. Beliau juga
menerima permintaan pijat dan lulur untuk wanita. Untuk setiap pekerjaan itu,
beliau hanya menerima uang Rp 25.000,00. Ya, malam bekerja untuk makan pagi,
pagi bekerja untuk makan siang dan siang bekerja untuk makan malam.
Aku
dan adik-adik mengerti posisi kami yang sangat sulit. Ketika mama harus pulang
pagi untuk membantu orang yang berdagang di pasar, aku dan adik-adik akan
bangun sebelum subuh. Kami membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Jika minyak
tanah masih ada, kami merebus air secukupnya. Sebelum jam enam pagi, mama
pulang dan semua pekerjaan rumah sudah selesai. Jam enam pagi kami pun
berangkat ke sekolah.
Hidup
itu berat. Hidup tidak pernah memberikanku kesempatan untuk bermimpi lagi. Jika
dulu aku menyimpan mimpi untuk menjadi seorang dokter, maka ketika kuhadapi
pahitnya kehidupan, mimpi itu kukubur dalam hatiku. Walaupun aku menangis
setiap malam dan menyampirkan cita-citaku itu dalam setiap shalat tahajudku,
aku tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil. Untuk lulus SMA yang tinggal
beberapa bulan saja, aku meragukan kemampuanku untuk mencapainya. Apalagi untuk
kuliah dan mengambil jurusan kedokteran, aku membutuhkan dana puluhan juta yang
tidak mungkin bisa aku dapatkan.
Bapak
belum mendapatkan pekerjaan yang layak, sedangkan mama membanting tulang untuk
mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. Aku pun mulai mencari
jalan untuk mendapatkan uang. Aku mulai mengajar les.
Awalnya
aku hanya membantu adik-adik kelas yang ingin mengerjakan tugasnya. Namun,
lambat laun, adik-adik kelasku menjadikanku tentor mereka dan memberikan uang
setiap kali aku mengajar. Setiap pertemuan mereka memberiku lima belas sampai
dua puluh ribu rupiah. Memang tidak rutin, aku mendapatkan jadwal menagjar
seperti itu. Setidaknya aku bisa membantu meringankan beban mama walaupun hanya
sedikit.
Setelah
mengetahui aku dapat mengajar berbagai macam pelajaran, ibu yang memunyai
kontrakan memintaku untuk mengajar anaknya. Setelah dua minggu aku mengajar
anaknya atau dapat dikatakan sebanyak enam kali aku datang ke rumahnya untuk
mengajar les, pemilik kontrakan hanya membayarku sebesar Rp 18.000,00. Aku
hanya diam saja.
Mama
marah sekali mengetahui hal itu. Beliau mencoba menjelaskan kepada pemilik
rumah bahwa aku selalu dibayar sebesar lima belas sampai dua puluh ribu rupiah.
Namun, pemilik rumah menjawab penjelasan mama dengan menyatakan bahwa dia
memintaku mengajar anaknya karena kasihan dan ingin membantu keluargaku. Dia
juga menyatakan bahwa dia sudah cukup baik membayar sejumlah itu karena dia
telah menyediakan seperangkat kursi tamu di kontrakannya yang terbilang murah.
Aku
dan mama hanya mengangguk-angguk. Dalam hati aku merasa kecewa. Aku tahu mama
pun merasakan hal yang sama. Kami memahami posisi kami sebagai orang kecil yang
tidak memunyai apapun. Itulah kehidupan, yang kecil tetaplah bukan siapa-siapa
dan yang kaya tetaplah yang berkuasa.
“Rezeki
itu tidak akan ke mana.” Begitulah kata pepatah. Itu pula yang terjadi pada
kami. Keluargaku mendapat bantuan dari sejumlah guruku. Ada yang memberikan
kami beras dan keperluan sehari-hari dan ada yang memberikan bantuan berupa
uang. Bahkan, seorang guru kimiaku, Bu Endah, menyuruhku sarapan di warung
depan sekolah setiap hati tanpa aku harus membayar. Beliau tidak ingin aku
sakit atau tidak dapat konsentrasi dalam belajar hingga tidak dapat mencapai
hasil ujian nasional yang maksimal. Aku berterima kasih karena ada banyak guru
yang begitu menyayangiku dan memedulikan keadaan keluargaku.
Selama
kami berada di rumah kecil itu, bapak tidak pernah pulang ke Solo. Mama
sesekali datang ke Sragen untuk mengetahui keadaan bapak. Namun, mama tetap
melarang bapak untuk datang ke Solo.
Hanya
sebulan keluargaku menempati rumah kecil yang sebenarnya sudah tidak layak huni
itu. Setelah itu kami pindah ke sebuah kamar kos berukuran 4x6 meter. Di kamar
itu, keluargaku tidur, makan, belajar dan shalat. Sebuah kamar kecil untuk
berteduh lima orang sekaligus. Kamar kos tersebut kami tempati selama sebulan.
Bapak
yang pulang dari Sragen, membuat kamar kos tersebut tidak dapat kami tempati
lagi karena sangat sempit dan tidak wajar jika bapak dan anak tirinya tidur
dalam satu ruangan yang sama. Oleh karena itu, mama dan bapak mencari kontrakan
baru yang lebih memungkinkan untuk kami berenam. Mama dan bapak memilih sebuah
rumah yang terdiri dari tiga blok berukuran 3x3 meter.
Rumah
itu bukanlah rumah yang sehat dan layak huni. Rumah itu tanpa ventilasi udara.
Bagian depan rumah itu digunakan untuk berjualan daging oleh pemilik rumah.
Sehingga kerapkali tercium bau daging di dalam rumah. Oleh karena itu, aku
begitu sedih berada di dalam rumah itu. Aku jarang keluar rumah.
Semasa
liburan sekolah dan menunggu pengumuman hasil seleksi beasiswa dari Belanda,
aku hanya tinggal di rumah. Sesekali aku keluar rumah untuk mengajar les di
dekat rumah atau ke sekolah untuk melihat pengumuman pengambilan ijazah. Selama
di rumah itu, aku menjadi seorang Kanaya yang pemurung.
Hanya
sebulan pula kami tinggal di rumah itu, kami pun mencari kontrakan baru di
kawasan Colomadu. Seorang ibu yang merupakan teman dari Mbah Sari menawarkan
rumahnya yang bersebelahan dengan poskamling. Rumah itu sebelumnya pernah
dikontrakan kepada sebuah keluarga. Di rumah itu pula, pernah dibuka warung
makan yang sangat laris. Oleh karena itu, ibu pemilik kontrakan meminta
keluarga kami untuk tinggal di rumah itu dan membuka warung kecil-kecilan
dengan modal pinjaman dari ibu pemilik kontrakan.
Rumah
itu menorehkan banyak kenangan dalam hidupku. Pertemuan dan perpisahan kita
disaksikan oleh rumah itu. Di rumah itu pula aku menemukan banyak hal yang
dapat dijadikan pelajaran. Keluargaku diasingkan dalam masyarakat karena jarang
berkumpul dengan ibu-ibu yang bergosip di poskamling pada sore hari.
Setelah
kau dan teman-temanmu tidak lagi berada di Solo, mama menutup warungnya. Kami
hanya bergantung dari hasil kerja bapak. Sesekali jika aku sedang lancar
mengajar les, aku membantu sedikit dengan pendapatanku. Namun, jika aku sedang
tidak mengajar les, seringkali aku harus menunggu mama mencarikan uang saku
untukku. Di rumah itu pula, mama pernah membawa dagangan berupa roti dari
pabrik keliling kecamatan. Mama juga pernah menjual nasi kucing[11]
keliling pasar Kartasura untuk mendapatkan uang tambahan.
Kehidupan
keluargaku mulai membaik, ketika aku mendapatkan beberapa proyek penelitian
yang menghasilkan uang yang cukup besar. Selain itu, bapak mendapatkan
pekerjaan dari pemborong di Cirebon untuk memasang gypsum. Kami mulai menata
hidup kami.
Hingga
saat ini, kami telah bertahan dan mencapai satu titik yang dapat kau lihat di
depan matamu. Inilah hidupku. Aku bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan
berada. Jika kau berniat meminangku, terimalah aku dengan segala masa laluku!
Aku tidak memiliki apapun. Pahamilah itu, Galang!
Aku
menceritakan ini agar kau paham mengenai kondisi keluargaku yang sudah tidak
utuh dan tidak harmonis. Aku berharap kau dapat memahami hal itu. Sehingga
tidak ada penyesalan kelak.
***
Aku
mengantarkan Galang ke stasiun Purwosari keesokan harinya. Aku tahu hatinya
sedang tidak menentu. Kugenggam erat tangannya lalu aku tersenyum padanya.
“Bukannya
aku nggak sayang, Tem. Aku cuma mau kau bahagia dengan orang yang tepat. Aku
bersyukur jika ternyata orang itu adalah diriku. Namun, jika orang itu bukan
diriku, aku akan mengikhlaskanmu untuk bahagia dengan orang itu. Aku
menyayangimu,” ucapku setengah berbisik.
Galang
menggenggam tanganku dan berkata, “Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu,
Ay. Kamu harusnya tahu, hatiku bingung harus apa waktu kau berkata seperti ini.
Aku nggak tahu harus berbuat apa dan harus bagaimana menceritakan hal ini
kepada ayah dan ibu. Kenapa nggak kamu biarin aja aku tahu masalah ini dengan
sendirinya, sehingga aku tidak pusing memikirkan hal ini?”
Aku
tersenyum kepada Galang. Kutatap matanya seraya berkata, “Kenapa harus bingung,
Sayang? Tanyakan pada hatimu. Dia akan memberikan jawaban yang tepat. Katakan
dengan jujur pada ibu dan ayah! Kalau beliau menerimaku, kau tinggal
memantapkan hatimu lagi padaku. Namun, jika tidak, pertimbangkan kata-kata
hatimu. Jangan dengar apa yang kau pikirkan, tapi dengarkan hatimu! Itu akan
jauh lebih baik.”
“Aku
menyayangimu,” ucap Galang.
Kulihat
matanya berkaca-kaca. Aku hanya dapat mengangguk. Lalu kudekap tubuhnya. Dia
mencium keningku dan aku mencium tangannya.
“Segera
kabari aku setelah sampai di Jakarta ya! Kabari juga keputusanmu!” pesanku.
Galang
hanya mengangguk sambil melangkah memasuki salah satu gerbong kereta api. Aku
hanya dapat mengamatinya dari jauh. Dalam hati kecilku, aku merasakan berat
hendak melepaskannya. Rasanya pertemuan kami terlalu singkat. Di pelupuk mataku
terbayang ketidaksetujuan orangtua Galang dan akhir dari hubungan kami.
“Ya
Allah, berikanlah jalan yang terbaik untuk kami dan tabahkanlah jiwa kami!”
pintaku dalam hati.
BAGIAN II
Perjalanan
kembali ke Jakarta yang penuh dengan kegelisahan. Galang terus memikirkan apa
yang dikatakan oleh Kanaya. Cerita Kanaya mengenai keluarganya yang tidak
sempurna dan harmonis justru menjadi beban pikiran untuk Galang. Di dalam
hatinya ada kebingungan yang tidak dapat dihentikannya.
Di
dalam kereta api yang melaju kencang menuju stasiun Jatinegara itu, Galang
terlarut dalam lamunannya.
“Apakah
Kanaya tidak ingin menikah denganku? Kalau dia memang menginginkan pernikahan
denganku, mengapa dia menceritakan semua itu? Bukankah itu aib keluarganya?
Apakah dia ingin membatalkan niatku untuk menikahinya?” bisik pikiran Galang.
Dia
mengatupkan kelopak matanya. Di dalam benaknya terbayang wajah Kanaya yang
sedang tersenyum padanya ketika pertama kali mereka bertemu, wajah Kanaya yang
berbinar-binar menyambut kedatangannya. Tiba-tiba wajah Kanaya yang berurai air
mata muncul dalma pikirannya dan di telinganya terngiang suara Kanaya yang
berkata, “Aku bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan berada. Jika kau
berniat meminangku, terimalah aku dengan segala masa laluku! Aku tidak memiliki
apapun. Pahamilah itu, Galang!”
Galang
membuka matanya. Dia menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan kuat
seolah-olah hendak menghempaskan segala beban pikirannya. Lalu pandangannya
kembali mengarah pada hamparan sawah yang luas di luar jendela kereta.
Sesampainya
di Jakarta, Galang melangkah dengan lesu. Semalaman dia tidak dapat tidur
memikirkan cerita Kanaya dan keputusan yang harus diambilnya. Dia terus
memikirkan cara menyampaikan hal itu kepada orangtuanya. Dia pun memikirkan
mengenai sikap orangtuanya terhadap pernyataan Kanaya itu.
Galang
memasuki halaman rumahnya dengan lesu. Orangtua Galang, Bu Rini dan Pak Mahmud
yang melihat sikap Galang hanya melihatnya dengan heran. Galang membersihkan
dirinya dan langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya
menatap langit-langit kamar. Pikirannya menerawang tanpa arah.
“Bang,
Kak Aya nitip apa buat Heri?” tanya Heri, adiknya yang nomor dua dan masih
berusia 12 tahun.
Galang
membuka tasnya dan mengambil sebungkus plastik dan memberikannya pada Heri
sambil berkata, ”Dibagi sama Bayu, ya!”
Heri
langsung berlari ke luar kamar sambil berteriak-teriak memanggil Bayu, adiknya.
Di depan pintu kamar, Bu Rini berdiri melihat Heri yang sedang berlari-lari
riang dan menatap Galang yang masih duduk di atas tempat tidur. Bu Rini
mendekati Galang dan duduk di salah satu sisi tempat tidur. Galang hanya
menunduk—tak berani menatap wajah ibunya.
“Kenapa?
Ada masalah sama Kanaya?” tanya Bu Rini.
“Bu,
Galang mau nanya,” ucap Galang datar.
“Ada
apa?”
“Kalau
Kanaya bukan dari keluarga yang utuh dan harmonis, apa ibu dan bapak bisa
menerima Kanaya sebagai menantu?” tanya Galang masih dengan menunduk.
“Ibu
dan bapak baru kenal Kanaya beberapa bulan yang lalu waktu dia ada di Jakarta,
tapi Ibu merasa nyaman bertukar cerita sama Kanaya. Kalau bapak, ibu kurang
tahu. Ibu suka dengan karakter Kanaya.
Masalah
Kanaya dari keluarga yang seperti apa dan bagaimana itu cuma Kanaya dan kamu
yang tahu. Kalian yang menentukan bagaimana dan apa yang terbaik untuk hubungan
kalian. Ibu dan bapak hanya bisa merestui. Kami menerima Kanaya dengan segala
kekurangan dan kelebihannya, asalkan dia bisa menempatkan dirinya dengan baik
dalam keluarga kita. Lang, kau harus ingat menikah itu bukan hanya untuk
menyatukan dua orang dalam satu ikatan, tapi juga menyatukan dua keluarga yang
berbeda dalam satu ikatan yang sama. Jadi keputusan ada di tangan kamu dan
Kanaya. Kalau kamu bisa nerima keluarga Kanaya yang seperti itu dan Kanaya juga
bisa memosisikan dirinya dengan baik dalam masalah ini, ibu rasa tidak ada
masalah untuk melanjutkan hubungan itu.”
“Menurut
ibu, Kanaya cinta nggak sama Galang? Dia mau nggak jadi istrinya Galang ya?”
Bu
Rini tersenyum mendengar pertanyaan Galang.
“Kamu
itu kayak anak kecil aja. Ya, kamu yang tahu, Kanaya cinta sama kamu atau
nggak. Tapi kalau ibu perhatikan sih, dia sayang sama kamu. Masalah dia mau apa
nggak jadi istri kamu, ya kamu tanya langsung aja ke dia! Takut ditolak ya?”
goda Bu Rini.
“Iya,
Bu,” jawab Galang sambil menunduk.
“Jagoan
motor, balapan liar berani, apalagi pegang senjata, pakaiannya juga udah
loreng, tapi ngajakin cewek nikah nggak berani!” sahut Pak Mahmud yang
tiba-tiba muncul di depan pintu kamar.
“Bukan
nggak berani, Yah. Tapi nggak enak aja kan kalau ditolak,” sanggah Galang.
“Sama
aja itu, Lang. Kalau udah mantep sama Kanaya, cepetan dilamar, jangan sampe dia
diambil orang.”
“Iya,
Yah,” ucap Galang.
“Sekarang
nggak usah galau lagi. Dari kemarin sore belum makan kan? Sekarang sarapan dulu
sana! Itu udah ada nasi goreng di atas meja. Kalau mau itu ada rendang jengkol
juga.”
Perkataan
orangtua Galang membuat hatinya sedikit tenang. Dia hanya membutuhkan
kemantapan hati untuk meminang Kanaya.
***
“Kalau
rasanya ada keraguan di hatimu, bacalah surat ini! Agar kau akan tahu seberapa
besar pentingnya dirimu untukku.”
Kata-kata
Kanaya itu tiba-tiba muncul di benak Galang. Dia langsung membongkar lemarinya
mencari lembaran-lembaran surat yang pernah dikirimkan Kanaya padanya beberapa
bulan silam, saat dia merasakan keraguan kepada Kanaya. Di balik tumpukan
pakaiannya, dia menemukan sekumpulan kertas HVS dengan tulisan tangan yang
panjang. Di bagian depan itu tertempel dua buah foto. Foto Kanaya dan Galang.
Galang
mengambil kertas itu dan menutup lemarinya. Dia kembali ke tempat tidurnya dan
membuka lembar demi lembar kertas yang berisi tulisan tangan Kanaya itu.
***
Menemui kekasihku, Galang Novangga.
Aku tak pernah tahu
harus memulai dari mana. Aku hanya tahu bahwa kau harus mengetahui mengenai
hubungan masa laluku karena aku terlalu sering berhadapan dengan rekan-rekanmu.
Kedekatanku dengan lingkunganmu memungkinkan banyak hal negatif yang dapat
muncul kapanpun dan di manapun itu.
Aku tidak ingin
hubungan kita yang telah terjalin dengan susah payah ini menjadi rusak hanya
karena cerita orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Aku tidak ingin kau
meninggalkanku seperti dulu ketika kau mendengarkan hal-hal buru tentangku dari
teman-temanmu, padahal kata-kata mereka hanyalah kebohongan belaka.
Buanglah kertas ini
setelah kau baca, jika kau merasa hal ini tidak penting untuk kau ketahui! Aku
hanya ingin menyampaikan hal ini sebagai bentuk upayaku mengingatkanmu tentang
besarnya isi hatiku padamu. Sehingga kau tidak perlu ragu dan mendengarkan
semua kata orang yang ingin memisahkan kita yang telah terpisah oleh jarak,
ruang dan waktu.
Galang,
Di berbagai jejaring
sosial yang bertuliskan namaku, kau akan menemukan banyak nama yang berasal
dari masa laluku. Mereka adalah bagian dari hidupku. Bagian dari masa yang
pernah kulewati. Kisah masa sekolah itu terkadang dibuat candaan yang tidak
memandang posisiku dan posisimu. Aku tidak mau kau berpikiran buruk sebelum
mengetahuinya yang terjadi sebenarnya.
Galang,
Seperti yang pernah
kuceritakan sebelumnya, aku pernah bersekolah di Solo dan Medan pada waktu
duduk di bangku sekolah dasar. Di Solo, cinta monyetku hanya terjalin sebatas
makcomblang dari teman-teman. Aku tidak pernah berpikir mengenai cinta. Aku
hanya terfokus untuk menjadi juara kelas dan mengalahkan rival terbesarku yang
selalu meremehkanku dan menjatuhkanku. Sehingga aku tidak peduli pada kata-kata
cinta dari beberapa orang kakak kelasku.
Di Medan, aku didekati
oleh beberapa orang teman lelakiku. Ada Ahmad, Wika, Udin, Sulaiman dan Rian.
Sedangkan di kelas setingkat tetapi berbeda ruangan denganku, ada Dika yang
selalu bersikap sok kenal sok dekat denganku. Masing-masing memunyai cara yang
berbeda untuk mendekatiku. Mulai dari yang bertingkah laku aneh dengan
menari-nari di depanku atau belajar menyanyi lagu India yang merupakan lagu
kesukaanku, sampai datang ke rumah dengan alasan meminjam buku catatan.
Namun, aku tidak pernah
peduli dengan mereka. Aku memunyai ambisi besar untuk bersekolah di SMP
favorit. Selain itu,aku terus berupaya untuk mempertahankan gelar juara umum
yang kuraih. Oleh karena itu, aku hanya terfokus untuk mencapai tujuanku itu.
Di antara sekian banyak
pemuda dari masa laluku itu, hanya Wika dan Ahmad yang terus mencari-cariku.
Wika tidak lulus SMP. Pendidikannya terhenti setelah dia lulus dari SD. Dia
begitu antusias setelah mendapatkan nomor HP-ku dari teman wanita kami saat SD.
Tahun 2011, dia menghubungiku. Awalnya aku menanggapinya dengan baik. Aku
menganggapnya sebagai teman lama yang hampir sepuluh tahun tidak pernah
kutemui. Namun, setelah beberapa waktu berjalan, dia terus menghubungiku secara
intensif dan menyatakan perasaannya padaku.
Aku pun menjawab bahwa
aku sudah menyukai pemuda lain. Aku pun meminta maaf padanya. Dia menerima
keputusanku dan meminta kami untuk tetap berteman. Namun, dia terus saja menghubungiku
dan mengajakku mengobrol dalam waktu yang lama. Aku pun merasa apa yang
dilakukannya itu menuntutku untuk memperlakukannya lebih dari seorang teman.
Oleh karena itu, aku mulai tidak memedulikan telefon dan pesan singkat darinya.
Hingga akhirnya, dia lelah dan berhenti menghubungiku pada bulan September
2011.
Sementara itu, Ahmad
menunjukkan sikap yang membuatku kesal. Pada tahun 2009, dia menyatakan
perasaannya kepadaku. Aku menjawab bahwa aku tidak bisa menerimanya. Dia terus
memohon. Aku pun lelah mendengarkannya. Oleh karena itu, aku menagjukan sebuah
syarat yang kuharap akan membuatnya mundur. Aku memintanya masuk menjadi
tentara.
Dia menolak persyaratan
dariku. Namun, dia tetap tidak mau mundur. Akhirnya, kau terpaksa menutup semua
akses untuk menghubungiku. Aku mengganti nomor telefonku. Aku memblokir
pertemanan kami di jejaring sosial. Aku tidak ingin berhubungan lagi dengannya.
Namun, berita yang
membuatku kesal muncul kembali belakangan ini. Beberapa hari yang lalu,
saudaraku sekaligus teman sekolahku saat SD menghubungiku dan mempertanyakan
hubunganku dengan Ahmad. Aku pun menjelaskan bahwa aku dan Ahmad tidak ada
hubungan apa pun. Aku juga menceritakan tentang hubungan kita yang bertujuan
untuk menempuh ke jenjang yang lebih serius.
Saudaraku justru
meragukanku karena Ahmad mengatakan kepadanya bahwa aku adalah pacarnya. Aku
merasa batas kesabaranku sudah habis. Aku pun menyatakan bahwa kebencianku pada
Ahmad dan semua cerita tentang pernyataan cintanya dan penolakanku. Aku tidak
peduli saudaraku itu hendak berpikiran apa dan percaya kepada siapa. Namun, kau
harus percaya bahwa hingga detik ini, Ahmad bukanlah siapa-siapa bagiku.
Aku senang menjadi
seseorang yang dicintai oleh banyak orang. Namun, aku tidak menyukai cinta yang
memaksakan kehendaknya padaku. Jika aku berkata bahwa perasaanku hanya ingin
berteman, maka tidak ada pilihan lain untuk orang itu selain sebuah pertemanan.
Jika hatiku berkata bahwa aku jatuh cinta, maka aku akan memberikan pilihan
pada orang yang kucintai. Sebuah pilihan untuk bersamaku atau menolakku karena
aku mengetahui dan memahami bahwa mencintai seseorang bukan berarti harus
memilikinya, melainkan membuatnya bahagia walaupun dia tidak termiliki.
Galang,
Aku telah mengetahui
masa SMP-mu. Aku selalu berkata bahwa kau begitu beruntung karena kau menjadi
orang yang begitu disukai oleh banyak siswa perempuan. Sedangkan aku tidak
seperti kau. Aku bukanlah siswa perempuan yang cantik dan menjadi salah satu
idola di sekolah. Aku tidak dapat memungkiri bahwa beberapa orang teman
lelakiku menyatakan bahwa dia menyukaiku. Namun, aku tidak pernah
menggubrisnya.
Aku memang dikenal
sebagai salah satu siswa yang berprestasi. Aku tidak dikenal lebih dari itu.
Aku pernah menyukai seorang pemuda bernama Yusuf. Aku menyukainya karena dia
cerdas. Dia merupakan seorang pesaing terbaik yang pernah kumiliki. Saat ini
dia berkuliah di jurusan kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Cinta monyet itu pun
berakhir ketika dia membentakku karena sikapku yang pembangkang dan tidak patuh
kepada dirinya yang merupakan ketua kelas. Aku tidak suka dengan peraturannya
yang monoton dan berisi kepentingan sekelompok orang yang kunilai sebagai musuh
dalam selimut. Kami semakin sering bertengkar dan akhirnya semua kesukaanku
padanya hilang begitu saja.
Kisah SMA-ku menjadi
babak lain kehidupanku yang tidak dapat aku hindari kepahitannya. Kisah cinta
di SMA-ku pun begitu berliku-liku seperti kehidupanku yang tidak pernah
kumengerti alasan Tuhan menempatkanku di jalur itu.
Pemuda pertama yang
hadir dalam kisah cinta SMA-ku adalah Mustafa. Awalnya aku sangat membencinya
karena sikapnya yang mendekati kakak kelas agar mendapatkan keringanan saat menjalani
orientasi siswa baru. Namun, cara dia mengambil hatiku menjadi terasa begitu
luar biasa. Dia tidak pernah memberikanku apapun, tetapi dia mampu mengambil
hatiku dengan isyarat-isyaratnya. Ketika aku sedang tertarik membaca isyarat
yang diberikannya dengan berbagai rahasia di dalamnya, aku terbawa arusnya
cinta untuk masuk ke dalam permainan hati dengan Mustafa.
Aku bukan gadis yang
gampang jatuh cinta. Jika ada pemuda yang mendekatiku, aku akan menilai banyak
hal darinya. Mulai dari fisik sampai ke perilakunya. Penilaian itu pula yang
kuberikan kepada Mustafa.
Secara fisik, beberapa
orang teman perempuanku mengatakan padaku bahwa dia tampan dan berpostur tubuh
proporsional. Namun, tidak untukku. Bentuk wajahnya biasa. Badannya juga kurang
tinggi. Hanya saja dia berkulit putih bersih, sedangkan aku tidak menyukai
pemuda berkulit putih.
Secara sikap, menurut
teman-temanku, Mustafa sangat didambakan oleh banyak teman perempuan. Dia juga
baik dan sopan. Dia terkenal tertib dan tampil sebagai yang terbaik di Paskibra
sekolah.
Namun, tidak begitu
penilaianku untuk sikapnya. Dia itu pemuda yang pandai memikat hati perempuan,
tetapi tidak pandai memeliharanya. Dia itu pemuda yang kurang mampu menempatkan
diri. Dia tidak terlalu cerdas untukku, setidaknya untuk mata pelajaran eksakta
dia masih sering bertanya padaku. masalah popularitasnya sebagai anggota
Paskibra seolah yang terbaik, aku pun dapat menyatakan bahwa aku adalah anggota
OSIS terbaik. Jadi itu tidak pernah menjadi pertimbangan untukku.
Penilaian itu berubah
drastis ketika dia berhasil meraih hatiku. Dia tidak pernah menyatakan rasa
suka ataupun merayuku seperti kepada kebanyakan teman perempuan yang lain. Dia
memperlakukanku dengan istimewa. Aku tidak bisa memungkiri hal itu.
Sering aku mendapati
dia sedang memandangiku diam-diam. Setiap bertemu dengannya, dia selalu menatap
mataku dalam-dalam. Jika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, dia akan
mencariku ke kelas. Suatu ketika Paskibra pernah menggunakan ruangan kelasku
untuk rapat. Aku tidak pernah menyangka bahwa waktu itu, dia menanyakan kepada
sahabatku kursi yang kududuki. Lalu dia duduk di kursi itu dan melihat seluruh
isi meja dan laciku. Selain itu, banyak hal lain yang dia lakukan hingga
membuatku yakin bahwa dia tulus menyukaiku.
Namun, aku salah dan
romantisme itu hilang seketika di saat kebencian muncul di hatiku. Semua itu
berawal dari penghianatan dari sahabat-sahabatku.
Ketika SMA di Medan,
kau memunyai empat orang sahabat dekat. Mereka adalah Graha, Rahma, Fiza dan
Rina. Mereka sudah kuanggap sebagai saudara dekatku. Walaupun gaya hidup mereka
yang terkadang tidak dapat kuikuti membuatku sering merasa rendah diri, aku
tetap memperlakukan mereka sebagaimana seorang sahabat. Apalagi Rina, dia
merupakan temanku sejak SMA. Orangtuanya sudah kuanggap sebagai pengganti
orangtuaku.
Keempat sahabatku
mengetahui bahwa aku menyukai Mustafa. Namun, diam-diam Graha, Rahma dan Fiza
justru mendekatkan Mustafa dengan Ruli, teman Graha saat SMP. Setelah Mustafa
dan Ruli berpacaran, Mustafa masih terus mendekatiku dan ketiga sahabatku itu
memamerkannya padaku. Persahabatan itu kandas. Mereka meninggalkanku.
Ironisnya, hingga detik ini,mereka tidak memedulikan setiap sapaanku, padahal
aku tidak pernah memusuhi dan memarahi mereka mengenai masalah itu.
Kebencianku kepada
Mustafa muncul ketika dia memakiku dengan kata-kata yang kasar. Penyebabnya
hanya sebuah permasalahan kecil, Ruli memutuskan hubungan mereka. Ruli
mengetahui bahwa dia sering mendekatiku. Mustafa menuduhku telah mengadu kepada
Ruli. Oleh karena itu, dia memakiku dengan kata-kata yang kasar dan tidak
sopan. Sejak saat itu, aku tidak pernah menyimpan perasaan apapun dengannya.
Dia hanya bagian dari masa lalu yang kelam bagiku.
Aku memang bukan
seorang gadis yang cantik dan terlalu tertarik untuk menjalin hubungan kasih di
masa SMA. Sehingga aku tidak pernah berpacaran. Cukup banyak teman yang
mendekat. Namun, aku terlalu berpilih dan tidak semua kutanggapi. Apapun usaha
mereka, jika itu tidak mengena di hatiku, aku tidak akan menoleh untuk melihat
padanya.
Aga, Tyo dan Pras
merupakan pemuda-pemuda yang mencoba mendekatiku. Aga, seorang pemuda yang
bertemu denganku dalam sebuah lomba berbahasa Inggris yang diadakan TNI AD. Dia
sangat ambisius. Dia mengirimkan hadiah novel untukku. Dia menjemputku saat
pulang sekolah tanpa meminta izin dulu dariku. Dia juga rela menungguku pulang
sekolah hingga menjelang petang. Namun, upayanya sama sekali tidak mampu
meluluhkan hatiku.
Berbeda dengan Aga, Tyo
tampil sebagai orang yang sangat sederhana. Perjuangannya pun tidak kalah
hebat. Dia rela menjemputku pergi dan pulang sekolah, padahal jarak rumahnya
dan rumahku cukup jauh. Dia tidak pernah memberiku apapun, tapi dia selalu
menurut setiap kali aku meminta bantuannya untuk mengantarkanku ke berbagai
tempat untuk berbagai keperluan. Dia siap kumintai bantuan kapanpun dan di
manapun dia berada. Namun, sama dengan Aga, dia gagal mendapatkan hatiku.
Pras, tidak terlalu
berjuang untuk mendapatkanku. Dia merupakan alumni di sekolahku dan seorang
polisi di Sukoharjo. Dia menceritakan bahwa dia menyukaiku kepada sejumlah
temannya yang merupakan tetanggaku. Oleh karena itu, banyak isu yang menyatakan
bahwa aku dan dia sudah berpacaran.
Kau tidak perlu
mencemburui mereka. Aga tidak pernah mencoba menghubungiku lagi. Tyo hanya
berteman denganku dan hanya menghubungi jika dia ada perlu sesuatu denganku.
Sedangkan Pras sudah menikah. Hatiku sudah terpatri padamu.
Galang,
Aku tidak tahu harus
memulai dari mana kisahku dengan orang-orang dari lungkunganmu. Mungkin kau
sudah mengetahui sebagian dari kisahku itu, karena dirimu menjadi saksi
hubunganku dengan mereka. Namun, kau tidak pernah mengetahui kisah yang
sesungguhnya dari semua cerita yang disampaikan oleh teman-temanmu. Oleh karena
itu, dalam surat ini, aku akan menceritakan semuanya, agar kau tidak salah
paham padaku.
***
Sore itu tanggal 4 Juli
2009. Aku sedang mencuci pakaian ketika kulihat sekelompok pemuda berpakaian
biru sedang lalu lalang di depan kos-kosan. Ya, mereka adalah teman-temanmu dan
mungkin saat itu kau juga menjadi bagian dari mereka yang lalu lalang. Aku
tahu, aku terlihat begitu buruk saat itu. Pakaianku basah, rambutku berantakan
dan pipiku berhiaskan bedak dingin yang begitu tebal.
“Peduli apa? Mereka
juga tidak akan mengenaliku.” Begitulah pemikiranku saat itu. Aku tidak
menghiraukan kehadiranku.
Setelah aku
menyelesaikan pekerjaanku, aku mandi dan sedikit berdandan. Aku masih ingat
dengan jelas, saat itu aku menggunakan pakaian bermotif boneka. Bukan pakaian
bagus, tapi layak untuk dipakai.
Setelah itu, aku duduk
di dipan yang berada di teras rumah. Aku menikmati keindahan sore hari.
Walaupun ada kau dan teman-temanmu yang berlalu lalang, aku tidak peduli. Hari
itu adalah hari pertamaku di rumah yang terletak di depan kos-kosan yang kau
tempati. Itu pula hari pertamaku dapat duduk menikmati waktu senja di teras
rumah setelah sekian lama aku tinggal di tempat yang tertutup dan terkucilkan.
Di saat aku sedang
menikmati waktu senja, aku melihat mama membawa barang belanjaan yang sangat
banyak untuk dijual. Aku berlari mendekati mama dan membantu beliau membawa
barang dagangan. Aku dan adik-adikku membantu mama menyusun barang dagangan
dengan penuh semangat. Untuk kami, keputusan mama membuka warung merupakan
harapan baru dalam hidup kami yang
suram.
Modal yang kami gunakan
saat itu adalah pinjaman dari pemilik kontrakanku dan kos-kosanm. Mama
memutuskan untuk membuka warung kecil dengan modal itu. Itupun atas saran dari
pemilik kos-kosan tersebut. Hari itu pula menjadi hari pertama keluargaku
membuka warung kecil.
Setelah selesai
membantu mama menyusun barang dagangan, aku duduk kembali di dipan. Beberapa
saat kemudian, seorang pemuda datang dan memesan secangkir kopi susu. Dia
adalah Hari. Mama memintaku mengantarkan kopi susu pesanannya itu ke depan kamar
kos kalian. Ketika aku mengantarkan kopi susu itu, Hari berkata padaku, “Baru
pindah ya, Mbak?” dan aku hanya menjawab dengan kata, “Iya.”
Jika kau bertanya
mengenai perasaanku saat itu, maka aku akan menjawab bahwa tidak ada sesuatu
yang spesial kala itu. Tindakannya kepadaku kuanggap sebagai hal yang biasa.
Dia pria dan aku wanita. Ketika dia melihatku, mungkin dia merasa tertarik atau
melihat peluang untuk berteman denganku. Menurutku, itu adalah hal yang wajar.
Di tanggal yang sama,
aku bertemu denganmu. Tepatnya selesai shalat maghrib. Kala itu, aku melihat
dirimu sedang berdiri di depan pintu warung, sedangkan aku hendak masuk ke
dalam rumah yang juga merupakan warung kami itu. Aku mengetahui bahwa dirimu
mengamatiku saat aku melewatimu. Aku hanya tersenyum simpul. Sambil melirik ke
arah dadamu mencoba mencari tahu nama yang tertempel di pakaianmu. ‘Galang
Novangga’, nama itulah yang kudapati di pakaianmu
Petang itu pula, aku
melihat kau sedang mengobrol asyik dengan orangtuaku. Kau menceritakan berbagai
macam pengalamanmu sebelum menjadi tentara. Aku merasa heran. Belum pernah
seorang pun dari pemuda yang mendekatiku mampu seakrab itu dengan orangtuaku.
Sedangkan kau dengan begitu mudahnya menarik perhatian orangtuaku.
Entah kau sadar atau
tidak, aku saat itu mengamatimu dari depan pintu kamarku yang tidak jauh dari
tempat kau duduk. Sejak saat itu pula, perasaanku tidak menentu saat melihatmu.
Ya, aku mulai bertanya-tanya mengenai dirimu. Siapa dirimu dan mengapa aku
merasa tidak asing denganmu, itulah pertanyaan yang ingin kucari tahu
jawabannya.
Keesokan harinya, aku
masih mengingat kejadian lucu yang terjadi di antara kita. Sungguh, aku merasa
malu jika mengingat peristiwa itu. Andai kau masih mengingatnya, ketika itu,
kau sedang berlari kecil ke warungku. Hatiku mendadak menjadi tidak karuan.
Rasa malu, gugup—semuanya menjadi satu dalam hatiku.
“Mbak, ada Nescafe?”
tanyamu kala itu.
“Nggak ada, Mas. Ada
sih tapi takutnya nggak cocok,” jawabku datar.
Kau kelihatan begitu
bingung mendengarkan jawabanku. Kau mengulangi pertanyaanmu hingga beberapa
kali dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama. Hingga akhirnya, kau
menunjuk kepada serenteng kopi susu yang menggantung di warung.
“Ini ada,” ucapmu
dengan raut wajah yang masih kebingungan.
Aku langsung masuk ke
kamar dan mama yang menghadapimu. Aku malu sekali kala itu. Hingga ketika mama
menyuruhku untuk mengantarkan pesananmu, aku tidak memunyai keberanian. Namun,
akhirnya kugagahi diriku dengan berkata, “Dia (dirimu) tidak akan mengenaliku.
Aku dan dia tidak akan pernah berhubungan lagi. Kami hanya sebatas pembeli dan
penjual. Pasti nanti dia akan lupa.”
Ternyata aku salah, aku
bertemu lagi denganmu pada waktu petang. Andai kau masih mengingatnya pula.
Petang itu, seniormu memesan segelas es teh sambil menggodaku. Saat aku
mengantarkan pesanannya, dia meminta nomor telefonku dan aku hanya mengerutkan
keningku. Ketika aku hendak berbalik ke warung, kulihat kau sedang duduk di
depan pintu kamarmu dengan kaki bersila. Kau menggunakan kaos dalam berwarna
putih. Kau tersenyum ke arahku.
Tahukah kau? Senyumanmu
itu seperti bayangan yang terus mengikutiku. Aku menjadi seperti orang gila.
Aku sering tersenyum-senyum sendiri. Aku belum pernah seperti itu sebelumnya.
Ya, mungkin itu menunjukkan aku jatuh cinta padamu karena aku juga tidak
mengetahui dengan pasti apa nama dari hal yang kurasakan itu. Jangan pernah kau
tanyakan alasanku menyukaimu! Aku tidak pernah tahu dan paham mengenai hatiku.
Dia memilih seseorang yang tidak pernah kukira sebelumnya. Dia memilihmu.
Sejak saat itu,
pertemuan kita terus berlanjut. Aku masih menyimpan catatan itu dalam memoriku.
Kita tidak pernah berkenalan dengan menyatakan nama masing-masing. Aku
mengetahui namamu dari nama yang tertempel di pakaian yang kau pakai, sedangkan
kau, entah darimana kau mengetahui namaku, aku tidak tahu. Aku hanya mengetahui
bahwa kau memanggil namaku pertama kali ketika menegurku karena aku terlalu
sering memakan kerupuk.
“Makan nasi dong Aya,
makan kerupuk terus.” Begitulah teguranmu padaku. teguran yang membuatku
terkejut sekaligus senang karena kau menyebut namaku, padahal aku tidak pernah
memberitahukan namaku padamu.
Aku berharap kau pun
masih mengingat ketika Arista sedang memainkan Blera[12]
di Poskamling. Saat itu, kau berdiri begitu dekat denganku. Hatiku rasanya tak
karuan. Aku dapat melihat dengan jelas raut wajahmu. Aku dapat menghirup aroma
parfummu. Sungguh, hingga saat ini, ketika aku membayangkan hal itu, hatiku
masih sama, jantungku masih berdebar begitu kencang. Ini konyol, tapi terjadi
padaku.
Anak
urang Tanjuang Andaleh
Pai
kabalai hari sanjo
Bia
habih bialah tandeh
Hati
den kanai kaba-a juo[13]
Mungkin
seperti pantun itulah hatiku kala itu. Aku pasrah pada hatiku yang telah jatuh
cinta. Aku tetap mengikuti arus hatiku yang berisikan dirimu.
Tanggal 19 Juli 2009,
aku berpacaran dengan Hari. Kau mungkin berpikiran bahwa saat itu aku menyukai
Hari. Pada kenyataannya, aku tidak menyiimpan perasaan apapun padanya kala itu.
Aku menerima pernyataan cintanya dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya
adalah status. Aku begitu ingin menyandang status memiliki pacar. Hal ini aku
lakukan karena ada perasaan terpojok ketika adik-adikku menyindirku karena aku
tidak pernah berpacaran, padahal usiaku sudah 18 tahun.
Aku merasa kecewa
sekaligus gelisah ketika dia mengatakan padaku bahwa kau menjadi orang pertama
yang mengetahui hubungan kami. Ada semacam kesal terhadap sikapnya yang
memberitahumu mengenai hubungan kami. Namun, aku kembali menyanggah diriku. Aku
mulai belajar untuk memahami bahwa kau tidak menyukaiku dan tidak ada gunanya
aku menyimpan perasaanku untukmu. Aku pun mulai belajar menyukai Hari.
Beberapa kali aku
mendapati raut wajahmu yang menunjukkan ketidaksukaanmu melihatku dengan Hari
dan ketika kau melihatku diganggu oleh teman-temanmu. Aku menyukai
kecemburuanmu. Walaupun kau menyangkal bahwa kau mencemburuiku, matamu tidak
pernah bisa berbohong padaku.
Aku masih mengingat
dengan jelas, saat kau tidak memedulikanku yang memanggil-manggil namamu dan
kala itu aku sedang bersama dengan Hari. Aku pun masih mengingta bagaimana raut
wajahmu saat teman-temanmu menggangguku dan bercanda denganku. Kau hanya diam,
tapi aku tahu kau tidak menyukainya. Galang, sampai kapanpun aku akan mengingat
itu karena kau begitu terlihat manis saat sedang mencemburuiku.
Tanggal 10 Agustus
2009, saat itu adalah terakhir kalinya aku melihatmu. Aku melihat ada sebuah
beban berat di hatimu. Pertemuan terakhir itu menyiratkan padaku bahwa kau
merasakan berat hati. Hingga detik ini, aku masih mengira-ngira alasan beban
berat di hatimu itu. Adakah itu karena diriku? Oh, sungguh itulah yang
kuharapkan!
Setelah itu, kisah kita
sempat memudar untuk waktu yang cukup lama dan pil pahit kenyataan harus
kutelan karena keputusanku menerima pernyataan cinta dari Hari. Aku yang telah
bersusah payah belajar mencintainya dan tetap bersabar menjadi kekasihnya di
dalam jarak yang tidak dapat kupastikan kapan akan berakhir ternyata harus
menerima penghianatan. Setelah pada tanggal 16 Agustus 2009, Hari datang
berpamitan padaku untuk menempuh pendidikan kejuruan di Bandung, dia menyatakan
ketulusannya. Aku mengira itu adalah hal yang harus aku pertimbangkan. Rasanya
tidak pantas, jika ada seorang pria yang tulus mencintaiku, tapi aku tidak
mencintainya. Oleh karena itu, aku belajar mencintainya.
Beberapa waktu
kemudian, dia menghilang bak ditelan bumi. Aku tida tahu apa yang terjadi
padanya. Hampir dua bulan tanpa kabar, dia hanya menghubungiku sekali untuk
menanyakan kabar. Setelah itu, dia menghilang kembali. Hingga akhirnya pada
bulan Desember 2009, aku memillih untuk mengakhiri hubungan kami.
Berakhirnya hubungan
kami ternyata masih menumbuhkan luka baru dalam hidupku. Pada bulan Maret 2010,
aku dihubungi oleh seorang wanita di waktu tengah malam. Dia mengaku bernama
Tiara. Dia memaki-makiku. Dia menyebutku sebagai perebut kekasihnya, yaitu
Hari. Dia mengatakan bahwa dirinya membenciku karena aku masih menjadi
kekasihnya Hari ketika mereka mulai berpacaran pada bulan November 2009.
Aku hanya dapat
mengurut dada. Aku mencoba bersabar menghadapi Tiara. Aku menyadari bahwa aku
bukan siapa-siapa. Aku menyadari posisiku sebagai seseorang yang tidak memiliki
apapun. Walaupun seharusnya aku yang marah padanya karena telah menjadi kekasih
Hari di saat aku masih berstatus pacarnya Hari, aku hanya bisa diam. Hanya
tetesan air mata yang mampu menggambarkan betapa terlukanya hatiku.
Aku sedang membangun
kembali hatiku yang hancur karena perlakuan Hari dan Tiara saat kau kembali
hadir ke dalam hidupku. Semuanya berawal dari keisenganku padamu. Aku mencoba
menghubungimu ke nomor yang terakhir kali dipakai olehmu untuk menghubungiku.
Aku begitu terkejut ketika kuketahui bahwa nomor itu bukan milikmu. Nomor itu
adalah nomor temanmu yang bernama Yido.
Aku berusaha bersikap
seperti layaknya orang yang salah sambung. Kemudian, dia menelfonku untuk
mengobrol denganku. Di tengah pembicaraan, aku menanyakan beberapa temanmu,
lalu kutanyakan mengenai kabarmu.
“Kamu ini sebenarnya
pacarnya Galang ya?” tanya Yido padaku.
“Bukan. Galang kan udah
punya pacar. Dua orang lagi pacarnya,” jawabku.
“Hahaha. Nggak mungkin
Galang punya dua pacar. Dia itu nggak punya pacar sama sekali.”
“Tapi dia bilang gitu
waktu terakhir kali telefon Aya,” ujarku dengan penuh ketidakpercayaan.
“Galang kamu percaya.”
Begitulah pembicaraan
kami. Yido mengira bahwa aku adalah pacarmu pada saat itu. Aku sempat berpesan
pada Yido agar tidak memberitahumu mengenai pembicaraan kami. Aku tidak ingin
kau marah karena aku menyatakan pada Yido bahwa kau mengatakan padaku bahwa kau
memunyai pacar lebih dari satu.
Namun, dia mengingkari
janjinya. Kau menghubungiku pada tanggal 20 Juni 2010. Hanya dengan sapaan
bertuliskan, “Hai Ay, apa kabar?”
Kehadiranmu itu menjadi
sebuah kebahagiaan baru untukku. Aku bahagia karena dengan kau menghubungiku
dan kita saling bertukar cerita, aku dapat mengetahui bahwa masih ada orang
yang mengingatku walaupun sudah lama tidak bertemu. Apalagi orang yang
mengingatku adalah orang yang membuatku seperti orang gila sejak pertama
bertemu.
Pada tanggal 21 Juni
2010, di waktu petang, kau menyatakan perasaanmu dan aku menjadi pacarmu. Andai
kau tahu betapa besar rasa syukurku saat itu. Sungguh tidak bertepi kebahagiaan
yang kurasakan. Tidak putus aku mengucapkan rasa syukur pada Tuhan. Itulah
pertama kalinya aku menangis karena sebuah kebahagiaan yang tidak dapat
kuungkapkan dengan kata-kata.
Aku amanahkan hatiku
padamu kala itu karena aku meyakini bahwa kau akan menjaganya. Walaupun kita
sering bertengkar selama dua minggu berpacaran, aku tetap bertahan. Aku dapat
melihat rasa sayangmu ketika kau menelfonku. Aku meyakini bahwa hatimu ada
untukku.
Sungguh aku tidak
percaya, ketika kau meninggalkanku pada tanggal 3 Juli 2010. Kau pergi tanpa
alasan yang jelas. Kau tidak menanggapi setiap pesanku dan telefon dariku.
Namun, ketika temanku yang menghubungimu, kau menanggapinya. Sungguh hatiku
terasa begitu sakit. Aku terkejut sekaligus kecewa. Aku tidak menyangka bahwa
kau akan memperlakukanku seperti itu, padahal pada malam sebelumnya kita saling
bermesraan melalui telefon.
Kekecewaan memenuhi
sebagian hatiku. Namun, sebagian hatiku yang lain meyakini bahwa hatimu masih
untukku. Oleh karena itu, aku tetap menunggu jawaban darimu. Aku menunggu
berakhirnya kediamanmu.
Aku memberanikan diri
untuk menghubungimu kembali pada 25 Juli 2010. Aku mengirim pesan bertuliskan “kangen”
padamu. Aku menyimpan harapan bahwa kau akan membalas, tetapi ada sebuah
keraguan untuk itu. Ketika kau membalas pesanku itu, hatiku senang sekali.
Apalagi saat kau memberikan segenap perhatianmu padaku. Sungguh itu adalah obat
hati yang paling mujarab untukku.
Menjelang ulang tahunku
yang ke-19, pada tanggal 5 Agustus 2010, aku mencoba menghubungimu. Aku
berharap kau akan mengingat hari ulang tahunku. Ironisnya, aku tidak mendapati
harapanku menjadi sebuah kenyataan, justru sebuah kenyataan pahit yang terasa
begitu menikam ke jantungku.
Bukan dirimu yang
membalas pesanku, melainkan seorang gadis yang mengaku sebagai kekasihmu. Gadis
itu bernama Deli. Dia melarangku menghubungimu. Dia mengatakan kepadaku bahwa
kau tidak pernah mencintaiku. Dia mengatakan kepadaku bahwa aku hanya seorang
wanita yang dijodohkan orangtuamu padamu. Dia pun mengatakan bahwa cintamu
sudah sepenuhnya untuk dirinya.
Galang, cobalah kau
memosisikan dirimu sebagaimana diriku dalam kondisi itu. Kau akan mengetahui
betapa dalamnya luka di hatiku. Jika memang Deli mengatakan sebuah kebenaran,
maka itu berarti kau hanya ingin mempermainkanku. Kau pun hanya sama seperti
Hari. Itu menunjukkan bahwa kau mengingkari janjimu untuk menjaga hatiku dan
tidak akan melukai perasaanku. Namun, aku tetap memercayai hatiku yang meyakini
bahwa hatimu masih menyayangiku.
Aku membenci hari ulang
tahunku yang ke-19 itu. Hanya ada aku yang terbangun di tengah malam dan
menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun”. Aku mencoba menghapuskan lara di hatiku
kala itu. Namun, aku tidak bisa. Aku masih terus memikirkanmu dan hatimu. Untuk
siapa hatimu itu? Kenapa kau begitu tega padaku? Itulah pertanyaan yang ingin
kuketahui jawabannya, tapi kau tak pernah memberiku kesempatan untuk mengetahuinya.
Sudah jatuh tertimpa
tangga pula. Ya, itulah aku di hari ulang tahunku yang ke-19. Setelah
kehilangan dirimu, aku harus menghaddapi Hari dan Tiara yang menghubungi di
hari itu. Mereka menghubungiku dan memaki-makiku. Mereka tertawa dengan puas
ketika mengetahui kau meninggalkanku untuk Deli. Tiara mengataiku tidak
berpendidikan, wanita murahan, mahasiswa urakan dan berbagai cemoohan lainnya.
Lantas, apa kau kira
aku berdaya kala itu? Sama sekali tidak, Galang. Aku tidak berdaya. Aku hanya
dapat bersikap tegar di dalam keperihan hatiku. Aku mencoba berdiri tegak
sebagaimana karang diterpa ombak besar.
Galang,
Aku tidak peduli apa
yang dikatakan Deli. Aku tidak peduli dengan cemoohan dan cercaan dari Hari dan
Tiara. Aku hanya peduli pada keyakinanku bahwa hatimu hanya untukku. Aku
mengenalmu lebih daripada diriku sendiri. Aku bisa mengetahui apa yang kau
rasakan hanya dengan memandang wajahmu dan memahami sifatmu. Namun, aku tidak
pernah dapat memahami diri dan perasaanku hingga aku tetap bertahan
mencintaimu.
Aku belajar
merelakanmu, tapi tidak pernah bisa menghapus rasa di hatiku. Mungkin kau tidak
tahu, apa yang Deli ucapkan padaku tidak sekedar cemoohan. Dia menceritakan
padaku bahwa kau pernah bercerita kalau dirimu pernah membayarku sebesar tiga
ratus ribu untuk menemanimu tidur. Sungguh fitnah yang mampu menghancurkan
hatiku sepenuhnya. Namun, aku kembali pada keyakinanku. Kuyakini dengan segenap
hati dan perasaanku, hatimu masih untukku.
Perlahan aku belajar
melupakanmu. Aku menggunakan seluruh waktuku hanya untuk kuliah dan mengajar
les privat. Bahkan, hampir tidak ada waktu untuk berduduk santai memikirkanmu
dan segenap perasaanku. Dari pagi ke malam dan malam bertemu pagi lagi. Namun,
aku harus menangis setiap kali aku menghela nafas dan terbayang luka di hatiku.
Apalagi setelah aku mengetahui dirimu telah memiliki kekasih yang baru, seluruh
hatiku sudah hancur dan tak berbentuk.
Di kala aku sedang
menata hatiku yang telah hancur lebur, Hari mendekatiku lagi. Dia mengakui
bahwa dia memunyai kekasih di Palembang saat masih menjadi pacarku. Terkadang
dia masih merayuku, tapi itu tidak berdampak apapun pada perasaanku. Bahkan,
aku menyatakan kejujuran padanya. Kukatakan bahwa aku menyukaimu sejak dulu
saat dia masih menjadi pacarku.
Untuk melupakanmu, aku
menjadi wanita yang jahat. Aku bermain-main dengan api. Aku menanggapi beberapa
orang siswa bintara TNI AU yang sedang menempuh pendidikan di dekat rumahku
ketika mereka mengajakku berkenalan. Hingga akhirnya aku berpacaran dengan
Fauzi pada 30 November 2010. Saat berpacaran dengan Fauzi, aku dekat pula
dengan beberapa temannya. Aku sudah lelah menjadi wanita yang setia, tapi
dikhianati.
Fauzi marah padaku.
apalagi ketika dia memegang tanganku, Aku menarik tanganku karena terkejut. Aku
terkejut karena aku terbayang wajahmu kala itu. Kau seperti hantu dalam
hidupku. Aku tidak tahu mengapa kau muncul saat Fauzi hendak memegang tanganku.
Hal itu membuat Fauzi
marah dan aku memutuskan hubungan kami. Setelah itu, kami tidak pernah
berhubungan lagi. Aku tidak pernah mencoba menghubunginya. Begitupula dengan
dirinya. Saat ini pun aku tidak pernah berhubungan lagi dengan teman-teman
Fauzi.
Sedangkan Deddy yang
pernah membuatmu cemburu belakangan ini, dia hanya temanku saja. Tidak pernah
ada perasaan lebih kepadanya. Walaupun dia memendam perasaan kepadaku, aku
tidak peduli. Ingatlah bahwa aku bukan wanita yang mudah jatuh hati!
Galang,
Pemuda yang hadir
terakhir kali sebelum kita kembali pada hubungan kita adalah Widi. Dia adalah
seniormu dari satuan yang sama. Kami berkenalan melalui Bu Rum, ibu dari salah
satu temanmu yang sempat mengenalku.
Kanaya yang jahat itu
masih ada dalam diriku kala itu. Aku tertarik pada pangkatnya yang lebih tinggi
darimu. Aku berharap dengan aku menjadi kekasihnya, kau akan merasakan
penyesalan karena telah meninggalkanku. Oleh karena itu, aku menerima
permintaannya untuk mengenalku lebih jauh.
Pada 9 April 2010, TNI
AU merayakan hari ulang tahunnya dan berbagai atraksi dipertunjukkan di Lanud
Halim Perdana Kusuma. Aku diminta Bu Rum untuk datang ke Jakarta. Aku
menanyakan apakah prajurit dari Biak juga datang di dalam acara itu. Bu Rum
menyatakan bahwa prajurit dari berbagai wilayah datang ke Jakarta hari itu. Aku
pun memutuskan untuk berangkat ke Jakarta seorang diri walaupun aku tidak
mendapatkan izin mama. Aku berangkat dengan harapan akan bertemu denganmu di
Lanud Halim Perdana Kusuma.
Harapanku pupus ketika
aku mengetahui tidak ada dirimu di dalam acara itu. Aku hanya dapat tersenyum
mendapati kebodohanku yang mnegira kau akan datang dari tempat yang begitu jauh
hanya untuk acara yang tidak terlalu penting seperti itu. Aku kecewa kala itu.
Namun, aku tidak dapat berbuat apapun.
Di tengah kekecewaan
yang kututupi di depan Bu Rum itu, aku dipertemukan dengan Widi. Di depan sebuah
hanggar pesawat, kami sempat mengobrol. Aku pun kembali pada pemikiran jahatku
untuk membuatmu menyesal karena telah meninggalkanku dengan cara mendekati
seniormu. Oleh karena itu, aku menunjukkan keceriaan di hadapannya.
Malam harinya aku
diajak oleh Widi ke Monas dan stasiun Jatinegara untuk melihat jadwal
keberangkatan kereta api. Ketika aku dan dia berjalan memasuki stasiun
Jatinegara, dia menggenggam tanganku seolah ingin melindungiku dan membimbingku
menerobos keramaian stasiun. Aku tidak terbiasa dengan keadaan seperti itu,
sehingga aku menoleh ke arahnya dan merasa keheranan. Aku melihat raut wajahmu
di wajahnya. Tubuhku terasa lemas. Aku hanya bisa menunduk dan mengikuti ke
mana pun dia menarik tanganku.
Hal yang sama terjadi
saat di Monas. Itu membuatku tidak berani menatap wajahnya. Sepanjang
pembicaraan aku hanya melihat pada rerumputan yang kami duduki dan sekeliling
kami yang terlihat begitu ramai. Aku hanya sesekali menoleh kepadanya.
Ketika aku pulang ke
Solo keesokan hatinya. Di hatiku ada segudang kegundahan. Mama marah padaku
karena aku tidak segera kembali ke Solo. Sedangkan aku tidak dapat berangkat ke
stasiun Jatinegara dari rumah Bu Rum karena Widi memilih untuk membelikan tiket
kereta api ekonomi. Aku kecewa sekali dengan sikap Widi. Aku tidak pernah
memintanya untuk membelikanku tiket dan sepulang dari stasiun Jatinegara pada
malam sebelumnya aku sudah memutuskan untuk membeli tiket kereta eksekutif
dengan uangku sendiri.
Dalam perjalanan pulang
ke Solo, adik Widi menghubungiku dan mengucapkan selamat padaku karena telah
berpacaran dengan Widi. Aku terkejut kala itu karena Widi tidak pernaha
mengutarakan perasaannya padaku. Namun, aku kembali pada tujuan awalku
mendekati Widi. Oleh karena itu, aku bersedia menjadi kekasihnya.
Selama berpacaran
dengannya, aku dapat melupakanmu beberapa saat, tapi aku tidak pernah berhenti
mencari informasi mengenai keadaanmu. Beberapa kali dia datang ke rumahku dan
kedatangan pertamanya memberikan kesan yang kurang baik. Mama langsung
mengatakan ketidaksetujuannya pada hubungan kami dan memintaku untuk mengakhiri
hubunganku dengannya.
Aku merasa berat untuk
melakukan permintaan mama karena Widi terlihat begitu tulus kepadaku. Apalagi
dia menyatakan keseriusannya padaku. dia juga selalu bersikap manis padaku.
Walaupun ku sering kesal dengan sikapnya yang sering membandingkanku dengan mantan-mantan
kekasihnya dan dia selalu bercerita tentang dirinya tanpa mau mendengarkan
diriku, aku tetap bertahan. Bahkan, aku sempat datang ke rumahnya untuk bertemu
dengan orangtuanya yang ingin mengenalku.
Seperti pepatah Minang
yang berbunyi “Takuruang nak dilua, taimpik nak
diateh”[14]. Seperti itulah dirinya. Ketika dia membutuhkan bantuan, dia akan
mendatangiku, tapi jika tidak ada keperluan, dia tidak akan menghubungiku.
Itulah dirinya yang kukenal setelah pertemuan terakhir kami.
Hatiku dapat merasakan ketidakjujuran darinya.
Aku pun merasa tersinggung dengan sikapnya. Dia tega mematikan telefon saat aku
sedang berbicara hanya untuk membuka salahh satu jejaring sosialnya dan
berkomunikasi ria dengan seorang wanita asal Solo yang menurut pengakuannya pernah
menolak pernyataan cinta darinya. Wanita itu bernama Mala. Dia juga
menceritakan bahwa Mala menyatakan cinta padanya. Dia memintaku mengerjakan
naskah lomba yang akan dikumpulkan atas namanya dan setiap kali dia
menghubungiku, dia hanya menanyakan mengenai naskah lomba itu.
Aku pun mulai mempertimbangkan permintaan mama
untuk memutuskan hubungan dengannya. Aku mencari waktu yang tepat untuk
menyatakan keputusanku padanya dan aku memilih tanggal 10 Oktober 2011 untuk
memutuskan hubungan kami. Aku memilih tanggal itu karena itu bertepatan dengan
setengah tahun masa pacaran kami dan aku ingin memberikan dia pukulan telak
sebagai balasan atas perlakuannya padaku.
Di tengah rencanaku untuk memutuskan hubungan
dengan Widi, kau hadir kembali dalam hidupku. Kau merasa senang sekali kala
itu. Kau mampu mencairkan kebekuan di antara kita karena permasalahan masa lalu
itu. Kau tidak pernah merayuku, tapi kau memberikan banyak tanda mengenai hati
dan niatanmu.
Ketika kau menunjukkan perhatian yang lebih
besar daripada saat kita berpcaran yang pertama kali, kau sudah mengetahui isi
hatimu, tapi aku masih diam. Ketika aku menyarankan sebuah foto untuk dijadikan
foto profil di salah satu jaringan sosial, kau langsung menggunakan foto itu.
Dari hal itu pun, aku sudah mengetahui niatanmu.
Tanggal 8 Oktober 2011, kau menyatakan
keinginanmu untuk menjalin hubungan denganku. Menjalin kembali hubungan yang
sempat terputus. Aku tidak langsung menerimamu karena aku merasa tidak pantas
menerimamu sebelum aku memutuskan hubunganku dengan Widi. Kau pun sempat
menarik kata-katamu ketika kukatakan bahwa aku masih berpacaran dengan
seniormu. Kita berteman setelah pernyataanmu itu.
Pada 10 Oktober 2011, pada pagi harinya aku
mengucapkan selamat hari jadian yang ke-6 bulan pada Widi. Dia merasa senang
karena mengira aku membuka jalan untuk memperbaiki hubungan kami yang sudah
renggang. Tanpa disangkanya, pada siang harinya, aku memutuskan hubungan kami.
Dia memintaku untuk mempertimbangkan keputusanku dan aku tetap bersikukuh untuk
mengakhiri hubungan yang kurasa sudah tidak sehat itu.
Galang,
Kau tidak tahu permasalahan itu. Kau mengetahui
hal itu pada tanggal 18 Oktober 2011 dan hari itu kita resmi berpacaran. Semua
masalah waktu. Ketika aku meyakini satu hal dalam hidupku, aku tahu itu akan
terjadi. Kau bagian dari hal yang kuyakini akan kembali dalam hidupku. Oleh
karena itu, aku menerimamu dengan tangan terbuka.
Galang,
Ini bukan waktu pertama kau memiliki hatiku. Kau
memilikinya sejak dulu. Hanya saja saja kau memutuskan untuk menunda memahaminya
hingga kau yakin bahwa kau telah memilikinya.
Kuceritakan semua ini untukmu. Agar kau tidak
hanya menduga-duga mengenai diriku. Sehingga kau tidak termakan kata-kata
kebohongan dari orang yang menginginkan akhir dari kebersamaan kita. Kuceritakan
ini dengan sejujur-jujurnya. Jika suatu saat muncul keraguan dalam hatimu, maka
coba kau dengarkan hatimu, apakah dia meragukanku juga atau tidak karena hati
tidak pernah berbohong.
Aku menyayangimu seperti kau menyayangiku.
Salam dan peluk cinta dari jauh untukmu yang
terkasih,
Kanaya Arnelita
***
Galang
melipat kumpulan kertas yang dipegangnya. Dipandanginya foto yang tertempel di
bagian depan kumpulan kertas itu. Dia tersenyum. Lalu dia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Kamu
itu, Ay. Selalu bisa buat aku senyum-senyum sendiri,” ucapnya lirih.
Galang
berdiri dan menyimpan kumpulan kertas itu di lemarinya. Dia terhenti sejenak di
depan pintu lemari sambil mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya.
Ditutupnya kedua matanya dan ditariknya nafas panjang.
Lalu,
dia bergegas menuju ke ruang keluarga. Di ruangan itu ada Bu Rini dan Pak
Mahmud yang sedang menonton televisi. Galang berjalan mendekati kedua
orangtuanya. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang terletak bersebelahan
dengan kursi yang diduduki orangtuanya.
“Ibu,
Ayah, bisakah bulan depan kita menambah satu anggota keluarga lagi di rumah
ini?” tanya Galang tiba-tiba.
Bu
Rini dan Pak Mahmud saling berpandangan. Kemudian mereka mengangguk sambil
tersenyum pertanda setuju.
***
BAGIAN III
Aku
melangkah dengan terburu-buru. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumah.
Mama memintaku segera pulang, padahal urusanku di kantor perpajakan masih belum
selesai. Mama tidak pernah seperti ini sebelumnya. Oleh karena itu, aku sangat
cemas dan gelisah.
Jalanan
di kota Solo tidak terlalu padat. Sehingga arus lalu lintas berjalan lancar.
Hal ini mempermudahku untuk segera tiba di rumah.
Sesampainya
di rumah, aku semakin gelisah ketika kulihat ada keramaian di rumahku.
Pikiranku semakin kacau. Setengah berlari aku mendekati rumahku.
“Ini
dia yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga!” seru mama sambil menyambutku
yang baru sampai di depan pintu.
Kulihat
ada Galang, kedua orangtuanya dan segenap keluarganya sedang duduk bersebelahan
dengan mama dan bapak. Aku tidak tahu mengapa kedua keluarga ini berkumpul di
ruang tamu rumahku. Namun, aku mencoba bersikap sewajarnya. Aku mencium tangan
Bu Rini lalu mencium pipi kanan dan kiri beliau. Kemudian aku mencium tangan
Pak Mahmud. Setelah itu, aku menyalami satu per satu anggota keluarga Galang
yang lainnya.
Aku
terhenti sesaat dan kupandang Galang dengan penuh keheranan. Galang hanya
memandangku dengan keheranan pula.
“Maaf,
ini ada apa ya, Ma? Bu, ini ada apa?” tanyaku penasaran.
“Jangan
banyak tanya dulu! Sekarang, cepat ganti baju terus ke sini lagi ya!” perintah
mama dengan nada yang halus.
Aku
masih bingung dan heran dengan apa yang kulihat, tapi aku hanya dapat menuruti
perintah mama. Aku mengganti pakaianku dan kembali ke ruang tamu dalam keadaan
yang lebih rapi. Bu Rini dan Pak Mahmud memandang ke arahku dengan penuh senyum. Sesekali
mereka melihat ke arah Galang yang masih duduk diam dan tenang.
“Sebenarnya
ada apa ya, Bu?” tanyaku masih penasaran.
“Begini
Nak Aya, kami datang ke sini untuk menanyakan sesuatu kepada Nak Aya,” ucap Bu
Rini.
“Menanyakan
apa ya, Bu?” tanyaku masih penuh dengan rasa penasaran.
“Mungkin
Galang saja yang menanyakannya langsung,” ucap Pak Mahmud.
Aku
mengalihkan pandanganku kepada Galang. Dia sedang memperbaiki posisi duduknya
dan menghela nafas panjang. Aku mengerutkan dahiku melihat tingkah laku Galang
yang menurutku sangat kaku.
“Aya,”
panggil Galang.
“Iya,”
jawabku.
“Hmmm...”
“Ada
apa, Lang?”
“Kita
kan udah lama sama-sama. Udah saling kenal selama tiga tahun. Kamu mau nggak
jadi istriku?”
Aku
terkejut mendengar pertanyaan Galang. Aku tidak dapat memungkiri bahwa hatiku
bahagia. Namun, dalam hatiku, aku masih mempertanyakan hasil dari pertimbangan
Galang terhadap apa yang telah kusampaikan.
“Aya,
kok nggak dijawab?” tegur mama.
Aku
masih diam memandang Galang yang sudah mulai salah tingkah dan tertunduk, lalu
kuarahkan pandanganku kepada orangtua Galang.
“Ibu,
Bapak, terima kasih karena sudah berkenan memilih Aya untuk menjadi istrinya
Galang. Namun, sebelumnya Aya mau bertanya, apakah Ibu dan Bapak sudah mantap
pula dengan pilihan dari Galang ini?”
“Kami
nggak ragu sama Nak Aya. Galang pun juga udah sayang sekali sama Nak Aya. Jadi
kami nggak punya alasan buat nggak mantap sama Nak Aya,” jawab Pak Mahmud.
Aku
tersenyum mendengar jawaban Pak Mahmud. Aku kembali menatap Galang.
“Lang,
bisakah kau menatap mataku?” tanyaku.
Galang
mengangkat wajahnya. Kudapati sebuah kegelisahan di dalam raut wajah yang
selalu kurindukan itu. Aku tersenyum dengan harapan itu dapat mengurangi
ketegangan yang melanda dirinya.
“Apakah
ini jawaban atas pertanyaanku kemarin dulu? apakah ini eputusan akhirnya?”
tanyaku perlahan.
“Iya.
Ini keputusanku. Aku mengikuti kata hatiku dan mengikuti saranmu,” tukas
Galang.
Aku
menarik nafas. Kupandangi seluruh keluarga Galang yang ada di ruangan itu,
termasuk kedua orangtua Galang. Lalu aku melihat ke arah orangtuaku. Mama
mengangguk pertanda bahwa beliau setuju dan memintaku segera memberikan
jawaban.
“Bapak,
Ibu, Galang dan semua sanak saudara yang sudah ada di ruangan ini. Terima kasih
banyak, Aya ucapkan karena berkenan memilih kanaya untuk menjadi anggota
keluarga kalian. Hari ini, Aya diminta untuk menjawab pertanyaan sekaligus
permintan dari Galang untuk menjadi istrinya. Ini akan menjadi keputusan
terbesar dalam hidup Aya. Oleh karena itu, Aya berharap jawaban Aya ini nanti
bisa membahagiakan semua pihak, tanpa terkecuali.
Bismillahirrohmanirrahim.
Galang, insya Allah, aku bersedia menjadi menjadi istrimu,” jawabku.
“Alhamdulillah!”
seru semua orang yang berada di dalam ruangan itu.
“Jadi,
lamaranku diterima kan, Ay?” tanya Galang memastikan.
Aku
mengangguk—mengiyakan pernyataan Galang. Dia terlihat senang sekali. Ketegangan
yang kulihat ketika pertama kalian kau memasuki ruangan tidak terlihat lagi.
Wajahnya berseri-seri, penuh kebahagiaan. Begitupula dengan orangtua Galang,
orangtuaku dan seluruh anggota keluarga lainnya.
***
Ruangan
kamarku terlihat penuh sesak. Ada berbagai macam perlengkapan untuk pesta
pernikahan yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku duduk di salah satu sisi
tempat tidur. Aku memandangi seluruh isi kamarku. Di salah satu sisi meja aku
melihat tergeletak sebuah Tengkuluk[15]
berdiri kokoh dan indah. Di sebelahnya, aku melihat sebuah Bulang[16]
dengan bentuk yang berbeda, tapi terlihat sama kokohnya dengan Tengkuluk. Ya,
pernikahan kami akan menggunakan dua adat dari pulau Sumatera. Adat Minangkabau
dari Sumatera Barat dan adat Batak Mandailing dari Sumatera Utara.
Aku
menarik nafas panjang. Hatiku selalu merasa gugup dan gelisah jika membayangkan
hari H tiba. Rasa tidak sabar menderaku, tapi kegugupan dan hatiku yang
berdebar begitu kencang pun hadir dalam waktu yang bersamaan.
“Aya!”
panggil mama lirih.
Aku
menoleh ke arah pintu kamar. Kulihat mama sudah berdiri di depan pintu dengan
senyuman yang sulit kugambarkan. Perlahan, mama melangkah ke arahku.
“Deg-degan
ya?” tanya mama setelah berdiri di sampingku.
“Iya,
Ma. Mama dulu ngerasain gini nggak?” tanyaku.
“Waktu
sama almarhum ayah nggak. Aya tahu sendiri kan kondisinya? Apalagi tidak ada
pesta pernikahan, cuma acara ijab kabul aja. Tapi, kalau sama bapak, mama
deg-degan juga. Soalnya kan ada pesta pernikahan. Ada banyak orang yang
melihat. Mulai dari saudara sampai teman, jadi ya kebayang kalau nanti bapak
salah ucap waktu ijab gimana, kalau mama nggak terbiasa pakai kebaya gimana,
atau ngebayangi penampilan waktu hari H seperti apa. Jadi ya deg-degan juga.”
“Iya,
Aya juga ngebayangi tentang itu semua. Jadi deg-degan. Hehehe...,” ujarku
sambil tertawa.
“Aya,
sebentar lagi kan Aya bakal jadi istrinya Galang, Aya harus belajar banyak
hal,” ucap mama.
“Belajar
apa, Ma?” tanyaku.
“Balajar
banyak hal. Setelah nanti Galang menjadi suami Aya, Aya udah bukan tanggung
jawab mama lagi. Aya udah jadi tanggung jawab Galang. Aya harus bisa
menempatkan diri sebagaimana seorang istri. Bersikap mandiri, telaten dan jujur
kepada suami menjadi kewajiban Aya. Kalau lagi berantem sama Galang, jangan
mengadu sama orangtua! Kecuali udah nggak ada jalan keluarnya.
Tugas
kami sebagai orangtua memang belum selesai waktu kalian menikah, tapi tugas
kami bukan menjaga dan mengatur kalian lagi. Tugas kami hanya sebatas mengawasi
dan memberikan saran. Kalian yang menjalani rumah tangga yang kalian jalin.
Selain
itu, jangan pernah Aya mengumbar permasalahan Aya di rumah dengan siapa pun!
Kehormatan Galang menjadi tanggung jawab Aya. Ingat bahwa istri itu ibarat
pakaian untuk suaminya! Jadi, Aya harus bisa menjaga martabat dan kehormatan
Galang sebagai suaminya Aya.
Ya,
tugas menjadi seorang prajurit itu nggak gampang. Tugas Aya nanti, sebagai
istri prajurit pun tidak musah. Aya harus bisa membagi waktu dengan tugas
Galang. Ingat Ya, beban pertahanan negara ini berada di pundak Galang. Jika dia
harus melakukan tugas yang jauh, Aya harus sabar, jangan banyak mengeluh!
Kurangi sifat manja Aya! Kasihan Galang kalau harus kepikiran Aya terus waktu
tugas nanti,” nasihat mama.
“Iya,
Ma. Makasih ya, Ma,” ujarku sambil memeluk mama.
Tiba-tiba
kudengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh melangkah menuju kamarku. Kemudian
disusul dengan kemunculan Arista dan Zahra yang terlihat sangat gugup.
“Ma,
Ya, itu... itu...,” ujar Arista terputus-putus sambil terus melihat ke arah
ruang tamu.
“Kenapa
sih?” tanyaku keheranan.
“Itu...
Itu Bang Fandi datang sama rombongan dari Medan,” ucap Zahra.
Aku
dan mama terkejut sekali. Kami saling bertatapan. Lalu aku merapikan diriku.
Kusisir rambutku dengan terburu-buru. Begitupula dengan mama, lalu kami keluar
dari kamar menemui rombongan yang datang dari Medan itu.
“Assalamualaikum,”
ucapku ketika memasuki ruang tamu.
Kulihat
ada lima orang paruh baya sedang duduk di kursi tamu. Dia adalah Uwak[17]
Ramdan—kakak laki-laki ayah, Bang Fandi, Kak Nur dan suaminya, serta Bouk
Nisma. Aku hanya tersenyum simpul pada mereka. Dalam hatiku masih ada luka yang
akan terus kukenang, tapi mereka adalah tamu di rumahku ini, maka sudah
sewajarnya aku bersikap sopan kepada mereka.
“Katanya
mau nikahan, kenapa nggak bilang sama keluarga di Medan?” tanya Bang Fandi.
“Memangnya
masih ada orang sana yang menganggap kami keluarga?” tukas Zahra.
“Hush,
Zahra,” sergahku.
“Aya,
memangnya kau nggak mau ziarah ke makam Mamak[18]?”
tanya Bang Fandi.
“Seharusnya
kau itu ziarah dulu ke makam ayah kau. Udah itu baru kau ke tempat Uwak Ramdan
buat minta restu. Kayak gimana pun menurut syarak, kalau ayah meninggal,
saudara laki-laki ayah yang bertanggung jawab untuk semua urusan pihak wanita,”
jelas Bouk Nisma.
“Ketika
tanah makam ayah masih basah, tidak seorang pun dari kalian memberikan kabar
dan memberitahukan letak makam ayah. Sekarang kalian memintaku untuk berziarah.
Ke mana? Ke makam siapa?
Bukan
maksud hati ingin durhaka, tapi kalian harus ingat bahwa kami adalah anak-anak
yang kalian terlantarkan bertahun-tahun silam. Uwak memang bertanggung jawab
pada kami—anak-anak perempuan ayah, tapi bukan hanya pada saat akan menikah,
tapi lebih dari itu. Kemanakah Uwak di saat kami tidak makan? Di manakah Uwak
di saat kami membutuhkan uang sekolah?
Aya,
atas nama keluarga Aya dan calon suami Aya minta maaf kalau kami tidak
memberitahukan kabar bahagia ini ke Medan. Kami mengira sudah tidak ada lagi
yang peduli pada kami. Kami tidak mengabarkan kala kami kepayahan, maka kami
pun tidak akan mengabarkan kala kami bahagia. Itu pilihan kami, agar keluarga
yang sudah berserak biarlah tetap berserak dan tidak semakin berserak dan
meninggalkan luka di hati,” jawabku.
“Sombong
kali kau ini! Baru kerja dan mau kawin aja sombongnya minta ampun!” ujar Kak
Nur.
“Kak,
bukan maksud Aya hendak bersombong diri. Aya cuma mau memberitahukan luka lama
yang tersimpan selama bertahun-tahun di hati kami. Agar luka itu sedikit
terbagi pada yang melukai,” sanggahku.
“Lagipula
tidak ada salahnya hendak bersombong pada satu pencapaian yang berhasil bahagia
kan Nur? Apalagi pada orang yang dulu pernah melakukan hal yang sama. Berat tak
sama dijinjing, ringan tak sama dipikul. Bukankah itu yang kalian biarkan
terjadi pada kami.
Hari
ini kalian menjadi saksi, anak-anakku telah dewasa dan menginjakkan kaki pada
tanah-tanah kesejahteraan. Kami berterima kasih karena kalian telah berniat
datang dan menikmati kebahagiaan yang kami rasakan. Namun, jangan kalian
memunculkan norma-norma dan hukum-hukum yang telah lama kami ketahui tapi
kalian kubur dalam-dalam ketika kami dalam kesusahan!” ucap mama.
“Uwak,
Aya meminta restu dari Uwak, tapi keputusan Aya tetap pada hal semula. Billy
yang akan menjadi wali nikah Aya. Ini adalah hasil musyawarah dua keluarga yang
akan terikat dalam satu ikatan pernikahan. Mungkin kalian bagian dari
keluargaku—itu pun kalau kalian menganggap demikian, tapi kalian tidak masuk
dalam musyawarah itu, sehingga biarlah Aya posisikan kalian sebagai keluarga
jauh Aya,” tukasku memperjelas pembicaraan.
Tidak
ada seorang pun yang menjawab. Mereka diam seribu bahasa. Kami mempersilakan
mereka untuk menginap selama beberapa minggu hingga pesta selesai. Zahra,
Arista dan aku tidak mempersiapkan kamar untuk mereka. Seingga mereka tidur
seadanya.
“Ini
bukan hotel. Ini hanya rumah kecil yang kami bangunkan untuk tempat tinggal
mama. Sehingga beliau yang memiliki rumah ini. Sebagai temu hendaknya
berbaik-baiklah kepada sang empunya rumah,” tukasku saat mengantarkan mereka ke
salah satu ruang kamar yang kosong.
***
“Aya,
Galang dan orangtuanya udah ada di depan itu. Cepat dong! Jangan lama-lama!”
teriak mama dari luar kamar.
“Iya,
Ma,” jawabku sambil berlari meraih tasku dan segera menemui Galang dan
orangtuanya.
Di
dekat mobil Avanza berwarna hitam itu, aku melihat Kak Nur dan orangtuanya
Galang sedang mengobrol. Sedangkan Galang yang berada di jok depan memasang
wajah yang kelihatan tidak suka. Galang keluar dari mobil dan mendekatiku yang
masih terhenti di depan teras. Aku masih mengamati Kak Nur yang terlihat sangat
antusias bercerita.
“Ayo,
Ay!” ajak Galang dengan nada kesal.
“Kenapakah
Sayang? Kak Nur lagi cerita apa sama ibu dan bapak?” tanyaku.
“Biasa
tukang gosip! Isinya cuma ceritain keburukan orang,” jawab Galang dengan nada
yang masih kesal.
“Memangnya
dia cerita apa?”
“Dia
cerita tentang keburukan kamu selama tinggal di Medan. Terus dia bilang aku
ganteng kok mau sama kamu yang wataknya kayak gitu. Ayolah, Yang! Aku udah
capek dengerin dia merepet aja dari tadi. Pusing kepalaku dengernya.”
Aku
tidak tega melihat ketidaksukaan Galang. Aku pun mendekati mobil Galang.
Orangtua Galang menyambutku dengan penuh kasih. Aku pun mencium tangan kedua
orangtua Galang dan mencium pipi kiri dan kanan Bu Rini.
“Maaf
ya Kak. Kasihan itu si Aulia, ditinggal ibunya cuma untuk membicarakan orang
lain! Oh ya Kak. Kaca di kamar tamu ada yang besar kan? Tolong dilihat ya Kak!
Waktu Kak Nur megang kacanya gimana bayangannya, bagus atau nggak?”
Kemudian
kami berangkat dan meninggalkan Kak Nur yang masih terlihat kesal dengan
ucapanku. Di dalam mobil, aku menerka-nerka apa yang dikatakan orangtua Galang
kepadaku mengenai cerita Kak Nur tadi. Aku tahu bahwa pernikahan yang tinggal
seminggu lagi tidak akan menjamin restu dari orangtua Galang.
Sesampainya
di rumah salah seorang anggota keluarga Galang yang berada di Solo, aku melihat
ada berbagai macam perlengkapan pernikahan dengan adat Minang. Aku juga melihat
berbagai perhiasan untuk pengantin wanita dan pria. Bu Rini langsung membawaku
ke salah satu kamar.
“Ini
pakaiannya, Sayang,” ucap Bu Rini padaku.
“Iya,
Bu,” jawabku.
“Bu,
Aya boleh tanya sesuatu?” lanjutku kemudian.
“Mau
tanya apa, Aya?”
“Ibu
percaya dengan cerita Kak Nur tadi?”
“Aya,
kamu itu calon menantu ibu. Kau itu udah ibu anggap kayak anak ibu sendiri.
Sepanjang ibu kenal kamu, ibu nggak melihat kemungkinan kalau kamu seperti yang
diceritakan wanita itu tadi. Kamu itu anak ibu. Masa ibu lebih percaya sama
orang lain daripada sama anak sendiri.”
Aku
langsung memeluk Bu Rini. Dalam hati, aku begitu bersyukur karena telah
mendapatkan seorang calon mertua yang sangat menyayangiku.
“Aya
sayang sama Ibu,” ucapku lirih.
Setelah
berpelukan beberapa saat, kami kembali disibukkan dengan persiapan pernikahan.
Bu Rini mengeluarkan satu persatu koleksi pakaian pengantin Minangkabau yang
tersimpan di dalam sebuah kardus berukuran cukup besar. Setiap pakaian memunyai
corak yang berbeda dengan padu padan yang berbeda pula.
Bu
Rini mengambil salah satu pakaian adat Minangkabau yang berwarna merah dengan
corak yang sederhana, tapi terlihat indah. Pakaian adat Minangkabau itu dengan
berbagai perlengkapannya diletakkan di atas tempat tidur.
Satu
persatu bagian dari pakaian adat Minangkabau itu kupasangkan ke tubuhku.
Setidaknya ada lima perlengkapan pakaian wanita yang harus kupakai. Bu Rini
membantuku mematut diri di depan cermin.
Sebuah
pakaian kebesaran wanita Minangkabau yang disebut “Limpapeh Rumah nan Gadang”.
Pakaian ini menggambarkan wanita sebagai tiang tengah yang kuat untuk menopang
bangunan rumah tangga. Jika wanita ambruk atau rusak sikap dan akhlaknya, maka
seluruh bagian dari rumah tangga akan ambruk atau rusak juga.
Selain
itu, ada pula Baju Batabue, yaitu baju yang ditaburi dengan benang berwarna
keemasan. Pakaian ini menggambarkan keragaman yang bersatu dalam adat dan
budaya.
Akupun
harus mengenakan lambak atau sarung dengan corak khusus Sumatera Barat. Bagian
lain yang terbuat dari kain adalah salempang yang menggambarkan tanggung jawab
wanita terhadap anak cucunya dan kewaspadaan terhadap segala sesuatu.
Ada
Tingkuluak atau Tengkuluk yang merupakan hiasan kepala yang berbentuk runcing
dan bercabang. Hiasan kepala ini menggambarkan bahwa wanita yang menjadi tiang
tengah bangunan rumah tangga tidak boleh diberi beban yang berat. Dengan kata
lain, wanita harus dihargai dan dihormati.
Di
bagian leherku dihias dengan Dukuah atau kalung dan bagian tanganku dihias
dengan gelang yang menggambarkan harapan untuk memeroleh rezeki yang berlebih
setelah pernikahan. Semua perhiasan itu yang harus kupakai dalam upacara adat
penikahan dengan budaya Minangkabau.
Walaupun
terasa berat harus menggunakan pakaian berlapis-lapis dan menjunjung Tengkuluk
yang berat, aku menjalaninya dengan penuh rasa bahagia. Di benakku, terbayang
saat-saat pernikahan itu di depan mataku. Subhanallah! Indahnya!
***
Billy
baru saja datang dari Ambon. Tas dan oleh-oleh yang dibawanya berserakan di
ruang tengah. Zahra dan Arista masih sibuk membongkar barang-barang Billy untuk
mencari oleh-oleh khusus yang dibawakan untuk mereka. Aku hanya mengulum senyum
melihat tingkah laku mereka.
“Udah
nyiapin kado buat aku kan?” candaku pada Billy.
“Rebes
Bos! Yang penting nikahanku tahun depan aku dikasih mobil.”
“Memangnya
udah punya calon? Siapa?” tanyaku penasaran.
“Rahasia.
Entar juga tahu sendiri, tapi beneran lho ya, aku diksaih mobil waktu nikahan
tahun depan?”
“Hmmm.
Bisa dipertimbangkan. Tapi kayaknya lebih enak kalau ngasih cangkir ‘mama papa’
deh.”
“Busyet.
Murahan banget! Aku aja ngasih yang mahal kok?”
“Gaya
banget sih kau sekarang! Iya, ntar aku kado-in kulkas. Memangnya kau ngasih aku
kado apa?”
“Aku
ngasih mesin cuci.”
“Impas
kalau gitu ya?”
“Tapi
ntar beneran ngasih kulkas ya. Biar aku nggak usah nyiapin uang buat beli itu.”
“Rebes
Bos!”
“Masa
orang berduit, pesta nggak pake gordang sambilan,” ujar Bouk Nisma tiba-tiba.
“Nggak
usah pake gordang. Cukup pestanya aja dibanyakin. Di Solo, Jakarta sama di
Padang.”
“Buang-buang
duit!” ujar Bouk Nisma.
“Berbagi
kebahagiaan,” jawabku santai.
Bouk
Nisma meninggalkan kami yang masih sibuk berkelakar sambil membongkar isi tas
Billy. Zahra dan Arista tersenyum puas melihat raut wajah Bouk Nisma yang tidak
senang mendengar jawabanku. Sedangkan Billy hanya tertawa melihat tingkah laku
kedua adik kami itu.
“Rasain
Lu! Emang enak? Jahat sih!” ujar Arista sambil tertawa.
“Boten
pareng ngaten iku yo, Cah Ayu. Wonge kuwi ora jahat tur kurang sajen.[19]
Hihihi,” ucap Zahra.
“Hush.
Ojo ngono toh, Cah![20]”
ujar Billy
***
Hari
pernikahan itu telah sampai pada waktunya. Pagi masih buta ketika aku
dibangunkan mama untuk segera bersiap untuk acara akad nikah di Masjid Agung.
Pakaian kebaya putih sudah menantiku. Penata rias sudah tersenyum menungguku di
meja rias.
Setelah
membersihkan diri, aku duduk di depan meja rias. Penata rias mulai melakukan
pekerjaannya. Berbagai alat make-up disapukan
ke wajahku. Layaknya orang yang sedang melukis, berbagai warna senada disapukan
ke wajahku. Rambutku yang panjang dan terkesan tipis ditata sedemikian rupa
hingga membentuk sanggul modern yang elegan.
Kebaya
berwarna putih dengan hiasan benang berwarna keemasan di bagian dada dan ujung
lengan dipasangkan ke tubuhku. Bagian belakang kebaya yang panjang
menjuntai—mempercantik kebaya yang kugunakan. Bawahan berupa kain bermotif
batik yang dengan model “A” menambah indahnya kebaya yang kugunakan.
Rumah
ramai sekali. Semua sibuk mempersiapkan diri. Tak ada yang memedulikanku hingga
aku selesai berdandan dan menuju mobil yang akan diberangkatkan ke tempat akad.
Di dalam mobil, mama duduk di sebelahku. Sinar kebahagiaan terpancar dari wajah
semua orang yang berada di dalam mobil, terutama diriku.
Sesampainya
di Masjid Agung, Galang sudah menungguku. Dia duduk di depan meja penghulu. Dia
menggunakan kemeja berwarna putih yang dilapis dengan jas hitam. Dilehernya
tergantung serangkaian bunga melati. Dia terlihat begitu tampan.
Galang
berdiri menyambutku dan mendekatiku. Dia terus memandangku. Hingga akhirnya
pembawa acara berkata, “Mempelai pria terpesona dengan kecantikan mempelai
wanita.” Semua tamu undangan tertawa mendengar ucapan pembawa acara itu. Aku
pun hnaya mengulum senyum menaha rasa malu karena Galang memandangiku begitu
lama.
“Habisnya,
penata riasnya terlalu profesional. Jadi cantik banget kan pengantinnya!”
celetuk Bang Abdul, teman dekat Galang.
Seluruh
orang yang berada di ruangan itu, tertawa mendengar ucapan Bang Abdul. Hingga
akhirnya, pembawa acara menengahi dan membimbing seluruh orang untuk memasuki
prosesi selanjutnya.
“Sebelumnya,
ada yang mau disampaikan, Mas Galang?” tanya pembawa acara.
“Hari
ini, akan kuucapkan ikrar suci pernikahan. Kuterima kelebihan dan kekuranganmu.
Kumohon terima aku seperti aku menerimamu apa adanya,” bisik Galang.
“Silakan
dijawab Mbak Kanaya!” ucap pembawa acara.
“Kuterima
dirimu apa adanya dengan segala kelebihan dan kekuranganmu,” jawabku sambil
memandangi wajah Galang.
Galang
tersenyum dan kemudian mempersilakanku duduk di sampingnya. Prosesi pernikahan
pun dimulai. Ketika Galang menjabat tangan Billy, jantungku berdegup begitu
kencang. Aku melirik ke arah Galang. Di dalam hati aku bertanya, “Apakah Galang
merasakan hal yang sama?”
Billy
mengucapkan ijab pernikahan. Ketika akan mengucapkan kabulnya, Galang terlihat
begitu gugup hingga dia tergagap. Ijab pun diulang, Galang pun masih belum bisa
menjawabnya dengan tegas. Hal ini membuat prosesi ijab kabul terhenti sebentar.
Untuk
menenangkan Galang, aku mendekatkan diri kepadanya, lalu berbisik, “Pejamkan
matamu! Bayangkan kebahagiaanmu! Jika memang ini cita-citamu, bayangkan masa
depan kita berdua! Kau, aku dan anak-anak kita kelak. Ini awalnya.”
Galang
menoleh padaku, aku tersenyum dan mengangguk. Aku harap apa yang kulakukan
dapat memberikan semangat kepada Galang. Aku harap ijab yang ketiga dari Billy
dapat dijawab Galang dengan baik.
Billy
kembali mengucapkan ijab. Aku menundukkan kepalaku, sambil memejamkan mata.
Kunikmati detik-detik terakhirku sebagai seorang wanita lajang. Setelah kabul
diucapkan oleh Galang, ada tugas baru yang siap menyambutku. Tugas sebagai
seorang istri.
“Saya
terima nikah dan kawinnya Kanaya Arnelita Harahap binti Dermawan Harahap dengan
mas kawin yang tersebut dibayar tunai,” ucap Galang dengan lantang.
Aku
menarik nafas lega. Saat ini Kanaya bukan lagi seorang ‘nona’, melainkan
seorang ‘nyonya’. Masa-masa pra-nikah yang penuh liku itu telah usai. Masa
depan sudah menungguku. Untuk menjadi seorang wanita yang sempurna—menjadi
anak, istri dan ibu untuk anak-anakku kelak.
***SEKIAN***
[1] Sejenis kereta kuda
[2] Panggilan dalam suku Mandailing
untuk saudara perempuan ayah (baik sepupu maupun kandung)
[3] Nenek, oma, eyang.
[4] Panggilan Jawa untuk kakak
perempuan dari ibu atau bapak.
[5] Panggilan Jawa untuk kakak
laki-laki dari ibu/bapak.
[6] Panggilan Jawa untuk adik
laki-laki ibu/bapak.
[7] Panggilan Jawa untuk adik
perempuan ibu/bapak
[8] Panggilan untuk saudara ipar
laki-laki ayah.
[9] Ibu
[10] Penyakit yang ditandai dengan
tertutupnya paru-paru oleh selaput lendir.
[11] Nasi dengan porsi sedikit dan
hanya berlauk ikan sepotong kecil ditambah sambal terasi.
[12] alat musik sejenis gamelan
[13] Artinya:
Anak orang Tanjung
Andalas,
Pergi ke pasar pada hari senja.
Biar habis, biarlah ludas,
Hati saya kena, bagaimana lagi
Pergi ke pasar pada hari senja.
Biar habis, biarlah ludas,
Hati saya kena, bagaimana lagi
[14] Artinya: terkurung hendak di
luar, terhimpit hendak di atas. Peribahasa ini menggambarkan orang yang licik
dan selalu ingin menang sendiri. Dia selalu berusaha mencari alasan untuk
menyelamatkan keadaan yang menghimpitnya tanpa melihat orang lain.
[15] Hiasan kepala untuk pengantin
perempuan Minang.
[16] Hiasan kepala untuk pengantin
perempuan Batak Mandailing.
[17] Panggilan untuk kakak laki-laki
dari pihak ayah dan kakak perempuan dari pihak ibu.
[18] Panggilan untuk adik laki-laki
ibu, merupakan kata lain dari “tulang”.
[19] Artinya: Nggak boleh begitu ya,
Cantik. Orangnya itu bukan jahat cuma kurang sesajen.
[20] Artinya: Jangan begitu toh!
0 komentar:
Posting Komentar