|
KARANGAN ERLINDA
|
Di
teras rumah, ada seorang wanita sedang duduk di sebuah kursi. Di sebelahnya,
seorang gadis remaja sedang duduk menemaninya sembari membaca buku yang cukup
tebal. Sementara itu, ada seorang pemuda yang sibuk dengan alat-alat mekaniknya,
sedang duduk di undakan teras.
Wanita
itu tersenyum melihat kesibukan kedua anaknya. Sinta memandangi wajah
anak-anaknya yang sibuk dengan hobinya masing-masing. Rayhan yang berkulit
hitam dengan paras manis, berpostur tegap dan tinggi terlihat semakin cekatan
menggunakan berbagai alat-alat mekanik. Sedangkan Silfa dengan kacamata
tebalnya, terlihat begitu serius membaca buku. Ya, kedua anaknya menyerupai
dirinya dan suaminya.
Rayhan
terlihat sama persis dengan Rama. Secara fisik, Rayhan bertubuh tegap dan
tinggi, warna kulitnya hitam, rambutnya pendek hampir botak. Ya, dia seperti
seorang tentara dan itulah cita-citanya, mengikuti jejak sang ayah untuk
mengabdi pada negara. Hobi dan keahliannya pun sama seperti Rama. Dia senang
memelajari alat-alat mekanik sama seperti Rama. Dia juga tertarik dengan
berbagai jenis hewan, terutama burung. Ya, Rayhan adalah Rama muda, buah
cintanya dengan Rama.
Berbeda
sengan Rayhan, Silfa terlihat seperti Sinta. Kulitnya putih bersih dengan
kacamata tebal yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Hobinya membaca
berbagai jenis buku. Silfa, anak yang cerdas. Persis seperti ibunya, dia selalu
meraih peringkat pertama di sekolahnya. Dalam setiap sambutan yang diucapkannya
ketika dia meraih prestasi, Silfa selalu berkata, “Ini karena mama dan papa. I love you, Mom. I love you, Dad.”
Setiap
dia memandangi anak-anaknya, Sinta selalu merasa beruntung karena telah
diberikan Tuhan kesempatan untuk merawat dan membesarkan anak-anak yang baik
dan cerdas. Dia juga merasa beruntung karena memunyai suami yang begitu
mencintainya.
“Mam!
Mama!” terdengar suara teriakan dengan nada lembut dari dalam rumah.
“Di
sini, Pap! Di teras!” ujar Sinta menjawab teriakan itu.
Tak
lama kemudian muncul sesosok pria yang terlihat sama persis dengan Rayhan.
Hanya saja pria ini terlihat jauh lebih tua daripada Rayhan.
“Ada
apa, Sayang?” tanya Sinta.
“Tadi
Serda David datang ke sini nggak?” tanya Rama.
“Nggak
ada yang datang dari tadi pagi, Pap. Memangnya ada apa?”
“Nggak
ada apa-apa. Cuma katanya Serda David mau ke sini. Mau berkunjung aja.”
“Oh.
Mama kirain ada apa. Mata papa merah. Papa ngantuk ya? Kemarin semalaman nggak
istirahat di pos?”
“Iya,
Mam. Ngantuk banget nih! Semalaman nggak bisa tidur gara-gara teman jaga Papa
kurang enak badan.”
“Ya
udah, Papa tidur aja dulu. Atau mau Mama buatin teh dulu?”
“Nanti
kalau Serda David datang gimana, Mam?”
“Ya
entar Mama bangunin Papa. Lagipula beliaunya belum tentu jadi datang kan.
Buktinya sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau beliau mau datang.”
“Kalau
gitu Papa istirahat dulu ya, Sayang.”
“Nggak
mau dibuatin teh dulu?”
“Nggak
usah, Sayang. Nanti aja, buatin Papa nasi goreng spesial ya, tapi kalau Papa
udah bangun tidur.”
“Iya,
Sayang. Selamat istirahat ya!”
“Rey,
jangan lupa ngasih makan si Leon ya, Nak!” ucap Rama mengingatkan.
“Siap
Bos! Laksanakan!” tukas Rayhan.
Rama
masuk kembali ke dalam rumah setelah mengecup kening Sinta. Silfa dan Rayhan
hanya tersenyum melihat kedua orangtuanya.
Rayhan
membenahi peralatan mekaniknya dan mengambil makanan burung untuk diberikan
kepada Leon. Sedangkan Silfa mendekatkan diri kepada ibunya. Dia bersandar di
pundak Sinta sambil memeluk manja tubuh ibunya itu.
“Silfa
iri sama mama dan papa,” ucap Silfa dengan manja.
“Lho,
kenapa memangnya, Sayang?” tanya Sinta dengan rasa kaget karena pernyataan anak
perempuannya itu.
“Mama
sama Papa itu udah puluhan tahun hidup bersama, tapi tetap mesra, saling
sayang. Kapan ya Silfa bisa dapat yang benar-benar sayang sama Silfa, kayak
papa sayang sama mama?”
Sinta
tersenyum mendengar pertanyaan anak bungsunya itu. Dibelainya rambut Silfa
dengan penuh kasih.
“Semua
sudah ada waktunya, Sayang. Allah sudah mengaturnya. Jadi nggak usah dipikirin!
Kalau udah waktunya, nggak perlu dicari, orang yang Silfa harapkan itu juga
bakal datang,” ucap Sinta dengan nada tulus dan lembut keibuannya.
“Mam,
memangnya dulu mama sama papa ketemunya gimana? Apa langsung pacaran gitu? Atau
dijodohin? Apa udah ada tanda-tandanya kalau mama sama papa bakalan saling
sayang sampai sekarang?” tanya Rayhan dengan raut wajah serius.
Rayhan
menyimpan makanan burung yang telah ditutup kembali dengan rapi. Lalu dia duduk
di tempatnya semula. Dipandanginya wajah Sinta yang masih tersenyum geli
mendengar pertanyaan anaknya.
“Mam,
kok nggak dijawab?” tanya Rayhan dengan nada tidak sabar.
“Kakak
sich! Kayak polisi aja. Nanya aja banyaknya minta ampun!” celetuk Silfa.
“Biarin!
Kan aku pengen tahu! Yeee, sirik banget sich Lu!” tukas Rayhan.
“Hai,
sudah! Jangan bertengkar!” lerai Sinta masih dengan nada lembut.
“Kak
Ray itu, Mam!” adu Silfa.
“Sudah!
Nanti Mama nggak jadi cerita nih!”
“Iya,
Mam. Rayhan diem deh. Ayo cerita, Mam!” ujar Rayhan tidak sabar.
“Sebelum
Mama cerita, Rayhan harus ngeberesin semua peralatannya dan Silfa yang cantik
ini harus merapikan bukunya. Mama tunggu di ruang tengah ya. Nggak enak kalau
cerita di sini, entar ada yang dengar! Masa Mama mau dijadiin artis kompleks
sini,” ujar Sinta membuat Silfa dan Rayhan tertawa.
Sinta
menunggu di ruang tengah. dia duduk di sebuah kursi panjang yang tertata di depan
televisi. Diambilnya album foto yang terletak di salah satu rak yang berada di
dekat kursi tersebut. Dia tersenyum melihat-lihat isi album setebal sepuluh
sentimeter itu.
Rayhan
dan Silfa berlari-lari ke arah ibu mereka dari teras rumah. Walaupun usia
mereka telah memasuki masa dewasa, masih sering sikap kekanak-kanakannya
muncul. Silfa memeluk ibunya dan bergelayut dengan manja. Rayhan duduk di sisi
yang berlawanan dengan Silfa.
“Ayo,
Mam! Rayhan udah nggak sabar nih!”
Sinta
tersenyum mendengar pernyataan Rayhan. Perlahan dibukanya album yang berada di
pangkuannya. Sebuah foto yang sudah begitu usang terpampang di halaman paling
depan. Foto itulah yang menjadi bukti pertama sejarah pertemuan dan perkenalan
Sinta dan Rama, mama dan papa dari Rayhan dan Silfa.
***
New
Delhi, sebuah ibukota negara yang tidak jauh lebih baik daripada Jakarta,
ibukota Indonesia. Bukan karena aku seorang warga negara Indonesia. Namun,
memang demikian keadaan yang kulihat. Mungkin karena adanya unsur budaya yang
masih tertanam di dalam masyarakat perkotaan India. Pemakaian saree, lehenga
dan berbagai jenis pakaian tradisional lainnya. Sedangkan di Jakarta, pakaian
yang lebih modern dan kebarat-baratan lebih menarik minat masyarakat.
Kondisi
New Delhi tidak menjadi masalah untukku. Aku masih merasakan kenyamanan yang
cukup untuk membuatku betah berada di negara ini. Aku mengagumi panorama
kebudayaan dan keindahan alam negara ini. Menurutku, India adalah negara yang
sama besar dengan Indonesia. Walaupun jumlah penduduknya terpadat kedua di
dunia dengan tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, aku meyakini kondisi India
akan semakin membaik jika pemerintahnya mampu memanfaatkan sejumlah potensi
yang dimilikinya. Baik itu sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya.
Aku
merasa cukup beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi negara
yang berada di wilayah Asia Selatan ini. Walaupun kunjunganku harus diikuti
dengan pemberian beban tugas yang tidak ringan, aku merasa senang. Bagiku,
mengunjungi India adalah salah satu mimpi terbesar dalam hidupku.
Penginapan
yang cukup berkelas. Setidaknya penginapan yang terletak di ujung jalan utama
yang berada di New Delhi ini terlihat bersih dan layak untuk dihuni. Dari kamar
sederhana yang kutempati aku dapat melihat keramaian ibukota negara terpadat
kedua di dunia itu. Warna-warni pakaian yang dipakai oleh penduduknya, membuat
kota itu semakin terlihat menarik dari kejauhan.
“Aku
hanya akan menginap sehari di kota ini, Dev. Setelah itu, aku akan ke Shimla
untuk mengambil bahan untuk tulisanku. Bukankah seperti itu jadwal perjalanan
yang dibuat oleh biro?” jelasku kepada Devi, temanku yang berada di Indonesia.
“Memang
seperti itu yang tertulis di jadwal, tapi kan kau bisa mengulur waktu sejam
atau dua jam untuk mencari pesananku itu,” ucap Devi.
“Kain
saree yang berada di Shimla kan juga sama aja. Bedanya apa sih?”tanyaku
setengah kesal.
“Aku
hanya takut kau nggak dapat kainnya. Apalagi kalau sampai lupa.”
“OK.
Aku akan membeli pesananmu, tapi setelah dari Shimla. Sebelum aku pulang ke
Indonesia. Bagaimana?”
“Aku
nggak mau ambil resiko kalau kau bakal lupa sama pesananku. Ayolah Sinta! Aku
mohon. Please!”
“OK.
Aku akan ke pasar sore ini juga. Kau puas?”
“Makasih.
Kau memang teman baikku. Oh ya, jangan bohong ya! Aku bisa tahu kalau kau tidak
menepati janjimu.”
“Dasar
dukun! Iya, Bawel. Nanti sore aku berangkat ke pasar,” gerutuku.
Ya,
begitulah Devi. Dia merupakan sahabat terbaikku. Dia memang memunyai kelebihan
dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Mungkin kelebihan yang dimilikinya
terlatih dengan penggunaan insting.
Namun, aku hanya mengetahui bahwa dia dapat melihat apapun yang kulakukan dari
jauh.
Sore
hari yang begitu cerah. Pasar yang kukunjungi begitu ramai. Aku berjalan
menyusuri setiap toko yang tertata rapi di pinggir jalan. Sebagian besar toko
pakaian yang berjejer di pinggir jalan menjual saree dan pakaian tradisional
lainnya. Bahkan, hampir semua toko pakaian menjual saree. Sehingga aku tidak
kesulitan untuk mendapatkan pesanan Devi.
Selain
memberi saree untuk Devi, aku juga membeli lehenga dengan warna hijau muda. Aku
tertarik dengan motif dan bordir yang menghiasi pakaian dengan kain yang halus.
Lehenga itu terlihat unik. Bagian atas lehenga itu berlengan pendek dengan
bagian punggung terbuka. Bagian atas lehenga itu dipasang dengan ikatan-ikatan
tali yang tersusun di bagian punggung. Bagian atas lehenga ini hanya menutupi
dada, sedangkan bagian perut terbuka.
Bagian
bawah dari pakaian tradisional India itu merupakan rok panjang dengan kain
ringan yang lembut dan melebar. Di bagian ujung rok, terdapat bordiran
sederhana yang cantik dan memperindah bentuk lehenga. Penampilan lehenga ini
semakin lengkap dengan adanya selendang panjang yang merupakan ciri khas dari
pekaian adat untuk wanita India. Selendang inilah yang menunjukkan tanggung
jawab wanita India. Selendang yang dibawa oleh wanita India baik yang
dikalungkan di lehernya atau yang tergantung di lengannya merupakan kehormatan.
Sehingga setiap wanita harus menjaga selendang yang menjadi bagian dari
pakaiannya.
GUBBBRRAAAAAAKKK!!!!
Sesosok
tubuh tegap dan tinggi menabrakku. Barang-barang belanjaanku jatuh ke aspal.
Aku memunguti barang-barang belanjaanku dibantu oleh seorang pemuda. Aku
berdiri dan kurapikan pakaianku.
Kuangkat
wajahku dan kulihat ada sesosok pemuda berkulit hitam sedang berdiri di
hadapanku. Parasnya manis. Tubuhnya pun tegap. Rambutnya tertata rapi dengan
potongan yang nyaris botak. Dia tersenyum padaku.
“Sorry. I not deliberate,” ucapku dengan
penuh senyum.
“No. My friend who hit you. You’re not wrong.
Anything happen to you?” tanyanya dengan sopan.
“Oh, no. I’m fine.”
Aku
hendak beranjak pergi meninggalkan pemuda itu. Namun, langkahku terhenti ketika
kudengar pemuda itu berbicara dengan temannya.
“Heh!
Lu itu udah nabrak orang bukannya minta maaf malah asyik telfonan,” ucap pemuda
itu.
“Kalian
orang Indonesia?” tanyaku seketika.
Pemuda
yang membantuku memunguti belanjaanku yang terjatuh dan juga temannya melihat
ke arahku. Mereka terdiam sejenak. Keduanya saling berpandangan. Pemuda yang
sedang memegang telefon genggam menutup telefonnya dan menarik mundur temannya.
“Kamu
orang Indonesia juga?” tanyanya dengan penuh senyum.
Aku
merasa heran dan aneh melihat tingkah laku pemuda itu. Aku hanya tersenyum lalu
meninggalkan mereka. Aku tidak menyukai gelagat pemuda yang telah menabrakku.
Aku
meneruskan perjalananku menyusuri salah satu pasar besar yang berada di New
Delhi. Aku berniat mencari sebuah restoran. Di sebuah ujung jalan, kulihat
sebuah restoran masakan India. Dengan langkah yang cepat, aku melangkah menuju
restoran itu. Aku sudah tidak sabar ingin mengisi perutku dengan masakan ala
negeri Sungai Gangga itu.
Namun,
langkahku terhenti ketika aku menyadari bahwa ada yang mengikutiku. Aku menoleh
ke belakang dan kulihat kedua pemuda yang tadi kutemui berada di dekatku.
Pemuda yang menabrakku pura-pura tidak melihatku, sedangkan yang satu lagi
melihatku dengan senyum yang terlihat begitu polos.
Aku
mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Aku melangkah kembali
dengan perlahan. Aku mengalihkan perhatian mereka dengan melemparkan sebuah
kancing peniti ke tiang yang berdiri tegak di pinggir jalan. Ketika kulihat
melalui sebuah cermin sebuah toko, pandangan pemuda yang menabrakku beralih ke
benda yang kulemparkan, sedangkan pemuda yang membantuku memunguti belanjaanku
masih terus memandangiku. Aku membelok ke sebuah gang kecil dan berdiri diam di
sana.
Tidak
berapa lama, kedua pemuda itu melintasi gang sempit yang menjadi tempat
persembunyianku. Pemuda berkulit hitam manis itu melihat ke arahku dan
tersenyum. Sedangkan pemuda yang menabrakku terlihat kesal dan terus
menggerutu.
Aku
keluar dari tempat persembunyianku dan kembali ke tempat tujuanku, restoran
masakan ala India. Rasanya perutku sudah tidak sabar untuk diisi. Aku memesan
roti jala lengkap dengan bumbu karinya. Roti jala dengan bumbu kari buatan
orang India sering disebut memiliki cita rasa yang berbeda dan khas. Itulah
yang membuatku penasaran dan akhirnya memilih makanan ini untuk menjadi menu
makanku di restoran ini.
Setelah
merasa cukup kenyang, aku kembali ke penginapanku. Sebelum memasuki kamar, aku
menemui pemandu wisataku untuk menanyakan jam keberangkatan ke Shimla. Aku
memasuki lorong kamarku dengan santai. Kukeluarkan kunci kamar dari dalam tasku
dan kubuka pintu kamarku. Ketika aku hendak masuk, terdengar perbincangan yang
sangat asyik dari kamar yang terletak di dean kamarku.
“Dia
begitu cantik. Kalau punya cewek kayak dia, aku pasti bahagia banget,” tukas
seorang pria dari dalam kamar.
Aku
hanya tersenyum mendengar suara itu.
“Orang
Indonesia juga ternyata,” bisikku dalam hati.
***
Pagi
yang cerah. Matahari memancarkan hangat cahayanya.aku tahu bahwa kehangatan di
kota New Delhi tidak akan terasa di Shimla. Cuacanya akan sangat berbeda.
Shimla merupakan wilayah dari negara India yang terletak di sekitar Pegunungan
Himalaya. Wilayah ini diselimuti salju sepanjang tahun. Sehingga jaket dan syal
akan sangat diperlukan untuk menghangatkan tubuh. Akupun mengeluarkan jaket dan
syal-ku dari dalam koper dan kuletakkan di tas yang tidak akan kuletakkan di
dalam bagasi mobil.
Setelah
aku selesai menata diri dan barang-barangku, aku keluar menuju lobi penginapan.
Aku terdiam sejenak ketika aku melihat kedua pemuda yang kutemui di pasar
kemarin sore sedang membawa koper besar dan keluar dari kamar yang terletak di
depan kamarku. Pemuda berkulit hitam yang membantuku memungut belanjaanku yang
terjatuh melihat ke arahku dengan ekspresi terkejut. Lalu dia tersenyum padaku.
Dia tidak berjalan mendekatiku. Dia hanya diam di tempatnya sambil terus
tersenyum dengan senyuman polos yang sama seperti yang kulihat saat pertama
kali bertemu.
Setelah
mengunci kamarnya, teman dari pemuda itu berbalik dan melihat ke arahku. Ada
senyum yang mengembang di wajahnya. Senyum yang sama dengan senyuman yang
membuatku ketakutan. Dia mendekatiku dengan langkah tegap.
“Aku
Vino. Boleh aku tahu nama kamu?” tanyanya dengan nada yang terdengar sopan.
“Maaf,
saya rasa Anda tidak perlu mengetahui nama saya. Permisi!” tukasku.
“Eits,
Nona. Kita sama-sama turis di sini. Sama-sama dari Indonesia. tidak ada
salahnya kan kalau kita saling mengenal,” ujarnya sambil menghalangi langkahku.
“Seperti
yang sudah saya katakan tadi. Saya merasa Anda tidak perlu mengetahui nama
saya,” ucapku tegas sambil berlalu dari hadapannya
Aku
sempat mendengar suaranya memanggilku dengan sebutan “nona”. Namun, aku tidak
menoleh. Aku merasa risih dengan sikap pemuda itu. Aku tidak menyukai tatapan
dan tingkah lakunya. Walaupun dia berusaha bersikap sopan, aku dapat melihat
sikap aslinya. Dimanapun dan bagaimanapun lelaki itu selalu mendekati wanita
jika ada maunya. Menurutku, hasrat lelaki itu terlalu kejam untuk didekati dan
diikuti.
Aku
memasukkan tasku ke bagasi mobil. Lalu aku menduduki salah satu jok mobil
pariwisata yang akan membawaku ke stasiun kereta api terbesar di New Delhi.
Aku
menyamankan posisi dudukku. Tiba-tiba seorang duduk di sebelahku. Tanpa
memerhatikan siapa yang duduk di sebelahku, aku memandang keluar mobil. Aku
melihat pemandu wisataku sedang berunding dengan supir.
“Maaf,
apakah Anda tahu sekarang sudah jam berapa ya?” tanyaku seraya menoleh ke arah
penumpang yang duduk di sebelahku.
Aku
terdiam ketika kulihat ke sebelah kananku. Aku melihat pemuda yang begitu
menyebalkan itu berada tepat di sebelah kananku.
“Anda?”
tanyaku dengan penuh keterkejutan.
“Ya,
saya. Ada masalah?” jawabnya dengan nada yang santai.
“Bukankah
Anda tidak bersama biro perjalanan kami sebelumnya?”
“Memang.
Tapi mulai hari ini sampai seterusnya, aku dan rekanku akan bersama Anda dalam
agen perjalanan ini. Ada masalah?”
“Tidak
ada. Saya hanya sedikit terkejut. Maaf.”
Aku
merasa kesal dengan takdir yang membuatku harus bersama dengan pemuda ini
sampai aku kembali ke Indonesia. Aku dapat memastikan bahwa ini akan menjadi
perjalanan terburuk seumur hidupku. Aku ingin menjauhkan diri dari pemuda yang
mengaku bernama Vino itu. Namun, ketika
kuamati semua jok sudah terisi, termasuk jok yang terletak di belakangku. Teman
dari pemuda itu menatapku dengan senyuman yang selalu terlihat polos.
“Baiklah!
Sebelum kita berangkat menuju stasiun, saya akan memeriksa apakah anggota dalam
perjalanan kita ini sudah lengkap. Ada sepuluh orang dan akan dimulai dari,
Sinta Reksana!” panggil pemandu wisata.
“Ya,”
jawabku singkat.
Pemandu
wisata melanjutkan panggilan ke nama berikutnya.
“Oh,
Sinta Reksana. Nama yang bagus,” ujar Vino setengah berbisik.
Aku
hanya diam dan bergelut dengan perasaan kesalku. Dalam hati aku menggumam dan
menyesali keadaan yang menimpaku.
“Andai
saja waktu itu aku tidak mendekati mereka dan menanyakan apakah mereka orang
Indonesia mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya,” sesalku dalam hati.
“Vino
Fahrezi!” panggil pemandu wisata.
“I’m
here,” jawabnya dengan bahasa Inggris yang terdengar kaku.
“Oh,
Anda yang agen wisatanya mengalami masalah dan harus dipindahkan ke agen kami
ya?”
“Iya,”
jawab Vino.
“Rama
Darmawan!” ujar pemandu wisata memanggil nama berikutnya.
Aku
tidak mendengar suara siapapun menyahut. Hingga akhirnya si pemandu wisata
menunjuk ke jok yang berada di belakangku seraya berkata, “Anda juga sama
dengan Tuan Vino bukan?”
“Ya,”
jawabnya singkat.
Akhirnya
aku mengetahui bahwa kedua pemuda itu bernama Vino dan Rama. Vino adalah pemuda
genit yang suka menggoda wanita, sedangkan Rama adalah pemuda yang selalu
tersenyum polos padaku. Dua pemuda ini menjadi bagian dari perjalanan yang
kuharapkan indah jika tidak ada mereka.
Perjalanan
yang tidak cukup menyenangkan itu akhirnya selesai. Stasiun terbesar di New
Delhi itu menyambut dengan keramaian yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
Stasiun itu terlihat begitu kumuh. Banyak anak-anak kecil yang terlihat tidak
terawat duduk di bagian salah satu gerbong kereta sambil bercanda. Sementara
itu kulihat di bagian atas kereta, aku melihat beberapa orang sudah duduk
menantikan laju kereta yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Sekilas aku
berpikir bahwa kondisi ini tidak jauh berbeda dengan negaraku, Indonesia. Hanya
saja pada beberapa bagian stasiun di Indonesia jauh lebih tertata dan anak-anak
yang kurang diperhatikan pemerintah itu jarang terlihat.
Pemandu
wisata memanggil-manggil anggota biro perjalanan dan meminta kami segera
memasuki gerbong kereta yang telah ditentukan. Aku menyempatkan diri untuk
mengambil foto anak-anak yang duduk di gerbong belakang kereta itu. Lalu aku
berlari menyusul rombonganku yang telah masuk terlebih dahulu.
Kereta
api itu tepat mulai bergerak perlahan ketika aku sampai di depan pintu gerbong.
Ada sebuah tangan yang terulur untuk membantuku naik. Aku menggapai tangan itu.
Tangan itu menarikku masuk ke dalam kerumunan orang yang berdiri di depan
gerbong kereta.
“Anda?
Oh, terima kasih,” ucapku sambil tersenyum saat melihat Rama berdiri di
depanku.
“Sama-sama.
Tas Anda sudah saya taruh di atas tempat duduk kita,” ucapnya.
Aku
mnegernyitkan dahi. Tasku? Kapan dia membawanya? Bukankah tadi dia di depan
pintu gerbong? Seharusnya dia baru saja masuk ke dalam kereta.
“Anda
tertarik pada anak-anak yang berada di gerbong belakang?” tanya Rama.
“Eh,
ya. Saya sangat tertarik. Saya merasa itu dapat saya jadikan bahan pemanis
dalam tulisan saya mengenai perjalanan saya di negara ini.”
“Ternyata
Anda suka menulis. Suatu saat saya pasti akan membaca tulisan Anda, terutama
tulisan mengenai perjalanan Anda di negara ini. Saya harus memastikan ada saya
dan anggota rombongan kita di dalamnya.”
“Hahaha.
Anda ini bisa saja. Nanti bisa kita atur.”
Aku
sama sekali tidak menyangka pemuda yang tersenyum polos padaku itu ternyata
berbeda dengan temannya. Dia terlihat lebih ramah dan sopan. Dia juga membuatku
merasa nyaman saat berbicara dengannya.
“Ah,
Nona Sinta, Anda kemana saja? Saya kira Anda ketinggalan kereta,” ujar pemandu
wisata ketika melihat kedatanganku dan Rama.
“Hampir
saja ketinggalan kereta kalau tidak ada yang menarik tanganku tadi,” ucapku.
“Syukurlah
kalau begitu! Oh ya, kursi Anda yang berada di sebelah Tuan Vino, di depan Tuan
Rama. Anda tidak keberatan kan untuk menempati kursi itu?” tanya pemandu
wisata.
“Tentu
saja tidak. Hanya untuk beberapa jam saja kan? Tidak seumur hidup?”
“Hahaha.
Anda ini bisa saja, Nona. Tentu saja hanya untuk beberapa jam. Kalau untuk
seumur hidup sepertinya harus ada diskusi pribadi antara pihak-pihak terkait.”
“Hahaha.
Sudahlah! Saya hanya merasa tidak tahan kalau harus berada di kursi kereta
seumur hidup dan hanya melihat dunia dari kaca itu. Rasanya dunia terlalu
sempit.”
“Anda
benar. Tapi bukankah lebih indah karena Anda ditemani oleh pemuda-pemuda tampan?”
“Ehmm.
Menurut saya lebih tampan Shah Rukh Khan,” bisikku pada pemandu wisata.
Pemandu
wisata tertawa mendengarkan kata-kataku lalu mempersilakanku duduk. Dia pergi
masih dengan senyum ramah yang sama ketika menyambutku.
Aku
menduduki kursiku. Aku tersenyum pada Rama. Kemudian kualihkan pandanganku pada
pemandangan di luar kereta. Setelah ini aku akan menginjakkan kaki di Kalka dan
berangkat kembali menuju Shimla. Sebuah perjalanan yang cukup panjang untuk
mencapai tempat impian yang indah dan bertabur salju. Namun, aku rela karena
itulah impianku.
“Sinta,
apakah kau tidak pernah melihat pemandangan seperti itu di Indonesia? Bukankah
di Indonesia juga banyak hamparan sawah dan padang rumput yang membentang
luas?” tanya Vino memecah lamunanku.
Aku
hanya diam. Aku merasa malas menjawab pertanyaan yang menurutku tidak penting
untuk dijawab.
“Rama,
Lu pernah lihat cewek cantik tapi sombong nggak? Kalau belum pernah lihat, ini
Gue tunjukkin. Orangnya ada di depan Lu,” celoteh Vino.
Rama
melihat ke arahku. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke pemandangan indah yang
tergambar di dalam kaca kereta. Dia terlihat begitu tekun mengamati pemandangan
itu.
“Nggak
ada bedanya dengan pemandangan di Indonesia, tapi memang kalau yang namanya
pemadangan itu nggak pernah ngebosenin kalau dilihat,” tukasnya tiba-tiba.
Aku
tersenyum mendengar ucapan Rama. Kupandangi wajahnya yang terlihat tenang
menatap ke arahku.
“Kok
kagak nyambung sih Lu?”
“Maaf.
Bukan karena saya sombong, tapi saya membiarkan Anda memberikan penilaian tentang
apa yang saya lakukan dan apa yang saya lihat,” ucapku tenang.
Kereta
terus melaju. Vino terus berusaha mendekatiku dengan segala cara. Mulai dari
mengajakku bertukar pikiran hingga membelikanku berbagai macam penganan yang
dijajakan oleh anak-anak kecil yang berada di dalam kereta. Sementara itu, Rama
terlihat lebih tenang. Dia hanya mengamati setiap gerak-gerik Vino dan
responku. Sikapnya itu membuatku tertarik untuk memelajari karakternya.
Dibandingkan dengan Vino, Rama lebih memunculkan banyak teka-teki. Apalagi jika
aku teringat peristiwa ketika dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam kereta.
Beribu tanya masih bersarang di benakku. Apa sebenarnya yang dia inginkan?
Bagaimana sebenarnya dirinya? Siapa sebenarnya dia?
Entahlah!
Mungkin dalam perjalananku di Shimla, aku dapat menjawab semua pertanyaanku
itu. Ehm... Itu harapan atau perkiraan ya? Susah untuk dibedakan.
***
Pagi
yang begitu indah. Kulihat banyak tumpukan salju yang berada di tanah. Hampir
di setiap sudut aku memandang, kulihat ada warna putih yang begitu lembut dan
menyampaikan udara dingin ke kulitku. Kurapatkan mantelku. Kututup mataku dan
kurasakan dinginnya udara pagi hari di Shimla.
Pemandangan
dari balkon Mitwah Cottage terlihat sangat indah di pagi hari itu. Gundukan
salju putih menjadi salah satu keindahan yang tidak pernah kudapati di
Indonesia. mungkin kondisi yang tidak jauh berbeda dapat kulihat di
negara-negara Eropa atau Jepang atau mungkin Amerika. Namun, entah mengapa aku
merasakan ada hal yang berbeda dengan India. Mungkin karena aku terlalu
menyukai India dengan segala keunikan budayanya atau mungkin aku terlalu
menikmati liburanku kali ini. Oh, andai aku dapat mengatakan bahwa ini adalah
“liburan”! Sekarang tugas-tugas observasi lapanganku yang ditemakan “liburan” oleh
atasanku terasa mulai membebani pundakku.
“Enjoy it, Sinta! This is a part of your life,” bisikku sambil menghela nafas
panjang.
“Selamat
pagi!” tegur Rama dari balkon sebelah kamarku.
“Ternyata
Anda bisa bangun sepagi ini. Bahkan, Anda sudah berdandan rapi.
Hmmm...beruntung sekali pria yang mendapatkan Anda!” sambungnya.
“Sepertinya
Anda sudah mulai ketularan rekan Anda. Sudah mulai pandai menggombal,” ucapku.
“Hahaha.
Memang itu kan jiwa seorang pria? Ngomong-ngomong, Anda mau ke mana sepagi ini?
Tempat wisata pasti belum ada yang buka.”
“Saya
mau mencari sarapan sambil melihat-lihat pemandangan daerah tempat ini.
Lagipula sarapan dari hotel ini paling juga nasi goreng dan telur mata sapi.”
“Bener
juga ya! Saya boleh ikut?”
Aku
terkejut mendengar pertanyaan Rama. Aku mengernyitkan dahiku. Aku merasa ada
perubahan yang cukup besar dari sikap pemuda itu. Dia tidak sedingin
sebelumnya. Dia terlihat lebih akrab dan mencoba mendekatkan diri.
“Rekan
Anda itu, bagaimana?” tanyaku masih dengan dahi yang mengernyit.
“Tenang
saja, Sin. Nanti akan kutinggalkan memo di meja. Dia tidak akan bangun jika
alarm-nya tidak berdering dengan keras. Bagaimana? Saya boleh ikut?”
“Hmmm.
Baiklah. Tapi saya sarankan Anda mandi terlebih dahulu.”
“It’s not be a problem. Wait me for a while!
I’ll back with my handsomeness,” ujarnya sambil mengerlingkan mata.
“Oh,
no! Your confidence is too over. OK. I’ll
wait you in lobby.”
Aku
mengambil kamera digitalku yang kuletakkan di samping tempat tidurku. Aku juga
mengambil tasku dan kupastikan dompetku sudah ada di dalamnya. Lalu
kuupasangkan sarung tanganku dan kukalungkan syal ke leherku.
“Pasti
di luar lebih dingin dari yang kubayangkan,” pikirku.
Aku
pun keluar kamar menuju lobby. Menurut perkiraanku, Rama pasti akan menyusulku
dalam waktu sekitar 15-20 menit. Apalagi
kalau menurut pengamatanku dia termasuk pria yang suka tampil necis dengan
rambut dipotong pendek hampir botak itu dan pakaian yang sederhana, tapi tetap
terlihat rapi. Aku yakin dia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbenah
diri. Oleh karena itu, kuambil sebuah majalah terbitan salah satu perusahaan di
India.
Aku
duduk di sofa panjang yang disediakan di lobby itu sambil membolak-balik
lembaran majalah yang kupegang. Baru sekitar lima menit aku melihat-lihat isi
majalah itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda berjaket hitam dengan syal
melingkar di lehernya dan sarung tangan yang terpasang di tangannya.
Penampilannya tidak jauh berbeda denganku. Bahkan, bisa kubilang senada. Warna
dan jenis kain dari pakaian yang kami pakai terlihat sama.
“Bagaimana?
Ganteng kan?” ujar Rama.
Aku
tersenyum mendengar ucapannya. Lalu aku berdiri dan berkata, “Hmmm... Saya
harus bilang apa ya? Lumayan juga.”
Dia
tertawa bagitu lepas. Kulihat raut wajahnya terlihat begitu berbeda. Kepolosan
itu masih ada di sana, tapi tidak dengan sikap dinginnya. Aku melihat ada sifat
dewasa dan bijaksana dari garis-garis wajahnya. Dia bukan tipe orang yang suka
berpikir keras untuk sesuatu hal tertentu. Ah, aku terlalu banyak membawa garis
wajahnya!
Rambutnya
yang tertata rapi. Walaupun harus kuakui bahwa setiap pria dengan potongan
rambut seperti dia pasti akan lebih mudah menata rambutnya, tidak
mengherankankalau dia terlihat rapi. Namun, aku melihat ada kedewasaan yang
begitu jelas terpancar dari penampilannya. Cara dia berdiri menunjukkan bahwa
dia tidak menyombongkan diri, tapi dia tangguh dan mampu menghadapi hal yang
sangat keras sekalipun.
“Hei!”
ujar Rama membuyarkan lamunanku.
“Kamu
naksir ya sama saya?” ucapnya dengan nada bercanda yang begitu jelas.
“Anda
ini. Ge-er banget ya!” ujarku sambil merunduk.
Aku
tidak mau kalau Rama melihat wajahku yang memerah karena malu. Aku tidak ingin
Rama tahu bahwa aku sedang membawa wataknya.
“Itu
tadi ngelihatin melulu.”
“Saya
hanya bingung kenapa penampilan Anda terlihat senada dengan saya baik itu dari
warna pakaian hingga jenis kainnya.”
“Berarti
kita jodoh dong!”bisiknya.
“Apa?”
tanyaku pura-pura tidak mendengar.
“Tidak
apa-apa. Saya hanya punya jaket, sarung tangan dan syal ini. Semuanya cuma ada
satu. Jadi ya mau nggak mau pake yang ini.”
Setelah
cukup lama saling bercanda, aku dan Rama menyusuri jalan yang melintas di depan
penginapan kami itu. Jalanan itu terlihat sepi. Mungkin sebagian besar
masyarakatnya sedang menggunakan penghangat ruangan dan bermalas-malasan di
dalam kamarnya.
Aku
melihat ada satu dua orang sedang berada di halaman rumahnya. Mungkin tidak
seperti di Indonesia yang masyarakatnya terlelu tinggi menjunjung nilai sosial,
terutama kaum ibu. Sehingga jika waktu pagi dan jam segini kebanyakan ibu di
Indonesia sedang mengobrol asyik dengan tetangganya. Entah itu untuk
membicarakan orang lain ataupun membicarakan mengenai dirinya dan keluarganya.
Ya, itulah bagian dari Indonesia-ku. Kebiasaan buruk yang sulit diubah karena
sudah mengurat nadi.
Di
sepanjang jalan, Rama tak henti-hentinya menggodaku dengan gurauannya yang
mempu membuatku tertawa lepas. Dia tidak banyak bicara, tapi sekali dia
berbicara, kata-katanya dapat membuatku mengeluarkan ekspresi yang susah
kutebak. Terkadang aku merasa malu, tapi terkadang aku merasa lucu. Ketika dia
mencoba mengeluarkan rayuan, dia terlihat begitu kaku dan lugu. Ketika aku
tertawa mendengarkan leluconnya dan melihat gaya dia berbicara, dia berkata,
“Kamu terlihat sangat cantik kalau sedang tertawa.”
Ah,
entahlah! Aku merasa begitu akrab dengan orang ini. Jalan-jalan pagi bersamanya
membuatku melihat dia sebagai pribadi yang begitu hangat. Namun, saat di dekat
temannya atau anggota rombongan lainnya, dia terlihat begitu kaku dan tegas.
Ya, mungkin dia gengsi.
Gengsi?
Buat apa dia merasa gengsi? Apa mungkin lebih tepatnya dia JAIM? Ya, kurasa
ugkapan itu lebih tepat untuknya. Dia itu jaim. Tapi apa peduliku? Aku hanya
menjalani perjalanan di negara yang begitu kusukai keunikannya.
“Sayang
sekali, tidak ada rendang,” ucapnya setengah berbisik.
Aku
kaget mendengar ucapannya. Aku pun tak dapat menahan tawaku. Aku merasa begitu
lucu mengetahui ada orang yang mencari rendang di negara Sungai Gangga ini.
“Tuan,
pernahkah Anda berpikir tentang kemungkinan orang Minang membuka rumah makan
masakan Padang di negara ini?” tanyaku kemudian.
“Hahaha.
Kamu lucu sekali, Sinta. Mana mungkin masakan padang akan laku di sini. Pasti
akan kalah dengan keju, sushi atau makanan dare negara lainnya,” ucapnya dan
kemudian menyuapkan sepotong roti jala ke dalam mulutnya.
“Kenapa
tidak mungkin?” tanyaku.
Dia
mengernyitkan dahinya sambil memandang ke arahku.
“Begini
ya. Nasi goreng itu berasal dare Indonesia dan sekarang terkenal di berbagai
negara barat. Tidak kalah beda dengan keju yang masuk dan menjadi bagian dare
makanan orang Indonesia. Kenapa tidak mungkin untuk masakan padang, terutama
rendang?
Rendang
memunyai rasa yang khas. Campuran rempah-rempah dan santan yang mengental
dengan proses pengentalan yang tidak gampang. Belum lagi kalau dipadankan
dengan sambal hijau. Hmmm. Pasti mantap banget tuh!” jelasku panjang lebar.
“Sebenarnya
kamu orang mana sih?” tanya Rama dengan ekspresi wajah yang terlihat serius.
“Saya
orang Indonesia,” tukasku.
“Maksudku,
kamu itu dare suku apa?”
“Haruskah
saya jelaskan pada Anda, Tuan?”
“Kalau
kamu nggak keberatan. Soalnya aku lihat kamu itu kenal banget sama rendang.”
“Hahahaha.
Tuan, rendang itu terkenal ke seluruh nusantara. Dare Sabang sampai Merauke,
tidak ada yang tidak kenal dengan masakan rendang, kecuali suku di pedalaman
mungkin. Tapi kalau Anda mau tahu saya dare suku apa, baiklah, saya sendiri
tidak tahu suku apa yang saya sandang. Ayah saya bersuku Batak dan ibu saya
bersuku Jawa.”
“Hm.
Aku kira kamu orang Sunda.”
“Ya,
Anda orang yang ke sekian mengatakan itu pada saya. Entah darimana orang
melihat saya mirip seperti orang Sunda, tapi yang jelas saya sedikit sensitif
jika disebut demikian.”
“Kenapa
begitu?”
“Simpel
aja sih. Sebagian orang memunyai persepsi yang buruk terhadap wanita Sunda.
Saya tidak tahu darimana asal persepsi buruk itu, tapi yang jelas saya tidak
ingin menyandang persepsi itu.”
|
|
Sore
itu begitu indah. Matahari yang condong ke barat itu terlihat masih ragu untuk
menenggelamkan dirinya. Suasana yang indah itu semakin terlihat elok dengan
pemandangan yang ditawarkan oleh taman kecil yang berada di depan rumah
sederhana yang tertata rapi itu. Mawar merah, melati, bunga sedap malam dan
bunga-bunga lainnya menghiasi taman yang hanya mengisi salah satu sudut taman.
Ada beberapa kupu-kupu yang bermain-main di selip keindahan bunga-bunga di
taman itu.
Di
teras rumah, ada seorang wanita sedang duduk di sebuah kursi. Di sebelahnya,
seorang gadis remaja sedang duduk menemaninya sembari membaca buku yang cukup
tebal. Sementara itu, ada seorang pemuda yang sibuk dengan alat-alat mekaniknya,
sedang duduk di undakan teras.
Wanita
itu tersenyum melihat kesibukan kedua anaknya. Sinta memandangi wajah
anak-anaknya yang sibuk dengan hobinya masing-masing. Rayhan yang berkulit
hitam dengan paras manis, berpostur tegap dan tinggi terlihat semakin cekatan
menggunakan berbagai alat-alat mekanik. Sedangkan Silfa dengan kacamata
tebalnya, terlihat begitu serius membaca buku. Ya, kedua anaknya menyerupai
dirinya dan suaminya.
Rayhan
terlihat sama persis dengan Rama. Secara fisik, Rayhan bertubuh tegap dan
tinggi, warna kulitnya hitam, rambutnya pendek hampir botak. Ya, dia seperti
seorang tentara dan itulah cita-citanya, mengikuti jejak sang ayah untuk
mengabdi pada negara. Hobi dan keahliannya pun sama seperti Rama. Dia senang
memelajari alat-alat mekanik sama seperti Rama. Dia juga tertarik dengan
berbagai jenis hewan, terutama burung. Ya, Rayhan adalah Rama muda, buah
cintanya dengan Rama.
Berbeda
sengan Rayhan, Silfa terlihat seperti Sinta. Kulitnya putih bersih dengan
kacamata tebal yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Hobinya membaca
berbagai jenis buku. Silfa, anak yang cerdas. Persis seperti ibunya, dia selalu
meraih peringkat pertama di sekolahnya. Dalam setiap sambutan yang diucapkannya
ketika dia meraih prestasi, Silfa selalu berkata, “Ini karena mama dan papa. I love you, Mom. I love you, Dad.”
Setiap
dia memandangi anak-anaknya, Sinta selalu merasa beruntung karena telah
diberikan Tuhan kesempatan untuk merawat dan membesarkan anak-anak yang baik
dan cerdas. Dia juga merasa beruntung karena memunyai suami yang begitu
mencintainya.
“Mam!
Mama!” terdengar suara teriakan dengan nada lembut dari dalam rumah.
“Di
sini, Pap! Di teras!” ujar Sinta menjawab teriakan itu.
Tak
lama kemudian muncul sesosok pria yang terlihat sama persis dengan Rayhan.
Hanya saja pria ini terlihat jauh lebih tua daripada Rayhan.
“Ada
apa, Sayang?” tanya Sinta.
“Tadi
Serda David datang ke sini nggak?” tanya Rama.
“Nggak
ada yang datang dari tadi pagi, Pap. Memangnya ada apa?”
“Nggak
ada apa-apa. Cuma katanya Serda David mau ke sini. Mau berkunjung aja.”
“Oh.
Mama kirain ada apa. Mata papa merah. Papa ngantuk ya? Kemarin semalaman nggak
istirahat di pos?”
“Iya,
Mam. Ngantuk banget nih! Semalaman nggak bisa tidur gara-gara teman jaga Papa
kurang enak badan.”
“Ya
udah, Papa tidur aja dulu. Atau mau Mama buatin teh dulu?”
“Nanti
kalau Serda David datang gimana, Mam?”
“Ya
entar Mama bangunin Papa. Lagipula beliaunya belum tentu jadi datang kan.
Buktinya sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau beliau mau datang.”
“Kalau
gitu Papa istirahat dulu ya, Sayang.”
“Nggak
mau dibuatin teh dulu?”
“Nggak
usah, Sayang. Nanti aja, buatin Papa nasi goreng spesial ya, tapi kalau Papa
udah bangun tidur.”
“Iya,
Sayang. Selamat istirahat ya!”
“Rey,
jangan lupa ngasih makan si Leon ya, Nak!” ucap Rama mengingatkan.
“Siap
Bos! Laksanakan!” tukas Rayhan.
Rama
masuk kembali ke dalam rumah setelah mengecup kening Sinta. Silfa dan Rayhan
hanya tersenyum melihat kedua orangtuanya.
Rayhan
membenahi peralatan mekaniknya dan mengambil makanan burung untuk diberikan
kepada Leon. Sedangkan Silfa mendekatkan diri kepada ibunya. Dia bersandar di
pundak Sinta sambil memeluk manja tubuh ibunya itu.
“Silfa
iri sama mama dan papa,” ucap Silfa dengan manja.
“Lho,
kenapa memangnya, Sayang?” tanya Sinta dengan rasa kaget karena pernyataan anak
perempuannya itu.
“Mama
sama Papa itu udah puluhan tahun hidup bersama, tapi tetap mesra, saling
sayang. Kapan ya Silfa bisa dapat yang benar-benar sayang sama Silfa, kayak
papa sayang sama mama?”
Sinta
tersenyum mendengar pertanyaan anak bungsunya itu. Dibelainya rambut Silfa
dengan penuh kasih.
“Semua
sudah ada waktunya, Sayang. Allah sudah mengaturnya. Jadi nggak usah dipikirin!
Kalau udah waktunya, nggak perlu dicari, orang yang Silfa harapkan itu juga
bakal datang,” ucap Sinta dengan nada tulus dan lembut keibuannya.
“Mam,
memangnya dulu mama sama papa ketemunya gimana? Apa langsung pacaran gitu? Atau
dijodohin? Apa udah ada tanda-tandanya kalau mama sama papa bakalan saling
sayang sampai sekarang?” tanya Rayhan dengan raut wajah serius.
Rayhan
menyimpan makanan burung yang telah ditutup kembali dengan rapi. Lalu dia duduk
di tempatnya semula. Dipandanginya wajah Sinta yang masih tersenyum geli
mendengar pertanyaan anaknya.
“Mam,
kok nggak dijawab?” tanya Rayhan dengan nada tidak sabar.
“Kakak
sich! Kayak polisi aja. Nanya aja banyaknya minta ampun!” celetuk Silfa.
“Biarin!
Kan aku pengen tahu! Yeee, sirik banget sich Lu!” tukas Rayhan.
“Hai,
sudah! Jangan bertengkar!” lerai Sinta masih dengan nada lembut.
“Kak
Ray itu, Mam!” adu Silfa.
“Sudah!
Nanti Mama nggak jadi cerita nih!”
“Iya,
Mam. Rayhan diem deh. Ayo cerita, Mam!” ujar Rayhan tidak sabar.
“Sebelum
Mama cerita, Rayhan harus ngeberesin semua peralatannya dan Silfa yang cantik
ini harus merapikan bukunya. Mama tunggu di ruang tengah ya. Nggak enak kalau
cerita di sini, entar ada yang dengar! Masa Mama mau dijadiin artis kompleks
sini,” ujar Sinta membuat Silfa dan Rayhan tertawa.
Sinta
menunggu di ruang tengah. dia duduk di sebuah kursi panjang yang tertata di depan
televisi. Diambilnya album foto yang terletak di salah satu rak yang berada di
dekat kursi tersebut. Dia tersenyum melihat-lihat isi album setebal sepuluh
sentimeter itu.
Rayhan
dan Silfa berlari-lari ke arah ibu mereka dari teras rumah. Walaupun usia
mereka telah memasuki masa dewasa, masih sering sikap kekanak-kanakannya
muncul. Silfa memeluk ibunya dan bergelayut dengan manja. Rayhan duduk di sisi
yang berlawanan dengan Silfa.
“Ayo,
Mam! Rayhan udah nggak sabar nih!”
Sinta
tersenyum mendengar pernyataan Rayhan. Perlahan dibukanya album yang berada di
pangkuannya. Sebuah foto yang sudah begitu usang terpampang di halaman paling
depan. Foto itulah yang menjadi bukti pertama sejarah pertemuan dan perkenalan
Sinta dan Rama, mama dan papa dari Rayhan dan Silfa.
***
New
Delhi, sebuah ibukota negara yang tidak jauh lebih baik daripada Jakarta,
ibukota Indonesia. Bukan karena aku seorang warga negara Indonesia. Namun,
memang demikian keadaan yang kulihat. Mungkin karena adanya unsur budaya yang
masih tertanam di dalam masyarakat perkotaan India. Pemakaian saree, lehenga
dan berbagai jenis pakaian tradisional lainnya. Sedangkan di Jakarta, pakaian
yang lebih modern dan kebarat-baratan lebih menarik minat masyarakat.
Kondisi
New Delhi tidak menjadi masalah untukku. Aku masih merasakan kenyamanan yang
cukup untuk membuatku betah berada di negara ini. Aku mengagumi panorama
kebudayaan dan keindahan alam negara ini. Menurutku, India adalah negara yang
sama besar dengan Indonesia. Walaupun jumlah penduduknya terpadat kedua di
dunia dengan tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, aku meyakini kondisi India
akan semakin membaik jika pemerintahnya mampu memanfaatkan sejumlah potensi
yang dimilikinya. Baik itu sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya.
Aku
merasa cukup beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi negara
yang berada di wilayah Asia Selatan ini. Walaupun kunjunganku harus diikuti
dengan pemberian beban tugas yang tidak ringan, aku merasa senang. Bagiku,
mengunjungi India adalah salah satu mimpi terbesar dalam hidupku.
Penginapan
yang cukup berkelas. Setidaknya penginapan yang terletak di ujung jalan utama
yang berada di New Delhi ini terlihat bersih dan layak untuk dihuni. Dari kamar
sederhana yang kutempati aku dapat melihat keramaian ibukota negara terpadat
kedua di dunia itu. Warna-warni pakaian yang dipakai oleh penduduknya, membuat
kota itu semakin terlihat menarik dari kejauhan.
“Aku
hanya akan menginap sehari di kota ini, Dev. Setelah itu, aku akan ke Shimla
untuk mengambil bahan untuk tulisanku. Bukankah seperti itu jadwal perjalanan
yang dibuat oleh biro?” jelasku kepada Devi, temanku yang berada di Indonesia.
“Memang
seperti itu yang tertulis di jadwal, tapi kan kau bisa mengulur waktu sejam
atau dua jam untuk mencari pesananku itu,” ucap Devi.
“Kain
saree yang berada di Shimla kan juga sama aja. Bedanya apa sih?”tanyaku
setengah kesal.
“Aku
hanya takut kau nggak dapat kainnya. Apalagi kalau sampai lupa.”
“OK.
Aku akan membeli pesananmu, tapi setelah dari Shimla. Sebelum aku pulang ke
Indonesia. Bagaimana?”
“Aku
nggak mau ambil resiko kalau kau bakal lupa sama pesananku. Ayolah Sinta! Aku
mohon. Please!”
“OK.
Aku akan ke pasar sore ini juga. Kau puas?”
“Makasih.
Kau memang teman baikku. Oh ya, jangan bohong ya! Aku bisa tahu kalau kau tidak
menepati janjimu.”
“Dasar
dukun! Iya, Bawel. Nanti sore aku berangkat ke pasar,” gerutuku.
Ya,
begitulah Devi. Dia merupakan sahabat terbaikku. Dia memang memunyai kelebihan
dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Mungkin kelebihan yang dimilikinya
terlatih dengan penggunaan insting.
Namun, aku hanya mengetahui bahwa dia dapat melihat apapun yang kulakukan dari
jauh.
Sore
hari yang begitu cerah. Pasar yang kukunjungi begitu ramai. Aku berjalan
menyusuri setiap toko yang tertata rapi di pinggir jalan. Sebagian besar toko
pakaian yang berjejer di pinggir jalan menjual saree dan pakaian tradisional
lainnya. Bahkan, hampir semua toko pakaian menjual saree. Sehingga aku tidak
kesulitan untuk mendapatkan pesanan Devi.
Selain
memberi saree untuk Devi, aku juga membeli lehenga dengan warna hijau muda. Aku
tertarik dengan motif dan bordir yang menghiasi pakaian dengan kain yang halus.
Lehenga itu terlihat unik. Bagian atas lehenga itu berlengan pendek dengan
bagian punggung terbuka. Bagian atas lehenga itu dipasang dengan ikatan-ikatan
tali yang tersusun di bagian punggung. Bagian atas lehenga ini hanya menutupi
dada, sedangkan bagian perut terbuka.
Bagian
bawah dari pakaian tradisional India itu merupakan rok panjang dengan kain
ringan yang lembut dan melebar. Di bagian ujung rok, terdapat bordiran
sederhana yang cantik dan memperindah bentuk lehenga. Penampilan lehenga ini
semakin lengkap dengan adanya selendang panjang yang merupakan ciri khas dari
pekaian adat untuk wanita India. Selendang inilah yang menunjukkan tanggung
jawab wanita India. Selendang yang dibawa oleh wanita India baik yang
dikalungkan di lehernya atau yang tergantung di lengannya merupakan kehormatan.
Sehingga setiap wanita harus menjaga selendang yang menjadi bagian dari
pakaiannya.
GUBBBRRAAAAAAKKK!!!!
Sesosok
tubuh tegap dan tinggi menabrakku. Barang-barang belanjaanku jatuh ke aspal.
Aku memunguti barang-barang belanjaanku dibantu oleh seorang pemuda. Aku
berdiri dan kurapikan pakaianku.
Kuangkat
wajahku dan kulihat ada sesosok pemuda berkulit hitam sedang berdiri di
hadapanku. Parasnya manis. Tubuhnya pun tegap. Rambutnya tertata rapi dengan
potongan yang nyaris botak. Dia tersenyum padaku.
“Sorry. I not deliberate,” ucapku dengan
penuh senyum.
“No. My friend who hit you. You’re not wrong.
Anything happen to you?” tanyanya dengan sopan.
“Oh, no. I’m fine.”
Aku
hendak beranjak pergi meninggalkan pemuda itu. Namun, langkahku terhenti ketika
kudengar pemuda itu berbicara dengan temannya.
“Heh!
Lu itu udah nabrak orang bukannya minta maaf malah asyik telfonan,” ucap pemuda
itu.
“Kalian
orang Indonesia?” tanyaku seketika.
Pemuda
yang membantuku memunguti belanjaanku yang terjatuh dan juga temannya melihat
ke arahku. Mereka terdiam sejenak. Keduanya saling berpandangan. Pemuda yang
sedang memegang telefon genggam menutup telefonnya dan menarik mundur temannya.
“Kamu
orang Indonesia juga?” tanyanya dengan penuh senyum.
Aku
merasa heran dan aneh melihat tingkah laku pemuda itu. Aku hanya tersenyum lalu
meninggalkan mereka. Aku tidak menyukai gelagat pemuda yang telah menabrakku.
Aku
meneruskan perjalananku menyusuri salah satu pasar besar yang berada di New
Delhi. Aku berniat mencari sebuah restoran. Di sebuah ujung jalan, kulihat
sebuah restoran masakan India. Dengan langkah yang cepat, aku melangkah menuju
restoran itu. Aku sudah tidak sabar ingin mengisi perutku dengan masakan ala
negeri Sungai Gangga itu.
Namun,
langkahku terhenti ketika aku menyadari bahwa ada yang mengikutiku. Aku menoleh
ke belakang dan kulihat kedua pemuda yang tadi kutemui berada di dekatku.
Pemuda yang menabrakku pura-pura tidak melihatku, sedangkan yang satu lagi
melihatku dengan senyum yang terlihat begitu polos.
Aku
mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Aku melangkah kembali
dengan perlahan. Aku mengalihkan perhatian mereka dengan melemparkan sebuah
kancing peniti ke tiang yang berdiri tegak di pinggir jalan. Ketika kulihat
melalui sebuah cermin sebuah toko, pandangan pemuda yang menabrakku beralih ke
benda yang kulemparkan, sedangkan pemuda yang membantuku memunguti belanjaanku
masih terus memandangiku. Aku membelok ke sebuah gang kecil dan berdiri diam di
sana.
Tidak
berapa lama, kedua pemuda itu melintasi gang sempit yang menjadi tempat
persembunyianku. Pemuda berkulit hitam manis itu melihat ke arahku dan
tersenyum. Sedangkan pemuda yang menabrakku terlihat kesal dan terus
menggerutu.
Aku
keluar dari tempat persembunyianku dan kembali ke tempat tujuanku, restoran
masakan ala India. Rasanya perutku sudah tidak sabar untuk diisi. Aku memesan
roti jala lengkap dengan bumbu karinya. Roti jala dengan bumbu kari buatan
orang India sering disebut memiliki cita rasa yang berbeda dan khas. Itulah
yang membuatku penasaran dan akhirnya memilih makanan ini untuk menjadi menu
makanku di restoran ini.
Setelah
merasa cukup kenyang, aku kembali ke penginapanku. Sebelum memasuki kamar, aku
menemui pemandu wisataku untuk menanyakan jam keberangkatan ke Shimla. Aku
memasuki lorong kamarku dengan santai. Kukeluarkan kunci kamar dari dalam tasku
dan kubuka pintu kamarku. Ketika aku hendak masuk, terdengar perbincangan yang
sangat asyik dari kamar yang terletak di dean kamarku.
“Dia
begitu cantik. Kalau punya cewek kayak dia, aku pasti bahagia banget,” tukas
seorang pria dari dalam kamar.
Aku
hanya tersenyum mendengar suara itu.
“Orang
Indonesia juga ternyata,” bisikku dalam hati.
***
Pagi
yang cerah. Matahari memancarkan hangat cahayanya.aku tahu bahwa kehangatan di
kota New Delhi tidak akan terasa di Shimla. Cuacanya akan sangat berbeda.
Shimla merupakan wilayah dari negara India yang terletak di sekitar Pegunungan
Himalaya. Wilayah ini diselimuti salju sepanjang tahun. Sehingga jaket dan syal
akan sangat diperlukan untuk menghangatkan tubuh. Akupun mengeluarkan jaket dan
syal-ku dari dalam koper dan kuletakkan di tas yang tidak akan kuletakkan di
dalam bagasi mobil.
Setelah
aku selesai menata diri dan barang-barangku, aku keluar menuju lobi penginapan.
Aku terdiam sejenak ketika aku melihat kedua pemuda yang kutemui di pasar
kemarin sore sedang membawa koper besar dan keluar dari kamar yang terletak di
depan kamarku. Pemuda berkulit hitam yang membantuku memungut belanjaanku yang
terjatuh melihat ke arahku dengan ekspresi terkejut. Lalu dia tersenyum padaku.
Dia tidak berjalan mendekatiku. Dia hanya diam di tempatnya sambil terus
tersenyum dengan senyuman polos yang sama seperti yang kulihat saat pertama
kali bertemu.
Setelah
mengunci kamarnya, teman dari pemuda itu berbalik dan melihat ke arahku. Ada
senyum yang mengembang di wajahnya. Senyum yang sama dengan senyuman yang
membuatku ketakutan. Dia mendekatiku dengan langkah tegap.
“Aku
Vino. Boleh aku tahu nama kamu?” tanyanya dengan nada yang terdengar sopan.
“Maaf,
saya rasa Anda tidak perlu mengetahui nama saya. Permisi!” tukasku.
“Eits,
Nona. Kita sama-sama turis di sini. Sama-sama dari Indonesia. tidak ada
salahnya kan kalau kita saling mengenal,” ujarnya sambil menghalangi langkahku.
“Seperti
yang sudah saya katakan tadi. Saya merasa Anda tidak perlu mengetahui nama
saya,” ucapku tegas sambil berlalu dari hadapannya
Aku
sempat mendengar suaranya memanggilku dengan sebutan “nona”. Namun, aku tidak
menoleh. Aku merasa risih dengan sikap pemuda itu. Aku tidak menyukai tatapan
dan tingkah lakunya. Walaupun dia berusaha bersikap sopan, aku dapat melihat
sikap aslinya. Dimanapun dan bagaimanapun lelaki itu selalu mendekati wanita
jika ada maunya. Menurutku, hasrat lelaki itu terlalu kejam untuk didekati dan
diikuti.
Aku
memasukkan tasku ke bagasi mobil. Lalu aku menduduki salah satu jok mobil
pariwisata yang akan membawaku ke stasiun kereta api terbesar di New Delhi.
Aku
menyamankan posisi dudukku. Tiba-tiba seorang duduk di sebelahku. Tanpa
memerhatikan siapa yang duduk di sebelahku, aku memandang keluar mobil. Aku
melihat pemandu wisataku sedang berunding dengan supir.
“Maaf,
apakah Anda tahu sekarang sudah jam berapa ya?” tanyaku seraya menoleh ke arah
penumpang yang duduk di sebelahku.
Aku
terdiam ketika kulihat ke sebelah kananku. Aku melihat pemuda yang begitu
menyebalkan itu berada tepat di sebelah kananku.
“Anda?”
tanyaku dengan penuh keterkejutan.
“Ya,
saya. Ada masalah?” jawabnya dengan nada yang santai.
“Bukankah
Anda tidak bersama biro perjalanan kami sebelumnya?”
“Memang.
Tapi mulai hari ini sampai seterusnya, aku dan rekanku akan bersama Anda dalam
agen perjalanan ini. Ada masalah?”
“Tidak
ada. Saya hanya sedikit terkejut. Maaf.”
Aku
merasa kesal dengan takdir yang membuatku harus bersama dengan pemuda ini
sampai aku kembali ke Indonesia. Aku dapat memastikan bahwa ini akan menjadi
perjalanan terburuk seumur hidupku. Aku ingin menjauhkan diri dari pemuda yang
mengaku bernama Vino itu. Namun, ketika
kuamati semua jok sudah terisi, termasuk jok yang terletak di belakangku. Teman
dari pemuda itu menatapku dengan senyuman yang selalu terlihat polos.
“Baiklah!
Sebelum kita berangkat menuju stasiun, saya akan memeriksa apakah anggota dalam
perjalanan kita ini sudah lengkap. Ada sepuluh orang dan akan dimulai dari,
Sinta Reksana!” panggil pemandu wisata.
“Ya,”
jawabku singkat.
Pemandu
wisata melanjutkan panggilan ke nama berikutnya.
“Oh,
Sinta Reksana. Nama yang bagus,” ujar Vino setengah berbisik.
Aku
hanya diam dan bergelut dengan perasaan kesalku. Dalam hati aku menggumam dan
menyesali keadaan yang menimpaku.
“Andai
saja waktu itu aku tidak mendekati mereka dan menanyakan apakah mereka orang
Indonesia mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya,” sesalku dalam hati.
“Vino
Fahrezi!” panggil pemandu wisata.
“I’m
here,” jawabnya dengan bahasa Inggris yang terdengar kaku.
“Oh,
Anda yang agen wisatanya mengalami masalah dan harus dipindahkan ke agen kami
ya?”
“Iya,”
jawab Vino.
“Rama
Darmawan!” ujar pemandu wisata memanggil nama berikutnya.
Aku
tidak mendengar suara siapapun menyahut. Hingga akhirnya si pemandu wisata
menunjuk ke jok yang berada di belakangku seraya berkata, “Anda juga sama
dengan Tuan Vino bukan?”
“Ya,”
jawabnya singkat.
Akhirnya
aku mengetahui bahwa kedua pemuda itu bernama Vino dan Rama. Vino adalah pemuda
genit yang suka menggoda wanita, sedangkan Rama adalah pemuda yang selalu
tersenyum polos padaku. Dua pemuda ini menjadi bagian dari perjalanan yang
kuharapkan indah jika tidak ada mereka.
Perjalanan
yang tidak cukup menyenangkan itu akhirnya selesai. Stasiun terbesar di New
Delhi itu menyambut dengan keramaian yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
Stasiun itu terlihat begitu kumuh. Banyak anak-anak kecil yang terlihat tidak
terawat duduk di bagian salah satu gerbong kereta sambil bercanda. Sementara
itu kulihat di bagian atas kereta, aku melihat beberapa orang sudah duduk
menantikan laju kereta yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Sekilas aku
berpikir bahwa kondisi ini tidak jauh berbeda dengan negaraku, Indonesia. Hanya
saja pada beberapa bagian stasiun di Indonesia jauh lebih tertata dan anak-anak
yang kurang diperhatikan pemerintah itu jarang terlihat.
Pemandu
wisata memanggil-manggil anggota biro perjalanan dan meminta kami segera
memasuki gerbong kereta yang telah ditentukan. Aku menyempatkan diri untuk
mengambil foto anak-anak yang duduk di gerbong belakang kereta itu. Lalu aku
berlari menyusul rombonganku yang telah masuk terlebih dahulu.
Kereta
api itu tepat mulai bergerak perlahan ketika aku sampai di depan pintu gerbong.
Ada sebuah tangan yang terulur untuk membantuku naik. Aku menggapai tangan itu.
Tangan itu menarikku masuk ke dalam kerumunan orang yang berdiri di depan
gerbong kereta.
“Anda?
Oh, terima kasih,” ucapku sambil tersenyum saat melihat Rama berdiri di
depanku.
“Sama-sama.
Tas Anda sudah saya taruh di atas tempat duduk kita,” ucapnya.
Aku
mnegernyitkan dahi. Tasku? Kapan dia membawanya? Bukankah tadi dia di depan
pintu gerbong? Seharusnya dia baru saja masuk ke dalam kereta.
“Anda
tertarik pada anak-anak yang berada di gerbong belakang?” tanya Rama.
“Eh,
ya. Saya sangat tertarik. Saya merasa itu dapat saya jadikan bahan pemanis
dalam tulisan saya mengenai perjalanan saya di negara ini.”
“Ternyata
Anda suka menulis. Suatu saat saya pasti akan membaca tulisan Anda, terutama
tulisan mengenai perjalanan Anda di negara ini. Saya harus memastikan ada saya
dan anggota rombongan kita di dalamnya.”
“Hahaha.
Anda ini bisa saja. Nanti bisa kita atur.”
Aku
sama sekali tidak menyangka pemuda yang tersenyum polos padaku itu ternyata
berbeda dengan temannya. Dia terlihat lebih ramah dan sopan. Dia juga membuatku
merasa nyaman saat berbicara dengannya.
“Ah,
Nona Sinta, Anda kemana saja? Saya kira Anda ketinggalan kereta,” ujar pemandu
wisata ketika melihat kedatanganku dan Rama.
“Hampir
saja ketinggalan kereta kalau tidak ada yang menarik tanganku tadi,” ucapku.
“Syukurlah
kalau begitu! Oh ya, kursi Anda yang berada di sebelah Tuan Vino, di depan Tuan
Rama. Anda tidak keberatan kan untuk menempati kursi itu?” tanya pemandu
wisata.
“Tentu
saja tidak. Hanya untuk beberapa jam saja kan? Tidak seumur hidup?”
“Hahaha.
Anda ini bisa saja, Nona. Tentu saja hanya untuk beberapa jam. Kalau untuk
seumur hidup sepertinya harus ada diskusi pribadi antara pihak-pihak terkait.”
“Hahaha.
Sudahlah! Saya hanya merasa tidak tahan kalau harus berada di kursi kereta
seumur hidup dan hanya melihat dunia dari kaca itu. Rasanya dunia terlalu
sempit.”
“Anda
benar. Tapi bukankah lebih indah karena Anda ditemani oleh pemuda-pemuda tampan?”
“Ehmm.
Menurut saya lebih tampan Shah Rukh Khan,” bisikku pada pemandu wisata.
Pemandu
wisata tertawa mendengarkan kata-kataku lalu mempersilakanku duduk. Dia pergi
masih dengan senyum ramah yang sama ketika menyambutku.
Aku
menduduki kursiku. Aku tersenyum pada Rama. Kemudian kualihkan pandanganku pada
pemandangan di luar kereta. Setelah ini aku akan menginjakkan kaki di Kalka dan
berangkat kembali menuju Shimla. Sebuah perjalanan yang cukup panjang untuk
mencapai tempat impian yang indah dan bertabur salju. Namun, aku rela karena
itulah impianku.
“Sinta,
apakah kau tidak pernah melihat pemandangan seperti itu di Indonesia? Bukankah
di Indonesia juga banyak hamparan sawah dan padang rumput yang membentang
luas?” tanya Vino memecah lamunanku.
Aku
hanya diam. Aku merasa malas menjawab pertanyaan yang menurutku tidak penting
untuk dijawab.
“Rama,
Lu pernah lihat cewek cantik tapi sombong nggak? Kalau belum pernah lihat, ini
Gue tunjukkin. Orangnya ada di depan Lu,” celoteh Vino.
Rama
melihat ke arahku. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke pemandangan indah yang
tergambar di dalam kaca kereta. Dia terlihat begitu tekun mengamati pemandangan
itu.
“Nggak
ada bedanya dengan pemandangan di Indonesia, tapi memang kalau yang namanya
pemadangan itu nggak pernah ngebosenin kalau dilihat,” tukasnya tiba-tiba.
Aku
tersenyum mendengar ucapan Rama. Kupandangi wajahnya yang terlihat tenang
menatap ke arahku.
“Kok
kagak nyambung sih Lu?”
“Maaf.
Bukan karena saya sombong, tapi saya membiarkan Anda memberikan penilaian tentang
apa yang saya lakukan dan apa yang saya lihat,” ucapku tenang.
Kereta
terus melaju. Vino terus berusaha mendekatiku dengan segala cara. Mulai dari
mengajakku bertukar pikiran hingga membelikanku berbagai macam penganan yang
dijajakan oleh anak-anak kecil yang berada di dalam kereta. Sementara itu, Rama
terlihat lebih tenang. Dia hanya mengamati setiap gerak-gerik Vino dan
responku. Sikapnya itu membuatku tertarik untuk memelajari karakternya.
Dibandingkan dengan Vino, Rama lebih memunculkan banyak teka-teki. Apalagi jika
aku teringat peristiwa ketika dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam kereta.
Beribu tanya masih bersarang di benakku. Apa sebenarnya yang dia inginkan?
Bagaimana sebenarnya dirinya? Siapa sebenarnya dia?
Entahlah!
Mungkin dalam perjalananku di Shimla, aku dapat menjawab semua pertanyaanku
itu. Ehm... Itu harapan atau perkiraan ya? Susah untuk dibedakan.
***
Pagi
yang begitu indah. Kulihat banyak tumpukan salju yang berada di tanah. Hampir
di setiap sudut aku memandang, kulihat ada warna putih yang begitu lembut dan
menyampaikan udara dingin ke kulitku. Kurapatkan mantelku. Kututup mataku dan
kurasakan dinginnya udara pagi hari di Shimla.
Pemandangan
dari balkon Mitwah Cottage terlihat sangat indah di pagi hari itu. Gundukan
salju putih menjadi salah satu keindahan yang tidak pernah kudapati di
Indonesia. mungkin kondisi yang tidak jauh berbeda dapat kulihat di
negara-negara Eropa atau Jepang atau mungkin Amerika. Namun, entah mengapa aku
merasakan ada hal yang berbeda dengan India. Mungkin karena aku terlalu
menyukai India dengan segala keunikan budayanya atau mungkin aku terlalu
menikmati liburanku kali ini. Oh, andai aku dapat mengatakan bahwa ini adalah
“liburan”! Sekarang tugas-tugas observasi lapanganku yang ditemakan “liburan” oleh
atasanku terasa mulai membebani pundakku.
“Enjoy it, Sinta! This is a part of your life,” bisikku sambil menghela nafas
panjang.
“Selamat
pagi!” tegur Rama dari balkon sebelah kamarku.
“Ternyata
Anda bisa bangun sepagi ini. Bahkan, Anda sudah berdandan rapi.
Hmmm...beruntung sekali pria yang mendapatkan Anda!” sambungnya.
“Sepertinya
Anda sudah mulai ketularan rekan Anda. Sudah mulai pandai menggombal,” ucapku.
“Hahaha.
Memang itu kan jiwa seorang pria? Ngomong-ngomong, Anda mau ke mana sepagi ini?
Tempat wisata pasti belum ada yang buka.”
“Saya
mau mencari sarapan sambil melihat-lihat pemandangan daerah tempat ini.
Lagipula sarapan dari hotel ini paling juga nasi goreng dan telur mata sapi.”
“Bener
juga ya! Saya boleh ikut?”
Aku
terkejut mendengar pertanyaan Rama. Aku mengernyitkan dahiku. Aku merasa ada
perubahan yang cukup besar dari sikap pemuda itu. Dia tidak sedingin
sebelumnya. Dia terlihat lebih akrab dan mencoba mendekatkan diri.
“Rekan
Anda itu, bagaimana?” tanyaku masih dengan dahi yang mengernyit.
“Tenang
saja, Sin. Nanti akan kutinggalkan memo di meja. Dia tidak akan bangun jika
alarm-nya tidak berdering dengan keras. Bagaimana? Saya boleh ikut?”
“Hmmm.
Baiklah. Tapi saya sarankan Anda mandi terlebih dahulu.”
“It’s not be a problem. Wait me for a while!
I’ll back with my handsomeness,” ujarnya sambil mengerlingkan mata.
“Oh,
no! Your confidence is too over. OK. I’ll
wait you in lobby.”
Aku
mengambil kamera digitalku yang kuletakkan di samping tempat tidurku. Aku juga
mengambil tasku dan kupastikan dompetku sudah ada di dalamnya. Lalu
kuupasangkan sarung tanganku dan kukalungkan syal ke leherku.
“Pasti
di luar lebih dingin dari yang kubayangkan,” pikirku.
Aku
pun keluar kamar menuju lobby. Menurut perkiraanku, Rama pasti akan menyusulku
dalam waktu sekitar 15-20 menit. Apalagi
kalau menurut pengamatanku dia termasuk pria yang suka tampil necis dengan
rambut dipotong pendek hampir botak itu dan pakaian yang sederhana, tapi tetap
terlihat rapi. Aku yakin dia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbenah
diri. Oleh karena itu, kuambil sebuah majalah terbitan salah satu perusahaan di
India.
Aku
duduk di sofa panjang yang disediakan di lobby itu sambil membolak-balik
lembaran majalah yang kupegang. Baru sekitar lima menit aku melihat-lihat isi
majalah itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda berjaket hitam dengan syal
melingkar di lehernya dan sarung tangan yang terpasang di tangannya.
Penampilannya tidak jauh berbeda denganku. Bahkan, bisa kubilang senada. Warna
dan jenis kain dari pakaian yang kami pakai terlihat sama.
“Bagaimana?
Ganteng kan?” ujar Rama.
Aku
tersenyum mendengar ucapannya. Lalu aku berdiri dan berkata, “Hmmm... Saya
harus bilang apa ya? Lumayan juga.”
Dia
tertawa bagitu lepas. Kulihat raut wajahnya terlihat begitu berbeda. Kepolosan
itu masih ada di sana, tapi tidak dengan sikap dinginnya. Aku melihat ada sifat
dewasa dan bijaksana dari garis-garis wajahnya. Dia bukan tipe orang yang suka
berpikir keras untuk sesuatu hal tertentu. Ah, aku terlalu banyak membawa garis
wajahnya!
Rambutnya
yang tertata rapi. Walaupun harus kuakui bahwa setiap pria dengan potongan
rambut seperti dia pasti akan lebih mudah menata rambutnya, tidak
mengherankankalau dia terlihat rapi. Namun, aku melihat ada kedewasaan yang
begitu jelas terpancar dari penampilannya. Cara dia berdiri menunjukkan bahwa
dia tidak menyombongkan diri, tapi dia tangguh dan mampu menghadapi hal yang
sangat keras sekalipun.
“Hei!”
ujar Rama membuyarkan lamunanku.
“Kamu
naksir ya sama saya?” ucapnya dengan nada bercanda yang begitu jelas.
“Anda
ini. Ge-er banget ya!” ujarku sambil merunduk.
Aku
tidak mau kalau Rama melihat wajahku yang memerah karena malu. Aku tidak ingin
Rama tahu bahwa aku sedang membawa wataknya.
“Itu
tadi ngelihatin melulu.”
“Saya
hanya bingung kenapa penampilan Anda terlihat senada dengan saya baik itu dari
warna pakaian hingga jenis kainnya.”
“Berarti
kita jodoh dong!”bisiknya.
“Apa?”
tanyaku pura-pura tidak mendengar.
“Tidak
apa-apa. Saya hanya punya jaket, sarung tangan dan syal ini. Semuanya cuma ada
satu. Jadi ya mau nggak mau pake yang ini.”
Setelah
cukup lama saling bercanda, aku dan Rama menyusuri jalan yang melintas di depan
penginapan kami itu. Jalanan itu terlihat sepi. Mungkin sebagian besar
masyarakatnya sedang menggunakan penghangat ruangan dan bermalas-malasan di
dalam kamarnya.
Aku
melihat ada satu dua orang sedang berada di halaman rumahnya. Mungkin tidak
seperti di Indonesia yang masyarakatnya terlelu tinggi menjunjung nilai sosial,
terutama kaum ibu. Sehingga jika waktu pagi dan jam segini kebanyakan ibu di
Indonesia sedang mengobrol asyik dengan tetangganya. Entah itu untuk
membicarakan orang lain ataupun membicarakan mengenai dirinya dan keluarganya.
Ya, itulah bagian dari Indonesia-ku. Kebiasaan buruk yang sulit diubah karena
sudah mengurat nadi.
Di
sepanjang jalan, Rama tak henti-hentinya menggodaku dengan gurauannya yang
mempu membuatku tertawa lepas. Dia tidak banyak bicara, tapi sekali dia
berbicara, kata-katanya dapat membuatku mengeluarkan ekspresi yang susah
kutebak. Terkadang aku merasa malu, tapi terkadang aku merasa lucu. Ketika dia
mencoba mengeluarkan rayuan, dia terlihat begitu kaku dan lugu. Ketika aku
tertawa mendengarkan leluconnya dan melihat gaya dia berbicara, dia berkata,
“Kamu terlihat sangat cantik kalau sedang tertawa.”
Ah,
entahlah! Aku merasa begitu akrab dengan orang ini. Jalan-jalan pagi bersamanya
membuatku melihat dia sebagai pribadi yang begitu hangat. Namun, saat di dekat
temannya atau anggota rombongan lainnya, dia terlihat begitu kaku dan tegas.
Ya, mungkin dia gengsi.
Gengsi?
Buat apa dia merasa gengsi? Apa mungkin lebih tepatnya dia JAIM? Ya, kurasa
ugkapan itu lebih tepat untuknya. Dia itu jaim. Tapi apa peduliku? Aku hanya
menjalani perjalanan di negara yang begitu kusukai keunikannya.
“Sayang
sekali, tidak ada rendang,” ucapnya setengah berbisik.
Aku
kaget mendengar ucapannya. Aku pun tak dapat menahan tawaku. Aku merasa begitu
lucu mengetahui ada orang yang mencari rendang di negara Sungai Gangga ini.
“Tuan,
pernahkah Anda berpikir tentang kemungkinan orang Minang membuka rumah makan
masakan Padang di negara ini?” tanyaku kemudian.
“Hahaha.
Kamu lucu sekali, Sinta. Mana mungkin masakan padang akan laku di sini. Pasti
akan kalah dengan keju, sushi atau makanan dare negara lainnya,” ucapnya dan
kemudian menyuapkan sepotong roti jala ke dalam mulutnya.
“Kenapa
tidak mungkin?” tanyaku.
Dia
mengernyitkan dahinya sambil memandang ke arahku.
“Begini
ya. Nasi goreng itu berasal dare Indonesia dan sekarang terkenal di berbagai
negara barat. Tidak kalah beda dengan keju yang masuk dan menjadi bagian dare
makanan orang Indonesia. Kenapa tidak mungkin untuk masakan padang, terutama
rendang?
Rendang
memunyai rasa yang khas. Campuran rempah-rempah dan santan yang mengental
dengan proses pengentalan yang tidak gampang. Belum lagi kalau dipadankan
dengan sambal hijau. Hmmm. Pasti mantap banget tuh!” jelasku panjang lebar.
“Sebenarnya
kamu orang mana sih?” tanya Rama dengan ekspresi wajah yang terlihat serius.
“Saya
orang Indonesia,” tukasku.
“Maksudku,
kamu itu dare suku apa?”
“Haruskah
saya jelaskan pada Anda, Tuan?”
“Kalau
kamu nggak keberatan. Soalnya aku lihat kamu itu kenal banget sama rendang.”
“Hahahaha.
Tuan, rendang itu terkenal ke seluruh nusantara. Dare Sabang sampai Merauke,
tidak ada yang tidak kenal dengan masakan rendang, kecuali suku di pedalaman
mungkin. Tapi kalau Anda mau tahu saya dare suku apa, baiklah, saya sendiri
tidak tahu suku apa yang saya sandang. Ayah saya bersuku Batak dan ibu saya
bersuku Jawa.”
“Hm.
Aku kira kamu orang Sunda.”
“Ya,
Anda orang yang ke sekian mengatakan itu pada saya. Entah darimana orang
melihat saya mirip seperti orang Sunda, tapi yang jelas saya sedikit sensitif
jika disebut demikian.”
“Kenapa
begitu?”
“Simpel
aja sih. Sebagian orang memunyai persepsi yang buruk terhadap wanita Sunda.
Saya tidak tahu darimana asal persepsi buruk itu, tapi yang jelas saya tidak
ingin menyandang persepsi itu.”
0 komentar:
Posting Komentar