CERPEN

Tersenyum Untuk Sebuah Kemenangan
Tepat tiga tahun lalu, aku bertemu dengan beberapa orang pemuda yang tidak pernah kusangka akan mengisi sebagian perjalanan hidupku. Pemuda-pemuda itu berasal dari kalangan yang sama. Mereka merupakan benteng utama pertahanan negara. Di balik tegas dan kerasnya pendidikan yang dijalani, mereka selalu menunjukkan sikap yang ramah dan bersahabat. Aku dan keluargaku yang bukan dari kalangan berada, merasa nyaman dengan perlakuan mereka yang sopan dan menyenangkan. Kami merasa dihargai oleh mereka.
Di antara banyak pemuda yang hadir dalam waktu yang bersamaan itu, aku hanya tertarik pada seorang pemuda. Dia berkulit hitam dan berpostur tegap. Dia terlihat gagah dengan atau tanpa seragamnya. Dia begitu akrab dengan orangtua dan adik-adikku. Di balik setiap senyuman dan tatapan matanya, aku dapat melihat bahwa dia merasakan hal yang sama dengan apa yang kurasakan. Dia bernama Galang.
Namun, aku begitu bodoh. Aku memilih untuk menjalin hubungan dengan temannya yang tidak pernah memasuki pintu hatiku. Saat itu, aku hanya dapat menikmati setiap candaan dan persahabatan yang kujalin dengannya. Hingga akhirnya, waktu perpisahan itu tiba. Aku kehilangan sahabat yang mampu memasuki ruang di hatiku yang telah lama kosong.
Setahun tanpa kabar dari Galang. Hubunganku dengan temannya juga telah berakhir lama dengan menyisakan segores luka karena pengkhianatan yang tidak pernah kuharapkan terjadi padaku. Aku pun mulai berpikir untuk mencari tahu kabar tentang diri Galang. Sungguh bukan hal yang mudah. Tanpa nomor telefonnya, alamat rumahnya, dan alamat emailnya. Aku hanya mengetahui nomor Yudho, salah satu temannya, yang dapat kupastikan tidak akan memberikanku informasi apapun.
Aku pun memulai kenekatanku. Aku menghubungi Yudho dengan menggunakan alasan “salah sambung”. Percakapan via pesan singkat pun terjalin. Aku mulai mencari celah untuk menanyakan kabar Galang.
Dia pun menceritakan keadaan Galang. Sebelum mengakhiri pembicaraan kami, aku berpesan padanya untuk tidak mengatakan kepada Galang bahwa aku menanyakan kabar tentang dirinya. Namun, dia tidak menggubris pesanku. Tepat pada tanggal 19 Juni 2010, Galang menghubungiku dan komunikasi yang sempat terputus itu terjalin kembali.
Komunikasi di antara kami terjalin dengan baik walaupun telefon genggamku sempat rusak. Namun, kami tetap saling memberi kabar. Pada malam hari di tanggal 21 Juni 2010, aku dan Galang bersepakat untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Sungguh malam itu tidak akan pernah kulupakan. Malam itu merupakan sebuah malam yang paling membahagiakan dalam hidupku. Aku tidak pernah menangis bahagia sebelumnya, tapi malam itu air mata mengalir deras dalam sujudku. Aku merasa bersyukur karena Galang menyatakan perasaan yang dipendam olehnya selama dia mengenalku. Aku begitu bersyukur karena aku mendapatkan seseorang yang kuyakini dapat menjaga amanah hatiku.
Hubungan kami terus berjalan dengan kerikil yang begitu banyak dan sulit untuk dilalui. Kami sering bertengkar karena hal yang sepele. Kerapkali aku tidak dapat memahaminya. Begitupula sebaliknya, dia sering kesal dengan sikapku. Pemikiranku yang masih belum dapat berpikir dewasa dan belum pandai menjalin hubungan yang serius selalu menuntutnya untuk memberikan perhatian yang lebih, padahal aku mengetahui bahwa tugas yang dipikulnya begitu berat.
Galang bukan pemuda yang romantis dan pandai merangkai kata-kata rayuan yang indah. Namun, aku kerap kali menuntutnya untuk menjadi romantis. Dia tidak penah mengeluh, tidak pernah pula membentakku walaupun dia merasa begitu kesal padaku.
Dua minggu hubungan itu terjalin. Kerikil-kerikil itu mulai kami bangun menjadi sebuah hubungan yang begitu indah. Aku mulai belajar menjadi wanita dewasa. Aku mulai menjajaki setiap keinginannya.
Pada suatu malam, Galang menceritakan mengenai mantan pacarnya yang bernama Diana. Dia menyatakan bahwa hubungannya dengan Diana berakhir beberapa bulan sebelum kami menjalin hubungan kasih. Dia menceritakan bahwa orangtua Diana menghubungi dan meminta agar dia bertandang ke rumah Diana. Kemudian Galang meminta izin padaku untuk menemui keluarga Diana.
Aku merasa dalam posisi yang begitu sulit. Aku ingin melarang Galang pergi menemui orangtua Diana. Namun, aku merasa bahwa keputusanku untuk melarangnya merupakan hal yang paling egois.
“Nggak apa-apa kalau Abang mau ke rumah Diana. Adek cuma pesan sama Abang, tolong Abang jangan lupa kalau adek nunggu Abang di sini!” ucapku dengan nada yang tertahan.
Itulah jawabanku yang kusampaikan dengan harapan bahwa dia akan membatalkan niatnya untuk menemui orangtua Diana. Sebuah harapan yang tidak tercapai untukku. Dua hari kemudian, Galang kembali ke Bekasi, setidaknya itulah kabar yang dikatakannya. Di dalam perjalanan dia terus menghubungiku, kami pun bermesra-mesra via telefon genggam.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menunggu Galang memberi kabar padaku. Namun, satu harian tidak kudapati sebuah kabar apapun darinya. Kemudian aku dikagetkan dengan sebuah pemutusan hubungan yang tertulis di salah satu jejaring sosial. Aku terus berusaha menghubunginya dan menanyakan alasan tindakannya itu, tapi tak ada respon apapun darinya. Lalu kuminta teman kuliahku untuk menghubunginya dengan alasan “salah sambung” dan Galang langsung memberi respon dengan sikap penasaran. Sungguh hatiku merasakan sakit yang tidak dapat kugambarkan dengan kata-kata. Dia yang kupercayai mampu menjaga hatiku dan menyayangiku dengan tulus ternyata meninggalkanku tanpa alasan yang jelas.
Dua minggu kemudian, aku menyatakan kerinduanku pada Galang. Dia memberi respon ynag tidak pernah kuduga sebelumnya. Dia memberiku perhatian yang begitu terasa indah. Namun, itu hanya terjadi pada malam itu. Setidaknya dengan itu, aku semakin yakin bahwa hati Galang hanya untukku. Aku tahu bahwa aku telah menempati satu sisi hatinya dan itu tidak akan tergantikan.
Keputusan Galang yang begitu mendadak dan tanpa alasan yang jelas memang menyakitkan untukku, tetapi ada hal lain yang jauh lebih menyakitkan. Sebuah fitnah yang dilontarkan padaku. Fitnah yang menjadi cambuk untukku. Fitnah yang menguatkanku.
Tanggal 5 Agustus 2010, aku mengirimkan sebuah pesan singkat ke nomor Galang. Harapanku hanya satu yaitu Galang mengingat hari ulang tahunku pada tanggal 7 Agustus 2010. Aku mungkin patut menangis atau marah, ketika pesan singkat yang aku kirim dibalas dengan kata-kata, “Galang tidak mencintaimu. Kamu itu cuma pelariannya saja. Jangan ganggu Galang lagi! Dia itu sangat mencintaiku.”
Ya Tuhan. Andai Kau tahu rasanya hati ini, aku ingin memukul kepalaku dan berharap bahwa itu hanya mimpi buruk. Namun, aku hanya menarik nafas dan kujawab, “Maaf, kamu siapa? Kenapa nomornya Galang ada sama kamu ya? Kalau aku boleh tahu, nomornya Galang berapa?”
Walaupun wanita itu terus mencaci makiku, aku hanya bersabar hingga akhirnya aku mendapatkan nomornya Galang. Aku mencoba menghubunginya, tapi dia tidak merespon dan justru wanita itu yang kembali menghubungiku dan berkata, “Nggak direspon ya? Kasihan! Pasti mukanya merah karena malu.” Akupun hanya bisa mengelus dada.
Andaikan aku bisa menghapus memori itu, aku akan menghapusnya. Tanggal 7 Agustus 2010, temannya Galang yang merupakan mantan pacarku menghubungiku. Dia dan pacarnya memaki dan memarahiku tanpa adanya alasan yang jelas. Sepanjang pembicaraan di telefon, pacarnya memakiku dengan penuh emosi dan aku hanya tersenyum dan menjawab setiap tudingannya dengan tenang. Dia terus emosi dan mengatai aku sebagai mahasiswa yang tidak berpendidikan, wanita murahan dan berbagai cemoohan lainnya. Semua itu terasa begitu menyakitkan di telinga dan di hatiku. Namun, aku hanya tersenyum. Aku tahu bahwa dia telah kalah dengan amarahnya yang tidak terkendali.
Beberapa hari setelah itu, pacarnya Galang memaki-makiku pula. Dia mengatakan padaku bahwa aku wanita murahan yang pernah tidur dengan temannya Galang dan pernah dibayar oleh Galang untuk menemaninya selama satu malam. Dia mengatakan bahwa Galang yang menyatakan hal itu padanya.
Jika ada yang bertanya padaku, apakah aku merasa sakit hati, maka jelas aku akan menjawab aku sangat sakit hati. Namun, aku tetap tersenyum karena aku mengenal Galang. Dia tidak mungkin mengatakan hal semacam itu. Aku mengetahui bahwa wanita yang sedang dilanda emosi ini sedang berbohong. Sehingga aku tidak terlalu memikirkan fitnah yang disampaikannya padaku.
Jauh di lubuk hatiku, aku meyakini bahwa Galang akan kembali kepadaku. Namun, aku tidak ingin ketika dia kembali padaku, aku masih belum menjadi sesuatu yang patut dibanggakannya. Akupun ingin membuktikan kepada wanita yang memfitnahku bahwa aku bukanlah wanita murahan seperti yang dituduhkannya. Aku ingin menunjukkan bahwa seorang Linda yang sedang berdiri di hadapannya kelak, Linda yang pernah dicaci maki dan diremehkannya ini, dapat mengangkat dagu dan berkata, “Masihkah Anda mengenali saya?”
Itulah keinginanku. Aku tidak ingin membalas sakit hatiku dengan cara yang menyakitkan hatinya. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa setiap cemooh yang dilontarkan kepadaku itu tidak ada buktinya. Aku ingin menjadi yang terbaik untuk Galang walaupun dia telah menyakiti hatiku. Oleh karena itu, aku memperbaiki diri. Aku mengubah sikapku, penampilanku dan semangat belajarku.
Katika kekuasaan itu dipegang, musuh bisa menjadi teman dan teman akan menjadi kerabat. Aku yakin, suatu saat wanita-wanita yang memusuhiku itu akan bersikap baik padaku jika aku dapat menunjukkan bahwa aku jauh lebih baik dari yang mereka bayangkan. Aku pun meyakini Galang akan kembali padaku dan menyesali setiap kesalahan yang dilakukannya. Saat Galang menyadari betapa aku sangat menyayangi dan menerima setiap luka yang digoreskannya, tidak akan ada amarah dalam hatiku. Aku telah memaafkannya. Saat dia kembali padaku, akan kubuka lebar tanganku dan kukatakan, “Selamat datang orang lama dalam babak kehidupan yang baru!”
Hari ini aku mungkin merasakan sakit akan sebuah fitnah dan peninggalan jejak yang tak jelas alasannya oleh Galang. Namun, di dalam sakit itu, aku tetap tersenyum. Aku tersenyum untuk menunjukkan kepada dunia bahwa aku baik-baik saja dan luka itu hanya sementara. Sehingga mereka yang melukaiku lelah dan terbakar oleh amarahnya. Saat itulah sesungguhnya kemenangan telah kuraih dan mereka masuk ke dalam kekalahan yang mutlak.
Saat ini, ketika aku menulis kisah ini, aku sedang menjalin kasih dengan Galang. Tahun lalu pada bulan Oktober, dia kembali padaku dan menyatakan keseriusannya terhadapku. Aku yang masih terus dan akan terus menyimpan cinta untuknya, menerima kehadirannya dengan sepenuh hatiku. Orangtua dan sanak saudara telah mengetahui hubungan kami. Hanya tinggal menunggu waktu di mana dia kembali dari tugasnya di Pulau Papua dan aku menyelesaikan studiku. Oleh karena itu, aku meminta doa restu kepada pembaca untuk kelancaran hubungan dan rencana kami ke jenjang yang lebih serius daripada sekedar berpacaran.
Kesabaran itu memang pahit, tapi buahnya sangat manis. Oleh karena itu, bersabarlah teman! Hari ini dan kemarin dapat diisi dengan kesedihan, tapi jangan isi hari esokmu dengan air mata juga!  Aku telah merasakannya dan aku selalu meyakini semua akan indah pada waktunya. Tersenyumlah dan katakan pada dunia “Aku akan menang dengan kesakitan ini”!

Penulis (saya) bernama Erlinda Matondang dan akrab dipanggil “Er” atau “Lin”. Saya merupakan wanita berdarah batak yang lahir di tanah Jawa pada tanggal 7 Agustus 1991. Saya bertempat tinggal di Karangasem Rt. 02/02, Karangasem, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah. Saat ini, saya merupakan seorang mahasiswa di Universitas Slamet Riyadi Surakarta jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Jika ingin menghubungi saya, maka rekan-rekan dapat menghubungi saya di email saya, erlinda.maharani@yahoo.com. Beberapa karya saya baik yang berupa fiksi maupun non-fiksi dapat dilihat di erlindamatondang.blogspot.com. Namun,untuk karya ini tidak akan ditemukan di sana hanya saja rangkuman pesan singkat yang ada di dalam cerita ini dapat dilihat di karya saya yang berjudul “Sebatas SMS”.

0 komentar:

Posting Komentar