CERPEN



   
KARANGAN ERLINDA




   Sore itu begitu indah. Matahari yang condong ke barat itu terlihat masih ragu untuk menenggelamkan dirinya. Suasana yang indah itu semakin terlihat elok dengan pemandangan yang ditawarkan oleh taman kecil yang berada di depan rumah sederhana yang tertata rapi itu. Mawar merah, melati, bunga sedap malam dan bunga-bunga lainnya menghiasi taman yang hanya mengisi salah satu sudut taman. Ada beberapa kupu-kupu yang bermain-main di selip keindahan bunga-bunga di taman itu.
Di teras rumah, ada seorang wanita sedang duduk di sebuah kursi. Di sebelahnya, seorang gadis remaja sedang duduk menemaninya sembari membaca buku yang cukup tebal. Sementara itu, ada seorang pemuda yang sibuk dengan alat-alat mekaniknya, sedang duduk di undakan teras.
Wanita itu tersenyum melihat kesibukan kedua anaknya. Sinta memandangi wajah anak-anaknya yang sibuk dengan hobinya masing-masing. Rayhan yang berkulit hitam dengan paras manis, berpostur tegap dan tinggi terlihat semakin cekatan menggunakan berbagai alat-alat mekanik. Sedangkan Silfa dengan kacamata tebalnya, terlihat begitu serius membaca buku. Ya, kedua anaknya menyerupai dirinya dan suaminya.
Rayhan terlihat sama persis dengan Rama. Secara fisik, Rayhan bertubuh tegap dan tinggi, warna kulitnya hitam, rambutnya pendek hampir botak. Ya, dia seperti seorang tentara dan itulah cita-citanya, mengikuti jejak sang ayah untuk mengabdi pada negara. Hobi dan keahliannya pun sama seperti Rama. Dia senang memelajari alat-alat mekanik sama seperti Rama. Dia juga tertarik dengan berbagai jenis hewan, terutama burung. Ya, Rayhan adalah Rama muda, buah cintanya dengan Rama.
Berbeda sengan Rayhan, Silfa terlihat seperti Sinta. Kulitnya putih bersih dengan kacamata tebal yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Hobinya membaca berbagai jenis buku. Silfa, anak yang cerdas. Persis seperti ibunya, dia selalu meraih peringkat pertama di sekolahnya. Dalam setiap sambutan yang diucapkannya ketika dia meraih prestasi, Silfa selalu berkata, “Ini karena mama dan papa. I love you, Mom. I love you, Dad.
Setiap dia memandangi anak-anaknya, Sinta selalu merasa beruntung karena telah diberikan Tuhan kesempatan untuk merawat dan membesarkan anak-anak yang baik dan cerdas. Dia juga merasa beruntung karena memunyai suami yang begitu mencintainya.
“Mam! Mama!” terdengar suara teriakan dengan nada lembut dari dalam rumah.
“Di sini, Pap! Di teras!” ujar Sinta menjawab teriakan itu.
Tak lama kemudian muncul sesosok pria yang terlihat sama persis dengan Rayhan. Hanya saja pria ini terlihat jauh lebih tua daripada Rayhan.
“Ada apa, Sayang?” tanya Sinta.
“Tadi Serda David datang ke sini nggak?” tanya Rama.
“Nggak ada yang datang dari tadi pagi, Pap. Memangnya ada apa?”
“Nggak ada apa-apa. Cuma katanya Serda David mau ke sini. Mau berkunjung aja.”
“Oh. Mama kirain ada apa. Mata papa merah. Papa ngantuk ya? Kemarin semalaman nggak istirahat di pos?”
“Iya, Mam. Ngantuk banget nih! Semalaman nggak bisa tidur gara-gara teman jaga Papa kurang enak badan.”
“Ya udah, Papa tidur aja dulu. Atau mau Mama buatin teh dulu?”
“Nanti kalau Serda David datang gimana, Mam?”
“Ya entar Mama bangunin Papa. Lagipula beliaunya belum tentu jadi datang kan. Buktinya sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau beliau mau datang.”
“Kalau gitu Papa istirahat dulu ya, Sayang.”
“Nggak mau dibuatin teh dulu?”
“Nggak usah, Sayang. Nanti aja, buatin Papa nasi goreng spesial ya, tapi kalau Papa udah bangun tidur.”
“Iya, Sayang. Selamat istirahat ya!”
“Rey, jangan lupa ngasih makan si Leon ya, Nak!” ucap Rama mengingatkan.
“Siap Bos! Laksanakan!” tukas Rayhan.
Rama masuk kembali ke dalam rumah setelah mengecup kening Sinta. Silfa dan Rayhan hanya tersenyum melihat kedua orangtuanya.
Rayhan membenahi peralatan mekaniknya dan mengambil makanan burung untuk diberikan kepada Leon. Sedangkan Silfa mendekatkan diri kepada ibunya. Dia bersandar di pundak Sinta sambil memeluk manja tubuh ibunya itu.
“Silfa iri sama mama dan papa,” ucap Silfa dengan manja.
“Lho, kenapa memangnya, Sayang?” tanya Sinta dengan rasa kaget karena pernyataan anak perempuannya itu.
“Mama sama Papa itu udah puluhan tahun hidup bersama, tapi tetap mesra, saling sayang. Kapan ya Silfa bisa dapat yang benar-benar sayang sama Silfa, kayak papa sayang sama mama?”
Sinta tersenyum mendengar pertanyaan anak bungsunya itu. Dibelainya rambut Silfa dengan penuh kasih.
“Semua sudah ada waktunya, Sayang. Allah sudah mengaturnya. Jadi nggak usah dipikirin! Kalau udah waktunya, nggak perlu dicari, orang yang Silfa harapkan itu juga bakal datang,” ucap Sinta dengan nada tulus dan lembut keibuannya.
“Mam, memangnya dulu mama sama papa ketemunya gimana? Apa langsung pacaran gitu? Atau dijodohin? Apa udah ada tanda-tandanya kalau mama sama papa bakalan saling sayang sampai sekarang?” tanya Rayhan dengan raut wajah serius.
Rayhan menyimpan makanan burung yang telah ditutup kembali dengan rapi. Lalu dia duduk di tempatnya semula. Dipandanginya wajah Sinta yang masih tersenyum geli mendengar pertanyaan anaknya.
“Mam, kok nggak dijawab?” tanya Rayhan dengan nada tidak sabar.
“Kakak sich! Kayak polisi aja. Nanya aja banyaknya minta ampun!” celetuk Silfa.
“Biarin! Kan aku pengen tahu! Yeee, sirik banget sich Lu!” tukas Rayhan.
“Hai, sudah! Jangan bertengkar!” lerai Sinta masih dengan nada lembut.
“Kak Ray itu, Mam!” adu Silfa.
“Sudah! Nanti Mama nggak jadi cerita nih!”
“Iya, Mam. Rayhan diem deh. Ayo cerita, Mam!” ujar Rayhan tidak sabar.
“Sebelum Mama cerita, Rayhan harus ngeberesin semua peralatannya dan Silfa yang cantik ini harus merapikan bukunya. Mama tunggu di ruang tengah ya. Nggak enak kalau cerita di sini, entar ada yang dengar! Masa Mama mau dijadiin artis kompleks sini,” ujar Sinta membuat Silfa dan Rayhan tertawa.
Sinta menunggu di ruang tengah. dia duduk di sebuah kursi panjang yang tertata di depan televisi. Diambilnya album foto yang terletak di salah satu rak yang berada di dekat kursi tersebut. Dia tersenyum melihat-lihat isi album setebal sepuluh sentimeter itu.
Rayhan dan Silfa berlari-lari ke arah ibu mereka dari teras rumah. Walaupun usia mereka telah memasuki masa dewasa, masih sering sikap kekanak-kanakannya muncul. Silfa memeluk ibunya dan bergelayut dengan manja. Rayhan duduk di sisi yang berlawanan dengan Silfa.
“Ayo, Mam! Rayhan udah nggak sabar nih!”
Sinta tersenyum mendengar pernyataan Rayhan. Perlahan dibukanya album yang berada di pangkuannya. Sebuah foto yang sudah begitu usang terpampang di halaman paling depan. Foto itulah yang menjadi bukti pertama sejarah pertemuan dan perkenalan Sinta dan Rama, mama dan papa dari Rayhan dan Silfa.
***

New Delhi, sebuah ibukota negara yang tidak jauh lebih baik daripada Jakarta, ibukota Indonesia. Bukan karena aku seorang warga negara Indonesia. Namun, memang demikian keadaan yang kulihat. Mungkin karena adanya unsur budaya yang masih tertanam di dalam masyarakat perkotaan India. Pemakaian saree, lehenga dan berbagai jenis pakaian tradisional lainnya. Sedangkan di Jakarta, pakaian yang lebih modern dan kebarat-baratan lebih menarik minat masyarakat.
Kondisi New Delhi tidak menjadi masalah untukku. Aku masih merasakan kenyamanan yang cukup untuk membuatku betah berada di negara ini. Aku mengagumi panorama kebudayaan dan keindahan alam negara ini. Menurutku, India adalah negara yang sama besar dengan Indonesia. Walaupun jumlah penduduknya terpadat kedua di dunia dengan tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, aku meyakini kondisi India akan semakin membaik jika pemerintahnya mampu memanfaatkan sejumlah potensi yang dimilikinya. Baik itu sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya.
Aku merasa cukup beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi negara yang berada di wilayah Asia Selatan ini. Walaupun kunjunganku harus diikuti dengan pemberian beban tugas yang tidak ringan, aku merasa senang. Bagiku, mengunjungi India adalah salah satu mimpi terbesar dalam hidupku.
Penginapan yang cukup berkelas. Setidaknya penginapan yang terletak di ujung jalan utama yang berada di New Delhi ini terlihat bersih dan layak untuk dihuni. Dari kamar sederhana yang kutempati aku dapat melihat keramaian ibukota negara terpadat kedua di dunia itu. Warna-warni pakaian yang dipakai oleh penduduknya, membuat kota itu semakin terlihat menarik dari kejauhan.
“Aku hanya akan menginap sehari di kota ini, Dev. Setelah itu, aku akan ke Shimla untuk mengambil bahan untuk tulisanku. Bukankah seperti itu jadwal perjalanan yang dibuat oleh biro?” jelasku kepada Devi, temanku yang berada di Indonesia.
“Memang seperti itu yang tertulis di jadwal, tapi kan kau bisa mengulur waktu sejam atau dua jam untuk mencari pesananku itu,” ucap Devi.
“Kain saree yang berada di Shimla kan juga sama aja. Bedanya apa sih?”tanyaku setengah kesal.
“Aku hanya takut kau nggak dapat kainnya. Apalagi kalau sampai lupa.”
“OK. Aku akan membeli pesananmu, tapi setelah dari Shimla. Sebelum aku pulang ke Indonesia. Bagaimana?”
“Aku nggak mau ambil resiko kalau kau bakal lupa sama pesananku. Ayolah Sinta! Aku mohon. Please!”
“OK. Aku akan ke pasar sore ini juga. Kau puas?”
“Makasih. Kau memang teman baikku. Oh ya, jangan bohong ya! Aku bisa tahu kalau kau tidak menepati janjimu.”
“Dasar dukun! Iya, Bawel. Nanti sore aku berangkat ke pasar,” gerutuku.
Ya, begitulah Devi. Dia merupakan sahabat terbaikku. Dia memang memunyai kelebihan dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Mungkin kelebihan yang dimilikinya terlatih dengan penggunaan insting. Namun, aku hanya mengetahui bahwa dia dapat melihat apapun yang kulakukan dari jauh.
Sore hari yang begitu cerah. Pasar yang kukunjungi begitu ramai. Aku berjalan menyusuri setiap toko yang tertata rapi di pinggir jalan. Sebagian besar toko pakaian yang berjejer di pinggir jalan menjual saree dan pakaian tradisional lainnya. Bahkan, hampir semua toko pakaian menjual saree. Sehingga aku tidak kesulitan untuk mendapatkan pesanan Devi.
Selain memberi saree untuk Devi, aku juga membeli lehenga dengan warna hijau muda. Aku tertarik dengan motif dan bordir yang menghiasi pakaian dengan kain yang halus. Lehenga itu terlihat unik. Bagian atas lehenga itu berlengan pendek dengan bagian punggung terbuka. Bagian atas lehenga itu dipasang dengan ikatan-ikatan tali yang tersusun di bagian punggung. Bagian atas lehenga ini hanya menutupi dada, sedangkan bagian perut terbuka.
Bagian bawah dari pakaian tradisional India itu merupakan rok panjang dengan kain ringan yang lembut dan melebar. Di bagian ujung rok, terdapat bordiran sederhana yang cantik dan memperindah bentuk lehenga. Penampilan lehenga ini semakin lengkap dengan adanya selendang panjang yang merupakan ciri khas dari pekaian adat untuk wanita India. Selendang inilah yang menunjukkan tanggung jawab wanita India. Selendang yang dibawa oleh wanita India baik yang dikalungkan di lehernya atau yang tergantung di lengannya merupakan kehormatan. Sehingga setiap wanita harus menjaga selendang yang menjadi bagian dari pakaiannya.
GUBBBRRAAAAAAKKK!!!!
Sesosok tubuh tegap dan tinggi menabrakku. Barang-barang belanjaanku jatuh ke aspal. Aku memunguti barang-barang belanjaanku dibantu oleh seorang pemuda. Aku berdiri dan kurapikan pakaianku.
Kuangkat wajahku dan kulihat ada sesosok pemuda berkulit hitam sedang berdiri di hadapanku. Parasnya manis. Tubuhnya pun tegap. Rambutnya tertata rapi dengan potongan yang nyaris botak. Dia tersenyum padaku.
Sorry. I not deliberate,” ucapku dengan penuh senyum.
No. My friend who hit you. You’re not wrong. Anything happen to you?” tanyanya dengan sopan.
Oh, no. I’m fine.
Aku hendak beranjak pergi meninggalkan pemuda itu. Namun, langkahku terhenti ketika kudengar pemuda itu berbicara dengan temannya.
“Heh! Lu itu udah nabrak orang bukannya minta maaf malah asyik telfonan,” ucap pemuda itu.
“Kalian orang Indonesia?” tanyaku seketika.
Pemuda yang membantuku memunguti belanjaanku yang terjatuh dan juga temannya melihat ke arahku. Mereka terdiam sejenak. Keduanya saling berpandangan. Pemuda yang sedang memegang telefon genggam menutup telefonnya dan menarik mundur temannya.
“Kamu orang Indonesia juga?” tanyanya dengan penuh senyum.
Aku merasa heran dan aneh melihat tingkah laku pemuda itu. Aku hanya tersenyum lalu meninggalkan mereka. Aku tidak menyukai gelagat pemuda yang telah menabrakku.
Aku meneruskan perjalananku menyusuri salah satu pasar besar yang berada di New Delhi. Aku berniat mencari sebuah restoran. Di sebuah ujung jalan, kulihat sebuah restoran masakan India. Dengan langkah yang cepat, aku melangkah menuju restoran itu. Aku sudah tidak sabar ingin mengisi perutku dengan masakan ala negeri Sungai Gangga itu.
Namun, langkahku terhenti ketika aku menyadari bahwa ada yang mengikutiku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat kedua pemuda yang tadi kutemui berada di dekatku. Pemuda yang menabrakku pura-pura tidak melihatku, sedangkan yang satu lagi melihatku dengan senyum yang terlihat begitu polos.
Aku mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Aku melangkah kembali dengan perlahan. Aku mengalihkan perhatian mereka dengan melemparkan sebuah kancing peniti ke tiang yang berdiri tegak di pinggir jalan. Ketika kulihat melalui sebuah cermin sebuah toko, pandangan pemuda yang menabrakku beralih ke benda yang kulemparkan, sedangkan pemuda yang membantuku memunguti belanjaanku masih terus memandangiku. Aku membelok ke sebuah gang kecil dan berdiri diam di sana.
Tidak berapa lama, kedua pemuda itu melintasi gang sempit yang menjadi tempat persembunyianku. Pemuda berkulit hitam manis itu melihat ke arahku dan tersenyum. Sedangkan pemuda yang menabrakku terlihat kesal dan terus menggerutu.
Aku keluar dari tempat persembunyianku dan kembali ke tempat tujuanku, restoran masakan ala India. Rasanya perutku sudah tidak sabar untuk diisi. Aku memesan roti jala lengkap dengan bumbu karinya. Roti jala dengan bumbu kari buatan orang India sering disebut memiliki cita rasa yang berbeda dan khas. Itulah yang membuatku penasaran dan akhirnya memilih makanan ini untuk menjadi menu makanku di restoran ini.
Setelah merasa cukup kenyang, aku kembali ke penginapanku. Sebelum memasuki kamar, aku menemui pemandu wisataku untuk menanyakan jam keberangkatan ke Shimla. Aku memasuki lorong kamarku dengan santai. Kukeluarkan kunci kamar dari dalam tasku dan kubuka pintu kamarku. Ketika aku hendak masuk, terdengar perbincangan yang sangat asyik dari kamar yang terletak di dean kamarku.
“Dia begitu cantik. Kalau punya cewek kayak dia, aku pasti bahagia banget,” tukas seorang pria dari dalam kamar.
Aku hanya tersenyum mendengar suara itu.
“Orang Indonesia juga ternyata,” bisikku dalam hati.
***
Pagi yang cerah. Matahari memancarkan hangat cahayanya.aku tahu bahwa kehangatan di kota New Delhi tidak akan terasa di Shimla. Cuacanya akan sangat berbeda. Shimla merupakan wilayah dari negara India yang terletak di sekitar Pegunungan Himalaya. Wilayah ini diselimuti salju sepanjang tahun. Sehingga jaket dan syal akan sangat diperlukan untuk menghangatkan tubuh. Akupun mengeluarkan jaket dan syal-ku dari dalam koper dan kuletakkan di tas yang tidak akan kuletakkan di dalam bagasi mobil.
Setelah aku selesai menata diri dan barang-barangku, aku keluar menuju lobi penginapan. Aku terdiam sejenak ketika aku melihat kedua pemuda yang kutemui di pasar kemarin sore sedang membawa koper besar dan keluar dari kamar yang terletak di depan kamarku. Pemuda berkulit hitam yang membantuku memungut belanjaanku yang terjatuh melihat ke arahku dengan ekspresi terkejut. Lalu dia tersenyum padaku. Dia tidak berjalan mendekatiku. Dia hanya diam di tempatnya sambil terus tersenyum dengan senyuman polos yang sama seperti yang kulihat saat pertama kali bertemu.
Setelah mengunci kamarnya, teman dari pemuda itu berbalik dan melihat ke arahku. Ada senyum yang mengembang di wajahnya. Senyum yang sama dengan senyuman yang membuatku ketakutan. Dia mendekatiku dengan langkah tegap.
“Aku Vino. Boleh aku tahu nama kamu?” tanyanya dengan nada yang terdengar sopan.
“Maaf, saya rasa Anda tidak perlu mengetahui nama saya. Permisi!” tukasku.
“Eits, Nona. Kita sama-sama turis di sini. Sama-sama dari Indonesia. tidak ada salahnya kan kalau kita saling mengenal,” ujarnya sambil menghalangi langkahku.
“Seperti yang sudah saya katakan tadi. Saya merasa Anda tidak perlu mengetahui nama saya,” ucapku tegas sambil berlalu dari hadapannya
Aku sempat mendengar suaranya memanggilku dengan sebutan “nona”. Namun, aku tidak menoleh. Aku merasa risih dengan sikap pemuda itu. Aku tidak menyukai tatapan dan tingkah lakunya. Walaupun dia berusaha bersikap sopan, aku dapat melihat sikap aslinya. Dimanapun dan bagaimanapun lelaki itu selalu mendekati wanita jika ada maunya. Menurutku, hasrat lelaki itu terlalu kejam untuk didekati dan diikuti.
Aku memasukkan tasku ke bagasi mobil. Lalu aku menduduki salah satu jok mobil pariwisata yang akan membawaku ke stasiun kereta api terbesar di New Delhi.
Aku menyamankan posisi dudukku. Tiba-tiba seorang duduk di sebelahku. Tanpa memerhatikan siapa yang duduk di sebelahku, aku memandang keluar mobil. Aku melihat pemandu wisataku sedang berunding dengan supir.
“Maaf, apakah Anda tahu sekarang sudah jam berapa ya?” tanyaku seraya menoleh ke arah penumpang yang duduk di sebelahku.
Aku terdiam ketika kulihat ke sebelah kananku. Aku melihat pemuda yang begitu menyebalkan itu berada tepat di sebelah kananku.
“Anda?” tanyaku dengan penuh keterkejutan.
“Ya, saya. Ada masalah?” jawabnya dengan nada yang santai.
“Bukankah Anda tidak bersama biro perjalanan kami sebelumnya?”
“Memang. Tapi mulai hari ini sampai seterusnya, aku dan rekanku akan bersama Anda dalam agen perjalanan ini. Ada masalah?”
“Tidak ada. Saya hanya sedikit terkejut. Maaf.”
Aku merasa kesal dengan takdir yang membuatku harus bersama dengan pemuda ini sampai aku kembali ke Indonesia. Aku dapat memastikan bahwa ini akan menjadi perjalanan terburuk seumur hidupku. Aku ingin menjauhkan diri dari pemuda yang mengaku bernama Vino itu.  Namun, ketika kuamati semua jok sudah terisi, termasuk jok yang terletak di belakangku. Teman dari pemuda itu menatapku dengan senyuman yang selalu terlihat polos.
“Baiklah! Sebelum kita berangkat menuju stasiun, saya akan memeriksa apakah anggota dalam perjalanan kita ini sudah lengkap. Ada sepuluh orang dan akan dimulai dari, Sinta Reksana!” panggil pemandu wisata.
“Ya,” jawabku singkat.
Pemandu wisata melanjutkan panggilan ke nama berikutnya.
“Oh, Sinta Reksana. Nama yang bagus,” ujar Vino setengah berbisik.
Aku hanya diam dan bergelut dengan perasaan kesalku. Dalam hati aku menggumam dan menyesali keadaan yang menimpaku.
“Andai saja waktu itu aku tidak mendekati mereka dan menanyakan apakah mereka orang Indonesia mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya,” sesalku dalam hati.
“Vino Fahrezi!” panggil pemandu wisata.
“I’m here,” jawabnya dengan bahasa Inggris yang terdengar kaku.
“Oh, Anda yang agen wisatanya mengalami masalah dan harus dipindahkan ke agen kami ya?”
“Iya,” jawab Vino.
“Rama Darmawan!” ujar pemandu wisata memanggil nama berikutnya.
Aku tidak mendengar suara siapapun menyahut. Hingga akhirnya si pemandu wisata menunjuk ke jok yang berada di belakangku seraya berkata, “Anda juga sama dengan Tuan Vino bukan?”
“Ya,” jawabnya singkat.
Akhirnya aku mengetahui bahwa kedua pemuda itu bernama Vino dan Rama. Vino adalah pemuda genit yang suka menggoda wanita, sedangkan Rama adalah pemuda yang selalu tersenyum polos padaku. Dua pemuda ini menjadi bagian dari perjalanan yang kuharapkan indah jika tidak ada mereka.
Perjalanan yang tidak cukup menyenangkan itu akhirnya selesai. Stasiun terbesar di New Delhi itu menyambut dengan keramaian yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Stasiun itu terlihat begitu kumuh. Banyak anak-anak kecil yang terlihat tidak terawat duduk di bagian salah satu gerbong kereta sambil bercanda. Sementara itu kulihat di bagian atas kereta, aku melihat beberapa orang sudah duduk menantikan laju kereta yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Sekilas aku berpikir bahwa kondisi ini tidak jauh berbeda dengan negaraku, Indonesia. Hanya saja pada beberapa bagian stasiun di Indonesia jauh lebih tertata dan anak-anak yang kurang diperhatikan pemerintah itu jarang terlihat.
Pemandu wisata memanggil-manggil anggota biro perjalanan dan meminta kami segera memasuki gerbong kereta yang telah ditentukan. Aku menyempatkan diri untuk mengambil foto anak-anak yang duduk di gerbong belakang kereta itu. Lalu aku berlari menyusul rombonganku yang telah masuk terlebih dahulu.
Kereta api itu tepat mulai bergerak perlahan ketika aku sampai di depan pintu gerbong. Ada sebuah tangan yang terulur untuk membantuku naik. Aku menggapai tangan itu. Tangan itu menarikku masuk ke dalam kerumunan orang yang berdiri di depan gerbong kereta.
“Anda? Oh, terima kasih,” ucapku sambil tersenyum saat melihat Rama berdiri di depanku.
“Sama-sama. Tas Anda sudah saya taruh di atas tempat duduk kita,” ucapnya.
Aku mnegernyitkan dahi. Tasku? Kapan dia membawanya? Bukankah tadi dia di depan pintu gerbong? Seharusnya dia baru saja masuk ke dalam kereta.
“Anda tertarik pada anak-anak yang berada di gerbong belakang?” tanya Rama.
“Eh, ya. Saya sangat tertarik. Saya merasa itu dapat saya jadikan bahan pemanis dalam tulisan saya mengenai perjalanan saya di negara ini.”
“Ternyata Anda suka menulis. Suatu saat saya pasti akan membaca tulisan Anda, terutama tulisan mengenai perjalanan Anda di negara ini. Saya harus memastikan ada saya dan anggota rombongan kita di dalamnya.”
“Hahaha. Anda ini bisa saja. Nanti bisa kita atur.”
Aku sama sekali tidak menyangka pemuda yang tersenyum polos padaku itu ternyata berbeda dengan temannya. Dia terlihat lebih ramah dan sopan. Dia juga membuatku merasa nyaman saat berbicara dengannya.
“Ah, Nona Sinta, Anda kemana saja? Saya kira Anda ketinggalan kereta,” ujar pemandu wisata ketika melihat kedatanganku dan Rama.
“Hampir saja ketinggalan kereta kalau tidak ada yang menarik tanganku tadi,” ucapku.
“Syukurlah kalau begitu! Oh ya, kursi Anda yang berada di sebelah Tuan Vino, di depan Tuan Rama. Anda tidak keberatan kan untuk menempati kursi itu?” tanya pemandu wisata.
“Tentu saja tidak. Hanya untuk beberapa jam saja kan? Tidak seumur hidup?”
“Hahaha. Anda ini bisa saja, Nona. Tentu saja hanya untuk beberapa jam. Kalau untuk seumur hidup sepertinya harus ada diskusi pribadi antara pihak-pihak terkait.”
“Hahaha. Sudahlah! Saya hanya merasa tidak tahan kalau harus berada di kursi kereta seumur hidup dan hanya melihat dunia dari kaca itu. Rasanya dunia terlalu sempit.”
“Anda benar. Tapi bukankah lebih indah karena Anda ditemani oleh pemuda-pemuda tampan?”
“Ehmm. Menurut saya lebih tampan Shah Rukh Khan,” bisikku pada pemandu wisata.
Pemandu wisata tertawa mendengarkan kata-kataku lalu mempersilakanku duduk. Dia pergi masih dengan senyum ramah yang sama ketika menyambutku.
Aku menduduki kursiku. Aku tersenyum pada Rama. Kemudian kualihkan pandanganku pada pemandangan di luar kereta. Setelah ini aku akan menginjakkan kaki di Kalka dan berangkat kembali menuju Shimla. Sebuah perjalanan yang cukup panjang untuk mencapai tempat impian yang indah dan bertabur salju. Namun, aku rela karena itulah impianku.
“Sinta, apakah kau tidak pernah melihat pemandangan seperti itu di Indonesia? Bukankah di Indonesia juga banyak hamparan sawah dan padang rumput yang membentang luas?” tanya Vino memecah lamunanku.
Aku hanya diam. Aku merasa malas menjawab pertanyaan yang menurutku tidak penting untuk dijawab.
“Rama, Lu pernah lihat cewek cantik tapi sombong nggak? Kalau belum pernah lihat, ini Gue tunjukkin. Orangnya ada di depan Lu,” celoteh Vino.
Rama melihat ke arahku. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke pemandangan indah yang tergambar di dalam kaca kereta. Dia terlihat begitu tekun mengamati pemandangan itu.
“Nggak ada bedanya dengan pemandangan di Indonesia, tapi memang kalau yang namanya pemadangan itu nggak pernah ngebosenin kalau dilihat,” tukasnya tiba-tiba.
Aku tersenyum mendengar ucapan Rama. Kupandangi wajahnya yang terlihat tenang menatap ke arahku.
“Kok kagak nyambung sih Lu?”
“Maaf. Bukan karena saya sombong, tapi saya membiarkan Anda memberikan penilaian tentang apa yang saya lakukan dan apa yang saya lihat,” ucapku tenang.
Kereta terus melaju. Vino terus berusaha mendekatiku dengan segala cara. Mulai dari mengajakku bertukar pikiran hingga membelikanku berbagai macam penganan yang dijajakan oleh anak-anak kecil yang berada di dalam kereta. Sementara itu, Rama terlihat lebih tenang. Dia hanya mengamati setiap gerak-gerik Vino dan responku. Sikapnya itu membuatku tertarik untuk memelajari karakternya. Dibandingkan dengan Vino, Rama lebih memunculkan banyak teka-teki. Apalagi jika aku teringat peristiwa ketika dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam kereta. Beribu tanya masih bersarang di benakku. Apa sebenarnya yang dia inginkan? Bagaimana sebenarnya dirinya? Siapa sebenarnya dia?
Entahlah! Mungkin dalam perjalananku di Shimla, aku dapat menjawab semua pertanyaanku itu. Ehm... Itu harapan atau perkiraan ya? Susah untuk dibedakan.
***
Pagi yang begitu indah. Kulihat banyak tumpukan salju yang berada di tanah. Hampir di setiap sudut aku memandang, kulihat ada warna putih yang begitu lembut dan menyampaikan udara dingin ke kulitku. Kurapatkan mantelku. Kututup mataku dan kurasakan dinginnya udara pagi hari di Shimla.
Pemandangan dari balkon Mitwah Cottage terlihat sangat indah di pagi hari itu. Gundukan salju putih menjadi salah satu keindahan yang tidak pernah kudapati di Indonesia. mungkin kondisi yang tidak jauh berbeda dapat kulihat di negara-negara Eropa atau Jepang atau mungkin Amerika. Namun, entah mengapa aku merasakan ada hal yang berbeda dengan India. Mungkin karena aku terlalu menyukai India dengan segala keunikan budayanya atau mungkin aku terlalu menikmati liburanku kali ini. Oh, andai aku dapat mengatakan bahwa ini adalah “liburan”! Sekarang tugas-tugas observasi lapanganku yang ditemakan “liburan” oleh atasanku terasa mulai membebani pundakku.
Enjoy it, Sinta! This is a part of your life,” bisikku sambil menghela nafas panjang.
“Selamat pagi!” tegur Rama dari balkon sebelah kamarku.
“Ternyata Anda bisa bangun sepagi ini. Bahkan, Anda sudah berdandan rapi. Hmmm...beruntung sekali pria yang mendapatkan Anda!” sambungnya.
“Sepertinya Anda sudah mulai ketularan rekan Anda. Sudah mulai pandai menggombal,” ucapku.
“Hahaha. Memang itu kan jiwa seorang pria? Ngomong-ngomong, Anda mau ke mana sepagi ini? Tempat wisata pasti belum ada yang buka.”
“Saya mau mencari sarapan sambil melihat-lihat pemandangan daerah tempat ini. Lagipula sarapan dari hotel ini paling juga nasi goreng dan telur mata sapi.”
“Bener juga ya! Saya boleh ikut?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan Rama. Aku mengernyitkan dahiku. Aku merasa ada perubahan yang cukup besar dari sikap pemuda itu. Dia tidak sedingin sebelumnya. Dia terlihat lebih akrab dan mencoba mendekatkan diri.
“Rekan Anda itu, bagaimana?” tanyaku masih dengan dahi yang mengernyit.
“Tenang saja, Sin. Nanti akan kutinggalkan memo di meja. Dia tidak akan bangun jika alarm-nya tidak berdering dengan keras. Bagaimana? Saya boleh ikut?”
“Hmmm. Baiklah. Tapi saya sarankan Anda mandi terlebih dahulu.”
It’s not be a problem. Wait me for a while! I’ll back with my handsomeness,” ujarnya sambil mengerlingkan mata.
“Oh, no! Your confidence is too over. OK. I’ll wait you in lobby.”
Aku mengambil kamera digitalku yang kuletakkan di samping tempat tidurku. Aku juga mengambil tasku dan kupastikan dompetku sudah ada di dalamnya. Lalu kuupasangkan sarung tanganku dan kukalungkan syal ke leherku.
“Pasti di luar lebih dingin dari yang kubayangkan,” pikirku.
Aku pun keluar kamar menuju lobby. Menurut perkiraanku, Rama pasti akan menyusulku dalam waktu sekitar  15-20 menit. Apalagi kalau menurut pengamatanku dia termasuk pria yang suka tampil necis dengan rambut dipotong pendek hampir botak itu dan pakaian yang sederhana, tapi tetap terlihat rapi. Aku yakin dia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbenah diri. Oleh karena itu, kuambil sebuah majalah terbitan salah satu perusahaan di India.
Aku duduk di sofa panjang yang disediakan di lobby itu sambil membolak-balik lembaran majalah yang kupegang. Baru sekitar lima menit aku melihat-lihat isi majalah itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda berjaket hitam dengan syal melingkar di lehernya dan sarung tangan yang terpasang di tangannya. Penampilannya tidak jauh berbeda denganku. Bahkan, bisa kubilang senada. Warna dan jenis kain dari pakaian yang kami pakai terlihat sama.
“Bagaimana? Ganteng kan?” ujar Rama.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Lalu aku berdiri dan berkata, “Hmmm... Saya harus bilang apa ya? Lumayan juga.”
Dia tertawa bagitu lepas. Kulihat raut wajahnya terlihat begitu berbeda. Kepolosan itu masih ada di sana, tapi tidak dengan sikap dinginnya. Aku melihat ada sifat dewasa dan bijaksana dari garis-garis wajahnya. Dia bukan tipe orang yang suka berpikir keras untuk sesuatu hal tertentu. Ah, aku terlalu banyak membawa garis wajahnya!
Rambutnya yang tertata rapi. Walaupun harus kuakui bahwa setiap pria dengan potongan rambut seperti dia pasti akan lebih mudah menata rambutnya, tidak mengherankankalau dia terlihat rapi. Namun, aku melihat ada kedewasaan yang begitu jelas terpancar dari penampilannya. Cara dia berdiri menunjukkan bahwa dia tidak menyombongkan diri, tapi dia tangguh dan mampu menghadapi hal yang sangat keras sekalipun.
“Hei!” ujar Rama membuyarkan lamunanku.
“Kamu naksir ya sama saya?” ucapnya dengan nada bercanda yang begitu jelas.
“Anda ini. Ge-er banget ya!” ujarku sambil merunduk.
Aku tidak mau kalau Rama melihat wajahku yang memerah karena malu. Aku tidak ingin Rama tahu bahwa aku sedang membawa wataknya.
“Itu tadi ngelihatin melulu.”
“Saya hanya bingung kenapa penampilan Anda terlihat senada dengan saya baik itu dari warna pakaian hingga jenis kainnya.”
“Berarti kita jodoh dong!”bisiknya.
“Apa?” tanyaku pura-pura tidak mendengar.
“Tidak apa-apa. Saya hanya punya jaket, sarung tangan dan syal ini. Semuanya cuma ada satu. Jadi ya mau nggak mau pake yang ini.”
Setelah cukup lama saling bercanda, aku dan Rama menyusuri jalan yang melintas di depan penginapan kami itu. Jalanan itu terlihat sepi. Mungkin sebagian besar masyarakatnya sedang menggunakan penghangat ruangan dan bermalas-malasan di dalam kamarnya.
Aku melihat ada satu dua orang sedang berada di halaman rumahnya. Mungkin tidak seperti di Indonesia yang masyarakatnya terlelu tinggi menjunjung nilai sosial, terutama kaum ibu. Sehingga jika waktu pagi dan jam segini kebanyakan ibu di Indonesia sedang mengobrol asyik dengan tetangganya. Entah itu untuk membicarakan orang lain ataupun membicarakan mengenai dirinya dan keluarganya. Ya, itulah bagian dari Indonesia-ku. Kebiasaan buruk yang sulit diubah karena sudah mengurat nadi.
Di sepanjang jalan, Rama tak henti-hentinya menggodaku dengan gurauannya yang mempu membuatku tertawa lepas. Dia tidak banyak bicara, tapi sekali dia berbicara, kata-katanya dapat membuatku mengeluarkan ekspresi yang susah kutebak. Terkadang aku merasa malu, tapi terkadang aku merasa lucu. Ketika dia mencoba mengeluarkan rayuan, dia terlihat begitu kaku dan lugu. Ketika aku tertawa mendengarkan leluconnya dan melihat gaya dia berbicara, dia berkata, “Kamu terlihat sangat cantik kalau sedang tertawa.”
Ah, entahlah! Aku merasa begitu akrab dengan orang ini. Jalan-jalan pagi bersamanya membuatku melihat dia sebagai pribadi yang begitu hangat. Namun, saat di dekat temannya atau anggota rombongan lainnya, dia terlihat begitu kaku dan tegas. Ya, mungkin dia gengsi.
Gengsi? Buat apa dia merasa gengsi? Apa mungkin lebih tepatnya dia JAIM? Ya, kurasa ugkapan itu lebih tepat untuknya. Dia itu jaim. Tapi apa peduliku? Aku hanya menjalani perjalanan di negara yang begitu kusukai keunikannya.
“Sayang sekali, tidak ada rendang,” ucapnya setengah berbisik.
Aku kaget mendengar ucapannya. Aku pun tak dapat menahan tawaku. Aku merasa begitu lucu mengetahui ada orang yang mencari rendang di negara Sungai Gangga ini.
“Tuan, pernahkah Anda berpikir tentang kemungkinan orang Minang membuka rumah makan masakan Padang di negara ini?” tanyaku kemudian.
“Hahaha. Kamu lucu sekali, Sinta. Mana mungkin masakan padang akan laku di sini. Pasti akan kalah dengan keju, sushi atau makanan dare negara lainnya,” ucapnya dan kemudian menyuapkan sepotong roti jala ke dalam mulutnya.
“Kenapa tidak mungkin?” tanyaku.
Dia mengernyitkan dahinya sambil memandang ke arahku.
“Begini ya. Nasi goreng itu berasal dare Indonesia dan sekarang terkenal di berbagai negara barat. Tidak kalah beda dengan keju yang masuk dan menjadi bagian dare makanan orang Indonesia. Kenapa tidak mungkin untuk masakan padang, terutama rendang?
Rendang memunyai rasa yang khas. Campuran rempah-rempah dan santan yang mengental dengan proses pengentalan yang tidak gampang. Belum lagi kalau dipadankan dengan sambal hijau. Hmmm. Pasti mantap banget tuh!” jelasku panjang lebar.
“Sebenarnya kamu orang mana sih?” tanya Rama dengan ekspresi wajah yang terlihat serius.
“Saya orang Indonesia,” tukasku.
“Maksudku, kamu itu dare suku apa?”
“Haruskah saya jelaskan pada Anda, Tuan?”
“Kalau kamu nggak keberatan. Soalnya aku lihat kamu itu kenal banget sama rendang.”
“Hahahaha. Tuan, rendang itu terkenal ke seluruh nusantara. Dare Sabang sampai Merauke, tidak ada yang tidak kenal dengan masakan rendang, kecuali suku di pedalaman mungkin. Tapi kalau Anda mau tahu saya dare suku apa, baiklah, saya sendiri tidak tahu suku apa yang saya sandang. Ayah saya bersuku Batak dan ibu saya bersuku Jawa.”
“Hm. Aku kira kamu orang Sunda.”
“Ya, Anda orang yang ke sekian mengatakan itu pada saya. Entah darimana orang melihat saya mirip seperti orang Sunda, tapi yang jelas saya sedikit sensitif jika disebut demikian.”
“Kenapa begitu?”
“Simpel aja sih. Sebagian orang memunyai persepsi yang buruk terhadap wanita Sunda. Saya tidak tahu darimana asal persepsi buruk itu, tapi yang jelas saya tidak ingin menyandang persepsi itu.”

    





Text Box:      Text Box:      Text Box:



Sore itu begitu indah. Matahari yang condong ke barat itu terlihat masih ragu untuk menenggelamkan dirinya. Suasana yang indah itu semakin terlihat elok dengan pemandangan yang ditawarkan oleh taman kecil yang berada di depan rumah sederhana yang tertata rapi itu. Mawar merah, melati, bunga sedap malam dan bunga-bunga lainnya menghiasi taman yang hanya mengisi salah satu sudut taman. Ada beberapa kupu-kupu yang bermain-main di selip keindahan bunga-bunga di taman itu.
Di teras rumah, ada seorang wanita sedang duduk di sebuah kursi. Di sebelahnya, seorang gadis remaja sedang duduk menemaninya sembari membaca buku yang cukup tebal. Sementara itu, ada seorang pemuda yang sibuk dengan alat-alat mekaniknya, sedang duduk di undakan teras.
Wanita itu tersenyum melihat kesibukan kedua anaknya. Sinta memandangi wajah anak-anaknya yang sibuk dengan hobinya masing-masing. Rayhan yang berkulit hitam dengan paras manis, berpostur tegap dan tinggi terlihat semakin cekatan menggunakan berbagai alat-alat mekanik. Sedangkan Silfa dengan kacamata tebalnya, terlihat begitu serius membaca buku. Ya, kedua anaknya menyerupai dirinya dan suaminya.
Rayhan terlihat sama persis dengan Rama. Secara fisik, Rayhan bertubuh tegap dan tinggi, warna kulitnya hitam, rambutnya pendek hampir botak. Ya, dia seperti seorang tentara dan itulah cita-citanya, mengikuti jejak sang ayah untuk mengabdi pada negara. Hobi dan keahliannya pun sama seperti Rama. Dia senang memelajari alat-alat mekanik sama seperti Rama. Dia juga tertarik dengan berbagai jenis hewan, terutama burung. Ya, Rayhan adalah Rama muda, buah cintanya dengan Rama.
Berbeda sengan Rayhan, Silfa terlihat seperti Sinta. Kulitnya putih bersih dengan kacamata tebal yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Hobinya membaca berbagai jenis buku. Silfa, anak yang cerdas. Persis seperti ibunya, dia selalu meraih peringkat pertama di sekolahnya. Dalam setiap sambutan yang diucapkannya ketika dia meraih prestasi, Silfa selalu berkata, “Ini karena mama dan papa. I love you, Mom. I love you, Dad.
Setiap dia memandangi anak-anaknya, Sinta selalu merasa beruntung karena telah diberikan Tuhan kesempatan untuk merawat dan membesarkan anak-anak yang baik dan cerdas. Dia juga merasa beruntung karena memunyai suami yang begitu mencintainya.
“Mam! Mama!” terdengar suara teriakan dengan nada lembut dari dalam rumah.
“Di sini, Pap! Di teras!” ujar Sinta menjawab teriakan itu.
Tak lama kemudian muncul sesosok pria yang terlihat sama persis dengan Rayhan. Hanya saja pria ini terlihat jauh lebih tua daripada Rayhan.
“Ada apa, Sayang?” tanya Sinta.
“Tadi Serda David datang ke sini nggak?” tanya Rama.
“Nggak ada yang datang dari tadi pagi, Pap. Memangnya ada apa?”
“Nggak ada apa-apa. Cuma katanya Serda David mau ke sini. Mau berkunjung aja.”
“Oh. Mama kirain ada apa. Mata papa merah. Papa ngantuk ya? Kemarin semalaman nggak istirahat di pos?”
“Iya, Mam. Ngantuk banget nih! Semalaman nggak bisa tidur gara-gara teman jaga Papa kurang enak badan.”
“Ya udah, Papa tidur aja dulu. Atau mau Mama buatin teh dulu?”
“Nanti kalau Serda David datang gimana, Mam?”
“Ya entar Mama bangunin Papa. Lagipula beliaunya belum tentu jadi datang kan. Buktinya sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau beliau mau datang.”
“Kalau gitu Papa istirahat dulu ya, Sayang.”
“Nggak mau dibuatin teh dulu?”
“Nggak usah, Sayang. Nanti aja, buatin Papa nasi goreng spesial ya, tapi kalau Papa udah bangun tidur.”
“Iya, Sayang. Selamat istirahat ya!”
“Rey, jangan lupa ngasih makan si Leon ya, Nak!” ucap Rama mengingatkan.
“Siap Bos! Laksanakan!” tukas Rayhan.
Rama masuk kembali ke dalam rumah setelah mengecup kening Sinta. Silfa dan Rayhan hanya tersenyum melihat kedua orangtuanya.
Rayhan membenahi peralatan mekaniknya dan mengambil makanan burung untuk diberikan kepada Leon. Sedangkan Silfa mendekatkan diri kepada ibunya. Dia bersandar di pundak Sinta sambil memeluk manja tubuh ibunya itu.
“Silfa iri sama mama dan papa,” ucap Silfa dengan manja.
“Lho, kenapa memangnya, Sayang?” tanya Sinta dengan rasa kaget karena pernyataan anak perempuannya itu.
“Mama sama Papa itu udah puluhan tahun hidup bersama, tapi tetap mesra, saling sayang. Kapan ya Silfa bisa dapat yang benar-benar sayang sama Silfa, kayak papa sayang sama mama?”
Sinta tersenyum mendengar pertanyaan anak bungsunya itu. Dibelainya rambut Silfa dengan penuh kasih.
“Semua sudah ada waktunya, Sayang. Allah sudah mengaturnya. Jadi nggak usah dipikirin! Kalau udah waktunya, nggak perlu dicari, orang yang Silfa harapkan itu juga bakal datang,” ucap Sinta dengan nada tulus dan lembut keibuannya.
“Mam, memangnya dulu mama sama papa ketemunya gimana? Apa langsung pacaran gitu? Atau dijodohin? Apa udah ada tanda-tandanya kalau mama sama papa bakalan saling sayang sampai sekarang?” tanya Rayhan dengan raut wajah serius.
Rayhan menyimpan makanan burung yang telah ditutup kembali dengan rapi. Lalu dia duduk di tempatnya semula. Dipandanginya wajah Sinta yang masih tersenyum geli mendengar pertanyaan anaknya.
“Mam, kok nggak dijawab?” tanya Rayhan dengan nada tidak sabar.
“Kakak sich! Kayak polisi aja. Nanya aja banyaknya minta ampun!” celetuk Silfa.
“Biarin! Kan aku pengen tahu! Yeee, sirik banget sich Lu!” tukas Rayhan.
“Hai, sudah! Jangan bertengkar!” lerai Sinta masih dengan nada lembut.
“Kak Ray itu, Mam!” adu Silfa.
“Sudah! Nanti Mama nggak jadi cerita nih!”
“Iya, Mam. Rayhan diem deh. Ayo cerita, Mam!” ujar Rayhan tidak sabar.
“Sebelum Mama cerita, Rayhan harus ngeberesin semua peralatannya dan Silfa yang cantik ini harus merapikan bukunya. Mama tunggu di ruang tengah ya. Nggak enak kalau cerita di sini, entar ada yang dengar! Masa Mama mau dijadiin artis kompleks sini,” ujar Sinta membuat Silfa dan Rayhan tertawa.
Sinta menunggu di ruang tengah. dia duduk di sebuah kursi panjang yang tertata di depan televisi. Diambilnya album foto yang terletak di salah satu rak yang berada di dekat kursi tersebut. Dia tersenyum melihat-lihat isi album setebal sepuluh sentimeter itu.
Rayhan dan Silfa berlari-lari ke arah ibu mereka dari teras rumah. Walaupun usia mereka telah memasuki masa dewasa, masih sering sikap kekanak-kanakannya muncul. Silfa memeluk ibunya dan bergelayut dengan manja. Rayhan duduk di sisi yang berlawanan dengan Silfa.
“Ayo, Mam! Rayhan udah nggak sabar nih!”
Sinta tersenyum mendengar pernyataan Rayhan. Perlahan dibukanya album yang berada di pangkuannya. Sebuah foto yang sudah begitu usang terpampang di halaman paling depan. Foto itulah yang menjadi bukti pertama sejarah pertemuan dan perkenalan Sinta dan Rama, mama dan papa dari Rayhan dan Silfa.
***

New Delhi, sebuah ibukota negara yang tidak jauh lebih baik daripada Jakarta, ibukota Indonesia. Bukan karena aku seorang warga negara Indonesia. Namun, memang demikian keadaan yang kulihat. Mungkin karena adanya unsur budaya yang masih tertanam di dalam masyarakat perkotaan India. Pemakaian saree, lehenga dan berbagai jenis pakaian tradisional lainnya. Sedangkan di Jakarta, pakaian yang lebih modern dan kebarat-baratan lebih menarik minat masyarakat.
Kondisi New Delhi tidak menjadi masalah untukku. Aku masih merasakan kenyamanan yang cukup untuk membuatku betah berada di negara ini. Aku mengagumi panorama kebudayaan dan keindahan alam negara ini. Menurutku, India adalah negara yang sama besar dengan Indonesia. Walaupun jumlah penduduknya terpadat kedua di dunia dengan tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, aku meyakini kondisi India akan semakin membaik jika pemerintahnya mampu memanfaatkan sejumlah potensi yang dimilikinya. Baik itu sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya.
Aku merasa cukup beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi negara yang berada di wilayah Asia Selatan ini. Walaupun kunjunganku harus diikuti dengan pemberian beban tugas yang tidak ringan, aku merasa senang. Bagiku, mengunjungi India adalah salah satu mimpi terbesar dalam hidupku.
Penginapan yang cukup berkelas. Setidaknya penginapan yang terletak di ujung jalan utama yang berada di New Delhi ini terlihat bersih dan layak untuk dihuni. Dari kamar sederhana yang kutempati aku dapat melihat keramaian ibukota negara terpadat kedua di dunia itu. Warna-warni pakaian yang dipakai oleh penduduknya, membuat kota itu semakin terlihat menarik dari kejauhan.
“Aku hanya akan menginap sehari di kota ini, Dev. Setelah itu, aku akan ke Shimla untuk mengambil bahan untuk tulisanku. Bukankah seperti itu jadwal perjalanan yang dibuat oleh biro?” jelasku kepada Devi, temanku yang berada di Indonesia.
“Memang seperti itu yang tertulis di jadwal, tapi kan kau bisa mengulur waktu sejam atau dua jam untuk mencari pesananku itu,” ucap Devi.
“Kain saree yang berada di Shimla kan juga sama aja. Bedanya apa sih?”tanyaku setengah kesal.
“Aku hanya takut kau nggak dapat kainnya. Apalagi kalau sampai lupa.”
“OK. Aku akan membeli pesananmu, tapi setelah dari Shimla. Sebelum aku pulang ke Indonesia. Bagaimana?”
“Aku nggak mau ambil resiko kalau kau bakal lupa sama pesananku. Ayolah Sinta! Aku mohon. Please!”
“OK. Aku akan ke pasar sore ini juga. Kau puas?”
“Makasih. Kau memang teman baikku. Oh ya, jangan bohong ya! Aku bisa tahu kalau kau tidak menepati janjimu.”
“Dasar dukun! Iya, Bawel. Nanti sore aku berangkat ke pasar,” gerutuku.
Ya, begitulah Devi. Dia merupakan sahabat terbaikku. Dia memang memunyai kelebihan dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Mungkin kelebihan yang dimilikinya terlatih dengan penggunaan insting. Namun, aku hanya mengetahui bahwa dia dapat melihat apapun yang kulakukan dari jauh.
Sore hari yang begitu cerah. Pasar yang kukunjungi begitu ramai. Aku berjalan menyusuri setiap toko yang tertata rapi di pinggir jalan. Sebagian besar toko pakaian yang berjejer di pinggir jalan menjual saree dan pakaian tradisional lainnya. Bahkan, hampir semua toko pakaian menjual saree. Sehingga aku tidak kesulitan untuk mendapatkan pesanan Devi.
Selain memberi saree untuk Devi, aku juga membeli lehenga dengan warna hijau muda. Aku tertarik dengan motif dan bordir yang menghiasi pakaian dengan kain yang halus. Lehenga itu terlihat unik. Bagian atas lehenga itu berlengan pendek dengan bagian punggung terbuka. Bagian atas lehenga itu dipasang dengan ikatan-ikatan tali yang tersusun di bagian punggung. Bagian atas lehenga ini hanya menutupi dada, sedangkan bagian perut terbuka.
Bagian bawah dari pakaian tradisional India itu merupakan rok panjang dengan kain ringan yang lembut dan melebar. Di bagian ujung rok, terdapat bordiran sederhana yang cantik dan memperindah bentuk lehenga. Penampilan lehenga ini semakin lengkap dengan adanya selendang panjang yang merupakan ciri khas dari pekaian adat untuk wanita India. Selendang inilah yang menunjukkan tanggung jawab wanita India. Selendang yang dibawa oleh wanita India baik yang dikalungkan di lehernya atau yang tergantung di lengannya merupakan kehormatan. Sehingga setiap wanita harus menjaga selendang yang menjadi bagian dari pakaiannya.
GUBBBRRAAAAAAKKK!!!!
Sesosok tubuh tegap dan tinggi menabrakku. Barang-barang belanjaanku jatuh ke aspal. Aku memunguti barang-barang belanjaanku dibantu oleh seorang pemuda. Aku berdiri dan kurapikan pakaianku.
Kuangkat wajahku dan kulihat ada sesosok pemuda berkulit hitam sedang berdiri di hadapanku. Parasnya manis. Tubuhnya pun tegap. Rambutnya tertata rapi dengan potongan yang nyaris botak. Dia tersenyum padaku.
Sorry. I not deliberate,” ucapku dengan penuh senyum.
No. My friend who hit you. You’re not wrong. Anything happen to you?” tanyanya dengan sopan.
Oh, no. I’m fine.
Aku hendak beranjak pergi meninggalkan pemuda itu. Namun, langkahku terhenti ketika kudengar pemuda itu berbicara dengan temannya.
“Heh! Lu itu udah nabrak orang bukannya minta maaf malah asyik telfonan,” ucap pemuda itu.
“Kalian orang Indonesia?” tanyaku seketika.
Pemuda yang membantuku memunguti belanjaanku yang terjatuh dan juga temannya melihat ke arahku. Mereka terdiam sejenak. Keduanya saling berpandangan. Pemuda yang sedang memegang telefon genggam menutup telefonnya dan menarik mundur temannya.
“Kamu orang Indonesia juga?” tanyanya dengan penuh senyum.
Aku merasa heran dan aneh melihat tingkah laku pemuda itu. Aku hanya tersenyum lalu meninggalkan mereka. Aku tidak menyukai gelagat pemuda yang telah menabrakku.
Aku meneruskan perjalananku menyusuri salah satu pasar besar yang berada di New Delhi. Aku berniat mencari sebuah restoran. Di sebuah ujung jalan, kulihat sebuah restoran masakan India. Dengan langkah yang cepat, aku melangkah menuju restoran itu. Aku sudah tidak sabar ingin mengisi perutku dengan masakan ala negeri Sungai Gangga itu.
Namun, langkahku terhenti ketika aku menyadari bahwa ada yang mengikutiku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat kedua pemuda yang tadi kutemui berada di dekatku. Pemuda yang menabrakku pura-pura tidak melihatku, sedangkan yang satu lagi melihatku dengan senyum yang terlihat begitu polos.
Aku mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Aku melangkah kembali dengan perlahan. Aku mengalihkan perhatian mereka dengan melemparkan sebuah kancing peniti ke tiang yang berdiri tegak di pinggir jalan. Ketika kulihat melalui sebuah cermin sebuah toko, pandangan pemuda yang menabrakku beralih ke benda yang kulemparkan, sedangkan pemuda yang membantuku memunguti belanjaanku masih terus memandangiku. Aku membelok ke sebuah gang kecil dan berdiri diam di sana.
Tidak berapa lama, kedua pemuda itu melintasi gang sempit yang menjadi tempat persembunyianku. Pemuda berkulit hitam manis itu melihat ke arahku dan tersenyum. Sedangkan pemuda yang menabrakku terlihat kesal dan terus menggerutu.
Aku keluar dari tempat persembunyianku dan kembali ke tempat tujuanku, restoran masakan ala India. Rasanya perutku sudah tidak sabar untuk diisi. Aku memesan roti jala lengkap dengan bumbu karinya. Roti jala dengan bumbu kari buatan orang India sering disebut memiliki cita rasa yang berbeda dan khas. Itulah yang membuatku penasaran dan akhirnya memilih makanan ini untuk menjadi menu makanku di restoran ini.
Setelah merasa cukup kenyang, aku kembali ke penginapanku. Sebelum memasuki kamar, aku menemui pemandu wisataku untuk menanyakan jam keberangkatan ke Shimla. Aku memasuki lorong kamarku dengan santai. Kukeluarkan kunci kamar dari dalam tasku dan kubuka pintu kamarku. Ketika aku hendak masuk, terdengar perbincangan yang sangat asyik dari kamar yang terletak di dean kamarku.
“Dia begitu cantik. Kalau punya cewek kayak dia, aku pasti bahagia banget,” tukas seorang pria dari dalam kamar.
Aku hanya tersenyum mendengar suara itu.
“Orang Indonesia juga ternyata,” bisikku dalam hati.
***
Pagi yang cerah. Matahari memancarkan hangat cahayanya.aku tahu bahwa kehangatan di kota New Delhi tidak akan terasa di Shimla. Cuacanya akan sangat berbeda. Shimla merupakan wilayah dari negara India yang terletak di sekitar Pegunungan Himalaya. Wilayah ini diselimuti salju sepanjang tahun. Sehingga jaket dan syal akan sangat diperlukan untuk menghangatkan tubuh. Akupun mengeluarkan jaket dan syal-ku dari dalam koper dan kuletakkan di tas yang tidak akan kuletakkan di dalam bagasi mobil.
Setelah aku selesai menata diri dan barang-barangku, aku keluar menuju lobi penginapan. Aku terdiam sejenak ketika aku melihat kedua pemuda yang kutemui di pasar kemarin sore sedang membawa koper besar dan keluar dari kamar yang terletak di depan kamarku. Pemuda berkulit hitam yang membantuku memungut belanjaanku yang terjatuh melihat ke arahku dengan ekspresi terkejut. Lalu dia tersenyum padaku. Dia tidak berjalan mendekatiku. Dia hanya diam di tempatnya sambil terus tersenyum dengan senyuman polos yang sama seperti yang kulihat saat pertama kali bertemu.
Setelah mengunci kamarnya, teman dari pemuda itu berbalik dan melihat ke arahku. Ada senyum yang mengembang di wajahnya. Senyum yang sama dengan senyuman yang membuatku ketakutan. Dia mendekatiku dengan langkah tegap.
“Aku Vino. Boleh aku tahu nama kamu?” tanyanya dengan nada yang terdengar sopan.
“Maaf, saya rasa Anda tidak perlu mengetahui nama saya. Permisi!” tukasku.
“Eits, Nona. Kita sama-sama turis di sini. Sama-sama dari Indonesia. tidak ada salahnya kan kalau kita saling mengenal,” ujarnya sambil menghalangi langkahku.
“Seperti yang sudah saya katakan tadi. Saya merasa Anda tidak perlu mengetahui nama saya,” ucapku tegas sambil berlalu dari hadapannya
Aku sempat mendengar suaranya memanggilku dengan sebutan “nona”. Namun, aku tidak menoleh. Aku merasa risih dengan sikap pemuda itu. Aku tidak menyukai tatapan dan tingkah lakunya. Walaupun dia berusaha bersikap sopan, aku dapat melihat sikap aslinya. Dimanapun dan bagaimanapun lelaki itu selalu mendekati wanita jika ada maunya. Menurutku, hasrat lelaki itu terlalu kejam untuk didekati dan diikuti.
Aku memasukkan tasku ke bagasi mobil. Lalu aku menduduki salah satu jok mobil pariwisata yang akan membawaku ke stasiun kereta api terbesar di New Delhi.
Aku menyamankan posisi dudukku. Tiba-tiba seorang duduk di sebelahku. Tanpa memerhatikan siapa yang duduk di sebelahku, aku memandang keluar mobil. Aku melihat pemandu wisataku sedang berunding dengan supir.
“Maaf, apakah Anda tahu sekarang sudah jam berapa ya?” tanyaku seraya menoleh ke arah penumpang yang duduk di sebelahku.
Aku terdiam ketika kulihat ke sebelah kananku. Aku melihat pemuda yang begitu menyebalkan itu berada tepat di sebelah kananku.
“Anda?” tanyaku dengan penuh keterkejutan.
“Ya, saya. Ada masalah?” jawabnya dengan nada yang santai.
“Bukankah Anda tidak bersama biro perjalanan kami sebelumnya?”
“Memang. Tapi mulai hari ini sampai seterusnya, aku dan rekanku akan bersama Anda dalam agen perjalanan ini. Ada masalah?”
“Tidak ada. Saya hanya sedikit terkejut. Maaf.”
Aku merasa kesal dengan takdir yang membuatku harus bersama dengan pemuda ini sampai aku kembali ke Indonesia. Aku dapat memastikan bahwa ini akan menjadi perjalanan terburuk seumur hidupku. Aku ingin menjauhkan diri dari pemuda yang mengaku bernama Vino itu.  Namun, ketika kuamati semua jok sudah terisi, termasuk jok yang terletak di belakangku. Teman dari pemuda itu menatapku dengan senyuman yang selalu terlihat polos.
“Baiklah! Sebelum kita berangkat menuju stasiun, saya akan memeriksa apakah anggota dalam perjalanan kita ini sudah lengkap. Ada sepuluh orang dan akan dimulai dari, Sinta Reksana!” panggil pemandu wisata.
“Ya,” jawabku singkat.
Pemandu wisata melanjutkan panggilan ke nama berikutnya.
“Oh, Sinta Reksana. Nama yang bagus,” ujar Vino setengah berbisik.
Aku hanya diam dan bergelut dengan perasaan kesalku. Dalam hati aku menggumam dan menyesali keadaan yang menimpaku.
“Andai saja waktu itu aku tidak mendekati mereka dan menanyakan apakah mereka orang Indonesia mungkin tidak akan seperti ini kejadiannya,” sesalku dalam hati.
“Vino Fahrezi!” panggil pemandu wisata.
“I’m here,” jawabnya dengan bahasa Inggris yang terdengar kaku.
“Oh, Anda yang agen wisatanya mengalami masalah dan harus dipindahkan ke agen kami ya?”
“Iya,” jawab Vino.
“Rama Darmawan!” ujar pemandu wisata memanggil nama berikutnya.
Aku tidak mendengar suara siapapun menyahut. Hingga akhirnya si pemandu wisata menunjuk ke jok yang berada di belakangku seraya berkata, “Anda juga sama dengan Tuan Vino bukan?”
“Ya,” jawabnya singkat.
Akhirnya aku mengetahui bahwa kedua pemuda itu bernama Vino dan Rama. Vino adalah pemuda genit yang suka menggoda wanita, sedangkan Rama adalah pemuda yang selalu tersenyum polos padaku. Dua pemuda ini menjadi bagian dari perjalanan yang kuharapkan indah jika tidak ada mereka.
Perjalanan yang tidak cukup menyenangkan itu akhirnya selesai. Stasiun terbesar di New Delhi itu menyambut dengan keramaian yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Stasiun itu terlihat begitu kumuh. Banyak anak-anak kecil yang terlihat tidak terawat duduk di bagian salah satu gerbong kereta sambil bercanda. Sementara itu kulihat di bagian atas kereta, aku melihat beberapa orang sudah duduk menantikan laju kereta yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Sekilas aku berpikir bahwa kondisi ini tidak jauh berbeda dengan negaraku, Indonesia. Hanya saja pada beberapa bagian stasiun di Indonesia jauh lebih tertata dan anak-anak yang kurang diperhatikan pemerintah itu jarang terlihat.
Pemandu wisata memanggil-manggil anggota biro perjalanan dan meminta kami segera memasuki gerbong kereta yang telah ditentukan. Aku menyempatkan diri untuk mengambil foto anak-anak yang duduk di gerbong belakang kereta itu. Lalu aku berlari menyusul rombonganku yang telah masuk terlebih dahulu.
Kereta api itu tepat mulai bergerak perlahan ketika aku sampai di depan pintu gerbong. Ada sebuah tangan yang terulur untuk membantuku naik. Aku menggapai tangan itu. Tangan itu menarikku masuk ke dalam kerumunan orang yang berdiri di depan gerbong kereta.
“Anda? Oh, terima kasih,” ucapku sambil tersenyum saat melihat Rama berdiri di depanku.
“Sama-sama. Tas Anda sudah saya taruh di atas tempat duduk kita,” ucapnya.
Aku mnegernyitkan dahi. Tasku? Kapan dia membawanya? Bukankah tadi dia di depan pintu gerbong? Seharusnya dia baru saja masuk ke dalam kereta.
“Anda tertarik pada anak-anak yang berada di gerbong belakang?” tanya Rama.
“Eh, ya. Saya sangat tertarik. Saya merasa itu dapat saya jadikan bahan pemanis dalam tulisan saya mengenai perjalanan saya di negara ini.”
“Ternyata Anda suka menulis. Suatu saat saya pasti akan membaca tulisan Anda, terutama tulisan mengenai perjalanan Anda di negara ini. Saya harus memastikan ada saya dan anggota rombongan kita di dalamnya.”
“Hahaha. Anda ini bisa saja. Nanti bisa kita atur.”
Aku sama sekali tidak menyangka pemuda yang tersenyum polos padaku itu ternyata berbeda dengan temannya. Dia terlihat lebih ramah dan sopan. Dia juga membuatku merasa nyaman saat berbicara dengannya.
“Ah, Nona Sinta, Anda kemana saja? Saya kira Anda ketinggalan kereta,” ujar pemandu wisata ketika melihat kedatanganku dan Rama.
“Hampir saja ketinggalan kereta kalau tidak ada yang menarik tanganku tadi,” ucapku.
“Syukurlah kalau begitu! Oh ya, kursi Anda yang berada di sebelah Tuan Vino, di depan Tuan Rama. Anda tidak keberatan kan untuk menempati kursi itu?” tanya pemandu wisata.
“Tentu saja tidak. Hanya untuk beberapa jam saja kan? Tidak seumur hidup?”
“Hahaha. Anda ini bisa saja, Nona. Tentu saja hanya untuk beberapa jam. Kalau untuk seumur hidup sepertinya harus ada diskusi pribadi antara pihak-pihak terkait.”
“Hahaha. Sudahlah! Saya hanya merasa tidak tahan kalau harus berada di kursi kereta seumur hidup dan hanya melihat dunia dari kaca itu. Rasanya dunia terlalu sempit.”
“Anda benar. Tapi bukankah lebih indah karena Anda ditemani oleh pemuda-pemuda tampan?”
“Ehmm. Menurut saya lebih tampan Shah Rukh Khan,” bisikku pada pemandu wisata.
Pemandu wisata tertawa mendengarkan kata-kataku lalu mempersilakanku duduk. Dia pergi masih dengan senyum ramah yang sama ketika menyambutku.
Aku menduduki kursiku. Aku tersenyum pada Rama. Kemudian kualihkan pandanganku pada pemandangan di luar kereta. Setelah ini aku akan menginjakkan kaki di Kalka dan berangkat kembali menuju Shimla. Sebuah perjalanan yang cukup panjang untuk mencapai tempat impian yang indah dan bertabur salju. Namun, aku rela karena itulah impianku.
“Sinta, apakah kau tidak pernah melihat pemandangan seperti itu di Indonesia? Bukankah di Indonesia juga banyak hamparan sawah dan padang rumput yang membentang luas?” tanya Vino memecah lamunanku.
Aku hanya diam. Aku merasa malas menjawab pertanyaan yang menurutku tidak penting untuk dijawab.
“Rama, Lu pernah lihat cewek cantik tapi sombong nggak? Kalau belum pernah lihat, ini Gue tunjukkin. Orangnya ada di depan Lu,” celoteh Vino.
Rama melihat ke arahku. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke pemandangan indah yang tergambar di dalam kaca kereta. Dia terlihat begitu tekun mengamati pemandangan itu.
“Nggak ada bedanya dengan pemandangan di Indonesia, tapi memang kalau yang namanya pemadangan itu nggak pernah ngebosenin kalau dilihat,” tukasnya tiba-tiba.
Aku tersenyum mendengar ucapan Rama. Kupandangi wajahnya yang terlihat tenang menatap ke arahku.
“Kok kagak nyambung sih Lu?”
“Maaf. Bukan karena saya sombong, tapi saya membiarkan Anda memberikan penilaian tentang apa yang saya lakukan dan apa yang saya lihat,” ucapku tenang.
Kereta terus melaju. Vino terus berusaha mendekatiku dengan segala cara. Mulai dari mengajakku bertukar pikiran hingga membelikanku berbagai macam penganan yang dijajakan oleh anak-anak kecil yang berada di dalam kereta. Sementara itu, Rama terlihat lebih tenang. Dia hanya mengamati setiap gerak-gerik Vino dan responku. Sikapnya itu membuatku tertarik untuk memelajari karakternya. Dibandingkan dengan Vino, Rama lebih memunculkan banyak teka-teki. Apalagi jika aku teringat peristiwa ketika dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam kereta. Beribu tanya masih bersarang di benakku. Apa sebenarnya yang dia inginkan? Bagaimana sebenarnya dirinya? Siapa sebenarnya dia?
Entahlah! Mungkin dalam perjalananku di Shimla, aku dapat menjawab semua pertanyaanku itu. Ehm... Itu harapan atau perkiraan ya? Susah untuk dibedakan.
***
Pagi yang begitu indah. Kulihat banyak tumpukan salju yang berada di tanah. Hampir di setiap sudut aku memandang, kulihat ada warna putih yang begitu lembut dan menyampaikan udara dingin ke kulitku. Kurapatkan mantelku. Kututup mataku dan kurasakan dinginnya udara pagi hari di Shimla.
Pemandangan dari balkon Mitwah Cottage terlihat sangat indah di pagi hari itu. Gundukan salju putih menjadi salah satu keindahan yang tidak pernah kudapati di Indonesia. mungkin kondisi yang tidak jauh berbeda dapat kulihat di negara-negara Eropa atau Jepang atau mungkin Amerika. Namun, entah mengapa aku merasakan ada hal yang berbeda dengan India. Mungkin karena aku terlalu menyukai India dengan segala keunikan budayanya atau mungkin aku terlalu menikmati liburanku kali ini. Oh, andai aku dapat mengatakan bahwa ini adalah “liburan”! Sekarang tugas-tugas observasi lapanganku yang ditemakan “liburan” oleh atasanku terasa mulai membebani pundakku.
Enjoy it, Sinta! This is a part of your life,” bisikku sambil menghela nafas panjang.
“Selamat pagi!” tegur Rama dari balkon sebelah kamarku.
“Ternyata Anda bisa bangun sepagi ini. Bahkan, Anda sudah berdandan rapi. Hmmm...beruntung sekali pria yang mendapatkan Anda!” sambungnya.
“Sepertinya Anda sudah mulai ketularan rekan Anda. Sudah mulai pandai menggombal,” ucapku.
“Hahaha. Memang itu kan jiwa seorang pria? Ngomong-ngomong, Anda mau ke mana sepagi ini? Tempat wisata pasti belum ada yang buka.”
“Saya mau mencari sarapan sambil melihat-lihat pemandangan daerah tempat ini. Lagipula sarapan dari hotel ini paling juga nasi goreng dan telur mata sapi.”
“Bener juga ya! Saya boleh ikut?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan Rama. Aku mengernyitkan dahiku. Aku merasa ada perubahan yang cukup besar dari sikap pemuda itu. Dia tidak sedingin sebelumnya. Dia terlihat lebih akrab dan mencoba mendekatkan diri.
“Rekan Anda itu, bagaimana?” tanyaku masih dengan dahi yang mengernyit.
“Tenang saja, Sin. Nanti akan kutinggalkan memo di meja. Dia tidak akan bangun jika alarm-nya tidak berdering dengan keras. Bagaimana? Saya boleh ikut?”
“Hmmm. Baiklah. Tapi saya sarankan Anda mandi terlebih dahulu.”
It’s not be a problem. Wait me for a while! I’ll back with my handsomeness,” ujarnya sambil mengerlingkan mata.
“Oh, no! Your confidence is too over. OK. I’ll wait you in lobby.”
Aku mengambil kamera digitalku yang kuletakkan di samping tempat tidurku. Aku juga mengambil tasku dan kupastikan dompetku sudah ada di dalamnya. Lalu kuupasangkan sarung tanganku dan kukalungkan syal ke leherku.
“Pasti di luar lebih dingin dari yang kubayangkan,” pikirku.
Aku pun keluar kamar menuju lobby. Menurut perkiraanku, Rama pasti akan menyusulku dalam waktu sekitar  15-20 menit. Apalagi kalau menurut pengamatanku dia termasuk pria yang suka tampil necis dengan rambut dipotong pendek hampir botak itu dan pakaian yang sederhana, tapi tetap terlihat rapi. Aku yakin dia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbenah diri. Oleh karena itu, kuambil sebuah majalah terbitan salah satu perusahaan di India.
Aku duduk di sofa panjang yang disediakan di lobby itu sambil membolak-balik lembaran majalah yang kupegang. Baru sekitar lima menit aku melihat-lihat isi majalah itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda berjaket hitam dengan syal melingkar di lehernya dan sarung tangan yang terpasang di tangannya. Penampilannya tidak jauh berbeda denganku. Bahkan, bisa kubilang senada. Warna dan jenis kain dari pakaian yang kami pakai terlihat sama.
“Bagaimana? Ganteng kan?” ujar Rama.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Lalu aku berdiri dan berkata, “Hmmm... Saya harus bilang apa ya? Lumayan juga.”
Dia tertawa bagitu lepas. Kulihat raut wajahnya terlihat begitu berbeda. Kepolosan itu masih ada di sana, tapi tidak dengan sikap dinginnya. Aku melihat ada sifat dewasa dan bijaksana dari garis-garis wajahnya. Dia bukan tipe orang yang suka berpikir keras untuk sesuatu hal tertentu. Ah, aku terlalu banyak membawa garis wajahnya!
Rambutnya yang tertata rapi. Walaupun harus kuakui bahwa setiap pria dengan potongan rambut seperti dia pasti akan lebih mudah menata rambutnya, tidak mengherankankalau dia terlihat rapi. Namun, aku melihat ada kedewasaan yang begitu jelas terpancar dari penampilannya. Cara dia berdiri menunjukkan bahwa dia tidak menyombongkan diri, tapi dia tangguh dan mampu menghadapi hal yang sangat keras sekalipun.
“Hei!” ujar Rama membuyarkan lamunanku.
“Kamu naksir ya sama saya?” ucapnya dengan nada bercanda yang begitu jelas.
“Anda ini. Ge-er banget ya!” ujarku sambil merunduk.
Aku tidak mau kalau Rama melihat wajahku yang memerah karena malu. Aku tidak ingin Rama tahu bahwa aku sedang membawa wataknya.
“Itu tadi ngelihatin melulu.”
“Saya hanya bingung kenapa penampilan Anda terlihat senada dengan saya baik itu dari warna pakaian hingga jenis kainnya.”
“Berarti kita jodoh dong!”bisiknya.
“Apa?” tanyaku pura-pura tidak mendengar.
“Tidak apa-apa. Saya hanya punya jaket, sarung tangan dan syal ini. Semuanya cuma ada satu. Jadi ya mau nggak mau pake yang ini.”
Setelah cukup lama saling bercanda, aku dan Rama menyusuri jalan yang melintas di depan penginapan kami itu. Jalanan itu terlihat sepi. Mungkin sebagian besar masyarakatnya sedang menggunakan penghangat ruangan dan bermalas-malasan di dalam kamarnya.
Aku melihat ada satu dua orang sedang berada di halaman rumahnya. Mungkin tidak seperti di Indonesia yang masyarakatnya terlelu tinggi menjunjung nilai sosial, terutama kaum ibu. Sehingga jika waktu pagi dan jam segini kebanyakan ibu di Indonesia sedang mengobrol asyik dengan tetangganya. Entah itu untuk membicarakan orang lain ataupun membicarakan mengenai dirinya dan keluarganya. Ya, itulah bagian dari Indonesia-ku. Kebiasaan buruk yang sulit diubah karena sudah mengurat nadi.
Di sepanjang jalan, Rama tak henti-hentinya menggodaku dengan gurauannya yang mempu membuatku tertawa lepas. Dia tidak banyak bicara, tapi sekali dia berbicara, kata-katanya dapat membuatku mengeluarkan ekspresi yang susah kutebak. Terkadang aku merasa malu, tapi terkadang aku merasa lucu. Ketika dia mencoba mengeluarkan rayuan, dia terlihat begitu kaku dan lugu. Ketika aku tertawa mendengarkan leluconnya dan melihat gaya dia berbicara, dia berkata, “Kamu terlihat sangat cantik kalau sedang tertawa.”
Ah, entahlah! Aku merasa begitu akrab dengan orang ini. Jalan-jalan pagi bersamanya membuatku melihat dia sebagai pribadi yang begitu hangat. Namun, saat di dekat temannya atau anggota rombongan lainnya, dia terlihat begitu kaku dan tegas. Ya, mungkin dia gengsi.
Gengsi? Buat apa dia merasa gengsi? Apa mungkin lebih tepatnya dia JAIM? Ya, kurasa ugkapan itu lebih tepat untuknya. Dia itu jaim. Tapi apa peduliku? Aku hanya menjalani perjalanan di negara yang begitu kusukai keunikannya.
“Sayang sekali, tidak ada rendang,” ucapnya setengah berbisik.
Aku kaget mendengar ucapannya. Aku pun tak dapat menahan tawaku. Aku merasa begitu lucu mengetahui ada orang yang mencari rendang di negara Sungai Gangga ini.
“Tuan, pernahkah Anda berpikir tentang kemungkinan orang Minang membuka rumah makan masakan Padang di negara ini?” tanyaku kemudian.
“Hahaha. Kamu lucu sekali, Sinta. Mana mungkin masakan padang akan laku di sini. Pasti akan kalah dengan keju, sushi atau makanan dare negara lainnya,” ucapnya dan kemudian menyuapkan sepotong roti jala ke dalam mulutnya.
“Kenapa tidak mungkin?” tanyaku.
Dia mengernyitkan dahinya sambil memandang ke arahku.
“Begini ya. Nasi goreng itu berasal dare Indonesia dan sekarang terkenal di berbagai negara barat. Tidak kalah beda dengan keju yang masuk dan menjadi bagian dare makanan orang Indonesia. Kenapa tidak mungkin untuk masakan padang, terutama rendang?
Rendang memunyai rasa yang khas. Campuran rempah-rempah dan santan yang mengental dengan proses pengentalan yang tidak gampang. Belum lagi kalau dipadankan dengan sambal hijau. Hmmm. Pasti mantap banget tuh!” jelasku panjang lebar.
“Sebenarnya kamu orang mana sih?” tanya Rama dengan ekspresi wajah yang terlihat serius.
“Saya orang Indonesia,” tukasku.
“Maksudku, kamu itu dare suku apa?”
“Haruskah saya jelaskan pada Anda, Tuan?”
“Kalau kamu nggak keberatan. Soalnya aku lihat kamu itu kenal banget sama rendang.”
“Hahahaha. Tuan, rendang itu terkenal ke seluruh nusantara. Dare Sabang sampai Merauke, tidak ada yang tidak kenal dengan masakan rendang, kecuali suku di pedalaman mungkin. Tapi kalau Anda mau tahu saya dare suku apa, baiklah, saya sendiri tidak tahu suku apa yang saya sandang. Ayah saya bersuku Batak dan ibu saya bersuku Jawa.”
“Hm. Aku kira kamu orang Sunda.”
“Ya, Anda orang yang ke sekian mengatakan itu pada saya. Entah darimana orang melihat saya mirip seperti orang Sunda, tapi yang jelas saya sedikit sensitif jika disebut demikian.”
“Kenapa begitu?”
“Simpel aja sih. Sebagian orang memunyai persepsi yang buruk terhadap wanita Sunda. Saya tidak tahu darimana asal persepsi buruk itu, tapi yang jelas saya tidak ingin menyandang persepsi itu.”

0 komentar:

Posting Komentar