CERPEN

BEFORE MARRIAGE


Pernikahan tidak hanya mengikat dua insan dalam satu ikatan, tetapi juga mengikat dua keluarga yang berbeda.

Erlinda Matondang
4 Juli 2012



HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk yang terkasih, orangtuaku , adik-adikku dan kekasihku. Semoga ini dapat menggambarkan betapa aku sangat menyayangi kalian.


















BAGIAN I
Aku masih duduk di sebuah kursi yang berada di ruang tunggu bandara Adi Sumarmo. Mataku mengelilingi ruangan itu. Aku masih menunggu kedatangan orang yang paling kunantikan selama tiga tahun ini. Dia adalah kekasih hatiku, Galang Novangga.
Hatiku terasa tidak menentu. Aku merasa gelisah, tidak sabar sekaligus malu untuk bertemu dengannya. Rasanya sudah terlalu lama aku tidak melihat wajah pemuda yang paling kucintai dalam hidupku. Jarak yang memisahkan kami terasa sudah terlalu menyiksaku. Inilah mimpiku. Sebuah pertemuan yang indah dengan orang yang sangat kusayangi setelah sekian lama kami berpisah.
Sudah tiga tahun, aku tidak melihat dirinya. hanya kudengar suaranya melalui telefon. Aku hanya dapat memandangi foto-fotonya di jejaring sosial. Bukan sebuah perjalanan hubungan yang mulus. Aku sering bertengkar dengannya, tapi pertengkaran itu tak lantas membuatku membencinya. Rasa rinduku tidak pernah berubah. Aku selalu menunggu dan terus menunggu saat pertemuan kami menjadi sebuah kenyataan.
Galang berhasil mendapatkan izin pindah tugas dari Biak ke Jakarta. Jarak kami semakin dekat. Namun, pertemuan yang belum menjadi nyata itu membuat semuanya terasa hambar. Hari ini, Galang berjanji akan mengunjungiku di Solo. Janji akan sebuah pertemuan itu akan menjadi nyata. Aku merasa begitu bahagia menyadari bahwa impianku akan menjadi sebuah kenyataan.
Detik demi detik terus berlalu. Aku masih terus menunggu dengan sabar. Mataku masih terus mencari-cari sesosok pria bertubuh tegap dengan kulit hitam dan seragam kebanggaannya. Aku meyakini bahwa dia akan datang. Aku meyakini bahwa Galang tidak akan mengingkari janjinya.
Aku terdiam. Aku tak bisa berkata apapun ketika kulihat sesosok pemuda dengan seragam loreng dan baret jingga terpasang rapi di kepalanya. Dia membawa tas ransel yang cukup besar. Sungguh lidahku kelu hendak berkata. Rasanya dadaku sesak dipenuhi oleh kebahagiaan. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Aku tahu kalau yang menghubungiku adalah Galang karena di saat yang sama aku melihat dia sedang menelefon sambil memandang ke sekeliling ruangan seperti sedang mencari-cari seseorang.
“Di depanmu,” ucapku perlahan setelah itu kumatikan telefonnya.
Kami saling bertatapan dari kejauhan. Perlahan aku melangkah mendekatinya. Begitupula dengan dirinya. Hatiku rasanya tak karuan. Lidahku terasa kelu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Saat dia tepat berdiri di depanku, aku hanya mampu menatap matanya. Tak kusadari air mata menetes di pipiku. Sungguh kerinduanku seakan ingin kulampiaskan sepenuhnya.
“Hai!” ujarku dengan suara tertahan.
Dia membuka kedua tangannya, seolah memberikanku tempat untuk mendekapnya. Aku pun tak dapat menahan diriku lagi. Kuhempaskan tubuhku ke dalam dekapannya. Kulepaskan tangisanku di dalam pelukannya. Kudekap erat tubuhnya. Begitupula dengan dirinya. Dia mendekapku dengan erat. Sungguh pelukan yang begitu hangat dan sangat ingin kurasakan setelah sekian lama kami harus berpisah.
Kami saling melepaskan diri dari pelukan yang telah menenggelamkan diri kami ke dalam lautan rindu yang terlampiaskan. Galang menghapus air mataku seraya bertanya, “Kenapa menangis?”
“Kau masih bertanya kenapa aku menangis? Kau benar-benar nggak pengertian,” gerutuku dengan manja.
Galang tertawa. Kemudian dia merangkulku dan mencium keningku.
“Aku paham, Sayang. Aku juga rindu kok,” ucapnya perlahan.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumahku, aku terus bercerita sedangkan dia hanya diam dan memandangi wajahku. Setelah aku menyadari bahwa Galang memperhatikanku dan tersenyum, aku melihat ke arahnya dan mengerutkan keningku.
“Kau ini kenapa sih? Senyam-senyum terus. Emangnya di muka aku ada yang lucu ya?” tanyaku keheranan.
“Kamu itu lho, dulu waktu PDKT bisanya cuma diem aja. Waktu di telefon, cerewetnya minta ampun. Ternyata aslinya cerewet juga. Hahaha....,” jawabnya sambil tertawa.
“Ih, malah ngetawain! Ya udah, kalau gitu aku diem aja,” ucapku.
“Yeee, malah ngambek! Jelek tahu kalau lagi ngambek gitu. Justru omelan kamu itu yang buat aku kangen kalau kamu nggak telefon.”
“Gombal! Huuu...”
Begitulah gaya berpacaran kami. Aku kerap kali bermanja padanya dan dia sering menggodaku hingga wajahku memerah. Walaupun hanya sebatas telefon, hubungan jarak jauh yang kami bina selama satu tahun berpacaran terasa tidak memiliki jarak yang berarti.
Sesampainya di rumah, keluargaku menyambut Galang dengan hangat, termasuk mama. Keluargaku sudah mengenal Galang saat aku bertemu dengannya pada tahun 2009 silam. Sehingga tidak mengherankan jika mama dan adik-adikku sudah sangat akrab dengannya. Apalagi Galang memunyai karakter yang santai dan sopan kepada orangtua serta mengalah kepada yang lebih muda.
Mama terus mengobrol dengannya. Aku yang sudah membuatkan minuman untuk dia dan mama sengaja meninggalkannya bersama mama dan duduk di teras rumahku. Aku tidak ingin mengganggu percakapan mereka. Lagipula jika aku berada di antara mereka, mama dan Galang pasti akan menjadikanku objek pembicaraannya.
“Ceritanya menyendiri nih di sini?” tanya Galang yang tiba-tiba muncul dan membuatku terkejut.
“Cuma nggak mau ngeganggu kalian aja,” ucapku seraya tersenyum.
Galang memegang pundakku. Lalu kutatap matanya.
“Kita jalan-jalan yuk!” ucapnya dengan semangat yang samar.
“Memangnya mau jalan-jalan ke mana?”
“Ke Waduk Cengklik, udah itu terserah deh, kamu mau ngajak aku ke mana.”
“Kita ke keraton dulu ya, terus ke Waduk Cengklik. Besok, kita ke Tawangmangu, ke air terjun Grojogan Sewu. Gimana?”
“Boleh juga itu!”
“Ya udah. Kalau gitu sekarang dirimu ganti baju dulu, Sayang. Masa mau jalan-jalan pake seragam.”
“Iya, iya. Bantuin milih baju yuk!”
“Yeee, kayak mau ketemu sama menteri aja sampe harus dipilihin bajunya.”
“Ayo dong, Jelek! Bantuin ya!”
“Iya, Item. Ya udah, ayo masuk! Mana tasnya?”
Aku pun membantu Galang memilih pakaian yang akan dipakainya. Setelah Galang memakai pakaian yang kupilihkan, aku merapikan pakaiannya. Aku pun mengganti pakaianku dan sedikit berhias.
Di halaman rumah, Galang sudah berdiri di dekat sepeda motor yang terparkir di sana. Aku mendekatinya sambil memasangkan helm di kepalaku.
“Jelek, kamu cantik banget,” ucapnya setengah berbisik.
Aku hanya tersipu malu dan menundukkan wajahku. Aku takut jika Galang melihat rona merah di wajahku, dia akan semakin menggodaku. Apalagi dia merasa senang sekali jika mampu membuatku tersipu-sipu malu.
Mama melihat kami dari teras rumahku. Sementara adik-adik perempuanku mengintip dari jendela. Aku dan Galang saling berpandangan dan tersenyum melihat perilaku adik-adikku.
Aku dapat memahami tingkah laku adik-adik perempuanku yang masih kekanak-kanakan. Apalagi Galang juga dekat dengan mereka, terutama kepada Arista. Galang menganggap Arista seperti adik kandungnya. Hal ini karena dia tidak pernah memunyai adik kandung perempuan. Ketiga adik kandungnya adalah laki-laki.
Setelah kami berpamitan kepada mama, aku dan Galang segera berangkat ke tempat yang telah direncanakan, Keraton Kasunanan Surakarta. Galang terlihat begitu cekatan membawa sepeda motor. Dia tetap hati-hati walaupun mengambil kecepatan yang semakin tinggi. Sepanjang perjalanan, aku yang mengarahkan ke mana sepeda motor itu harus dikendalikan.
Sesampainya di Keraton Kasunanan Surakarta, Galang kuajak berkeliling melihat bangunan tua yang sekarang digunakan sebagai museum itu. Aku melihat Galang tidak terlalu tertarik pada tempat itu. Galang itu berjiwa petualang. Dia lebih menyukai alam terbuka untuk dijadikan tempat liburan dibandingkan tempat-tempat bersejarah ataupun bangunan modern.
Aku hanya diam saja melihat kebosanan Galang. Aku ingin menguji kesabarannya. Selama ini, jika kami mengobrol via telefon, dia selalu sabar menghadapiku. Walaupun aku marah atau kesal padanya, dia hanya diam. Jika aku cemburu, dia berusaha meyakinkanku. Aku ingin memastikan dirinya yang sebenarnya.
Satu jam lebih kami mengelilingi museum Keraton Kasunanan Surakarta. Walaupun wajahnya menunjukkan kebosanan, Galang tidak mengeluh dan meminta keluar dari bangunan tua itu. Pemandu masih menjelaskan berbagai bagian dari museum itu ketika aku meminta untuk menghentikan perjalanan berkeliling keraton.
Setelah itu, aku menarik tangan Galang, mengajaknya keluar dari museum. Galang terkejut dengan tindakanku itu. Namun, aku tidak memedulikannya. Aku langsung menariknya untuk naik ke atas andhong[1]. Kami pun berkeliling alun-alun Keraton Kasunanan Surakarta.
“Kenapa tadi langsung keluar, Ay?” tanya Galang padaku.
“Apa kau kira aku suka melihat item-ku ini mati kebosanan di dalam sana?”
Aku melihat wajah Galang yang masih keheranan. Aku tersenyum melihat raut Galang itu. Lalu kuarahkan wajahnya ke salah satu kandang lembu yang menjadi simbol keselamatan rakyat Solo.
“Sudah. Jangan dipikirin banget! Intinya aku nggak mau lihat kau bosan mendengarkan celoteh pemandu wisata tadi. Inilah duniamu. Alam terbuka. Benar kan?” cerocosku.
Galang tersenyum lalu merangkulku. Dia terlihat antusias melihat berbagai macam barang yang berada di alun-alun. Mulai dari sapi Slamet yang merupakan sapi bule milik kebanggaan keraton, hingga kereta kuda tua yang dulunya dimanfaatkan untuk mengangkat mayat. Dia banyak bertanya padaku dan juga kusir. Aku senang melihat Galang yang seperti itu. Aku senang bisa membuatnya tersenyum bahagia.
Setelah kami puas mengelilingi alun-alun keraton, aku mengajak Galang untuk minum es dawet ayu yang berada di sekitaran keraton. Walaupun Keraton Kasunanan Surakarta itu dekat dengan pasar Klewer, aku tidak mengajak Galang ke sana. Aku tidak ingin Galang membelikanku berbagai macam barang. Lagipula kami harus melanjutkan perjalanan ke Waduk Cengklik.
Galang selalu mengagendakan untuk bersantai ria di Waduk Cengklik. Bukan karena keindahan tempatnya, melainkan karena kenangan masa lalu Galang di tempat ini. Waduk Cengklik merupakan sebuah waduk yang dekat dengan Bandara Adi Sumarmo dan tidak jauh dari mess TNI AU. Tempat ini kerap dikunjungi oleh pasangan muda hanya untuk sekedar duduk menikmati udara sore atau jalan-jalan dan lari pagi.
Semasa pendidikan di Lanud Adi Sumarmo, Galang dan teman-temannya sering melewati tempat ini ketika sedang latihan. Disiplinitas dan masa karantina yang cukup lama membuat kebanyakan dari mereka merasa iri dengan kebebasan orang-orang yang terlihat sedang bersantai ria menikmati udara sore yang sejuk dengan hamparan air waduk yang jernih. Apalagi sebagian dari orang-orang yang bersantai itu membawa pasangannya. Hal itu membuat siswa-siswa TNI AU semakin iri.
Galang pun merasakan hal yang sama. Sebelum dia sempat datang ke Solo, setiap kali membicarakan mengenai kedatangannya ke Solo, dia selalu menyebutkan Waduk Cengklik. Galang selalu mengatakan bahwa dia ingin memamerkan kemesraan di depan siswa-siswa yang masih menjalani pendidikan di Lanud Adi Sumarmo.
Sore itu, sepulang dari keraton, kami langsung menuju Waduk Cengklik. Aku dan Galang memilih duduk di bawah salah satu pohon rindang yang tidak jauh dari jalan utama yang melintasi waduk itu. Galang terlihat sangat senang memandang jauh ke arah waduk yang tidak begitu luas itu.
Sayup-sayup terdengar hentakan kaki dan teriakan bernada dari kejauhan. Aku dan Galang mulai mencari-cari asal suara itu. Tidak lama kemudian terlihat beberapa baris pemuda berkulit hitam legam sedang membawa senjata. Mereka berlari-lari kecil seraya bernyanyi.
Galang merapatkan posisinya kepadaku. Dia merangkulku dengan tiba-tiba. Aku merasa terkejut melihat tingkah lakunya. Namun, aku memahami alasan dia melakukan hal itu. Dia tersenyum puas saat beberapa pemuda yang berada di barisan itu menoleh ke arah kami.
“Lihat itu, Ay! Mereka pasti iri ngeliat kita kayak tadi. Hahaha..,” ujar Galang dengan raut wajah penuh kepuasan.
“Item, Item. Balas dendam nih ceritanya?”
“Iya dong, Jelek. Emang enak digituin! Dulu saku yang digituin. Sekarang gantian dong!”
“Dasar Item. Kalau udah kumat jahilnya, ampun deh!”
“Biarin! Yang penting masih sayang kan?”
“Auah gelap!”
“Ini terang kok, matahari belum tenggelam.”
 Sore yang indah itu pun terasa semakin indah dengan Galang di sampingku. Walaupun dia tidak romantis. Dia tidak pandai merayu. Dia pun tidak pandai berlaku mesra. Namun, cara dia menemaniku terasa begitu hangat. Walaupun hanya sekedar berpegang tangan dan bersandar di bahunya, aku dapat merasakan romantisme hubungan yang telah lama terjalin itu.
***
“Mau ke mana lagi? Kok udah pada dandan gini?” tanya mama.
“Mau ke Grojogan Sewu, Ma. Mau lihat air terjun,” jawabku singkat.
“Iya, Bu. Saya minjam Kanaya sebentar ya, Bu,” pamit Galang.
“Iya. Hati-hati ya di jalan! Ibu titip Kanaya ya, Lang,” pesan mama pada Galang.
Aku dan Galang segera berangkat ke air terjun Grojogan Sewu yang berada di Tawangmangu. Seperti sebagian besar air terjun alami lainnya, air terjun Grojogan Sewu berada di daerah pegunungan yang terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, tepatnya di lereng Gunung Lawu. Meskipun bernama Grojogan Sewu, air terjun ini tidak berjumlah seribu. Di tempat ini terdapat beberapa tiik air terjun dengan ketinggian yang berbeda dan membentuk cabang-cabang yang luas.
Setelah menuruni anak tangga yang sangat banyak, aku dan Galang dapat melihat air terjun itu dari dekat. Kami berfoto dan bermain-main air sedikit. Lalu kami kembali naik ke lahan bagian atas. Kami berkuda mengelilingi taman buah yang berada di wilayah itu. Setelah puas mengelilingi tempat wisata itu, kami beristirahat sejenak di salah satu tempat yang teduh. Sambil memandangi keramaian orang yang berlalu lalang, kami berbincang-bincang mengenai banyak hal.
“Aku ingin mengetahui keseriusanmu padaku. Apakah kau sungguh-sungguh telah mantap hati untuk memilihku?” tanyaku.
“Kenapa ditanya lagi sih, Sayang? Insya Allah, aku udah mantap hati buat milih kamu. Memangnya kenapa?”
“Apa kau tidak ingin mengetahui tentang diriku terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan sebesar itu?”
“Apalagi yang harus kuketahui? Aku mengenalmu sejak tiga tahun yang lalu. Aku sudah kenal orangtua dan adik-adikmu. Itu kan udah cukup.”
“Belum, Lang. Belum cukup. Kau tidak ingin tahu mengenai keluarga besarku?”
“Aku akan tahu dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.”
“Lalu kau akan menyesal telah memilihku setelah kau mengetahui keluarga besarku. Begitukah yang kau inginkan?”
“Aku nggak bakal nyesal.”
“Apapun yang kau katakan, aku merasa kau perlu mengenal keluarga besarku sebelum keputusan terbesar dalam hidupmu itu kau sampaikan pada semua orang.”
“Lalu sekarang kamu hendak apa, Ay?”
“Bolehkah aku menceritakan semua tentang keluargku?”
“Oke. Ya udah cerita aja!”
“Setelah ini, aku mau kau mempertimbangkan niatanmu untuk meminangku. Aku tidak ingin ada penyesalan di hatimu karena telah memilihku. Sungguh, bukan karena aku tidak menginginkan dirimu, tapi aku merasa bahwa kau pantas mendapatkan hal yang terbaik dalam hidupmu.”
“Ya udah cerita! Aku bakal dengerin kok. aku jamin pasti keputusanku bakal tetap sama.”
“Dengerin aja dulu, Tem! Baru ambil keputusan!” ujarku sambil tersenyum.
***
Pada tanggal 7 Agustus 1991, pukul 02.00 WIB di sebuah rumah sakit yang berada di Surakarta, terdengar suara tangisan bayi yang terkejut dengan lingkungan barunya. Sebuah dunia, tempat dia berpijak dan mengukir setiap takdirnya. Semua orang yang menyambutnya dengan gelak tawa kebahagiaan. Bayi itu adalah aku, Kanaya Arnelita Harahap.
Aku terlahir sebagai seorang bayi perempuan dengan panjang 48 cm dan berat badan 2,8 kg. Kehadiranku menjadi pengobat kesedihan keluargaku yang pernah kehilangan kakak kandungku, Ricky Riady Harahap. Aku terlahir dan tumbuh dengan berbagai beban di pundakku. Kedua orangtuaku selalu membanggakanku ke mana pun mereka melangkah. Kebanggaan itu yang selalu menjadi tuntutan dan beban yang harus kuperjuangkan di dalam hidupku.
Aku pantas bersyukur. Aku terlahir di tengah keluarga yang lengkap. Ada mama, ayah, nenek, tante, om, tidak ada satu pun yang kekurangan dalam keluargaku. Sebagai seorang anak, aku tidak kekurangan kasih sayang dalam hidupku, setidaknya sampai aku menginjakkan kakiku di usia 13 tahun. Aku disayangi tidak hanya oleh anggota keluargaku, tetapi juga tetangga sekitar rumahku. Mereka menganggapku seperti bagian dari keluarganya.
Keluargaku semakin lengkap dengan kehadiran ketiga adikku. Billy Iskandar Harahap, adik laki-lakiku yang lahir pada 20 Mei 1993. Zahra Vinanda Harahap, adik perempuanku yang pertama lahir pada 16 Mei 1995. Arista Agustina Harahap, adik bungsuku lahir pada 15 Agustus 1996. Kehadiran ketiga adikku menjadi sebuah cambuk yang memacu kedewasaan pemikiranku lebih cepat dari waktunya. Hal itu ynag terkadang membuatku rindu pada indahnya menjadi seorang anak kecil yang masih ingin bermanja di pangkuan orangtuanya. Namun, aku tidak bisa, karena aku adalah anak sulung yang mandiri—setidaknya itulah yang menjadi prinsip dalam hidupku.
Aku selalu mengira hidupku akan berjalan baik-baik saja dan tanpa hambatan seperti layaknya cerita dongeng yang kubaca di beberapa buku cerita anak. Namun, kehidupan tidak semudah itu. Hidup itu kejam. “Siapa yang kuat dia yang bertahan dan menang”. Kalimat inilah yang kupegang ke mana pun aku melangkah. Aku selalu menunjukkan kekuatan dan keunggulanku di mana pun aku berada karena aku ingin selalu menang dan menjadi yang terdepan.
Aku tumbuh menjadi pribadi yang keras, disiplin, idealis, dewasa dan ambisius. Aku bukan seorang yang pemaaf, tapi aku berani meminta maaf jika tindakanku salah. Aku bukan pribadi yang lemah. Aku tidak pernah menangis hanya karena sebuah gertakan, cemoohan dan kebahagiaan. Aku hanya akan menangis jika hatiku tersakiti dan lukanya terasa sangat menyakitkan.
Setiap kali aku memasuki lingkungan baru, aku tahu banyak orang berbisik menyatakan bahwa aku merupakan seorang gadis yang sombong, angkuh dan berbagai penilaian buruk lainnya. Namun, aku tidak pernah khawatir akan hal itu. Aku meyakini dengan sepenuh hatiku, suatu saat nanti akan tiba waktunya orang asing menjadi keluarga sendiri. Jika mereka sudah mengenalku dengan baik, maka mereka akan duduk di dekatku dan bercanda denganku. Aku meyakini hal itu.
Aku mengira Kanaya yang kuat akan tetap menjadi kuat hingga akhir hayatnya. Ternyata aku salah. Perjalanan hidupku telah membuat jiwa Kanaya yang kuat menjadi lemah dan menjadi lebih lembut. Perjalanan hidup yang membuatku merasa menjadi orang terburuk, termiskin dan termalang sedunia. Perjalanan hidup yang membuatku mengenal cinta yang membuatku kadang tersenyum bahagia dan kadang menangis sesenggukkan.
Inilah aku sengan segala sifatku. Namun, ketahuilah bahwa sekeras-kerasnya aku, seegois apapun diriku, seambisius apapun pikiranku, aku tetaplah seorang wanita. Aku tetaplah Kanaya yang mengandalkan perasaan. Aku hanya seorang wanita yang lemah dan terlalu rapuh untuk dihancurkan dengan rasionalitas.
***
Sebelum aku menceritakan padamu berbagai peristiwa dalam keluargaku, aku ingin memberitahumu sebuah rangkaian cerita tentang kedua orangtuaku. Pahamilah! Agar kau paham mengenai bibit, bebet dan bobotku. Agar tidak ada penyesalan dalam hatimu ketika kau telah memutuskanku untuk menjadi pendamping hidupmu.
Dermawan Harahap (alm.), beliau adalah ayahku. Dalam berbagai data kependudukan, beliau dinyatakan lahir pada tanggal 14 Mei 1953. Namun, tidak ada yang tahu dan ingat dengan pasti tanggal lahir ayahku yang sebenarnya. Di data kependudukan pun, beliau dicatat sebagai tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, pada kenyataannya, ayahku tidak tamat sekolah dasar. Bukan karena beliau kurang pintar, melainkan karena ketidakmampuan nenekku untuk menyekolahkannya.
Beliau merupakan kebanggaan kedua orangtuanya. Terlahir sebagai anak ketujuh dari sepuluh bersaudara, ayah selalu mengalah untuk saudara-saudaranya. Beliau rela bekerja keras di usianya yang masih kecil untuk biaya hidupnya dan kebutuhan keluarganya. Beliau memang tidak lulus sekolah dasar, tetapi beliau berpandangan luas. Beliau sangat antusias jika berbicara mengenai politik dan olahraga. Dari beliau, aku belajar mengenai perpolitikan yang keji dan penuh kelicikan.
Ayah merupakan seorang pria yang berwatak keras, cerdas, berpemikiran jauh ke depan, penuh perhitungan, sayang pada keluarga dan pekerja keras. Itulah penilaianku terhadap ayahku. Penilaianku untuk tempat bermanja masa kecilku. Penilaianku untuk seorang ayah yang selalu tertawa saat aku meminta sesuatu dengan berkata, “Yah, kalau ayah punya uang nanti,...” Penilaianku pada pria yang selalu berkata kepada teman-temannya, “Ini anakku yang selalu menjadi juara kelas.”
Ayahku mempersunting mamaku, enam tahun sebelum aku dilahirkan ke muka bumi ini. Mamaku bernama Suci Lestari. Asal-usul mama jauh lebih jelas jika dibandingkan dengan ayah. Mama adalah seorang wanita kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah pada 13 Oktober 1966. Beliau merupakan salah satu keturunan dari kerajaan yang berdiri di Jawa.
Mama adalah seorang wanita lulusan Sekolah Menengah Atas (SMEA). Mama tergolong wanita ynag cerdas, rajin, tegas, hormat kepada orangtua dan selalu ingin berkarier. Walaupun ayah tidak menyukai jika mama bekerja, mama tetap saja nekat untuk bekerja di beberapa perusahaan multilevel.
Mama mendidikku dan adik-adikku dengan sangat tegas dan disiplin. Waktu untuk makan, bermain, belajar, mandi, mengaji, tidur, semuanya dudah terjadwalkan dengan baik. Bahkan, kebiasaan menaruh barang yang sudah digunakan ke tempatnya semula menjadi salah satu didikan beliau.
Pemikiranku dan mama kerapkali berbeda. Kami sering berdebat, terlebih mengenai pergaulan. Mama selalu berkata bahwa semua orang dijadikan teman baik. Untukku itu tidak berlaku. Aku akan menilai seseorang secara psikis terlebih dahulu sebelum aku menyatakan bahwa dia adalah temanku. Aku terlalu berpilih karena aku tidak ingin terjerumus pada kejahatan yang terselubung dan hal itu yang kerap kali dialami oleh mamaku. Pandangan yang berbeda dan sifat keras kepala yang sama membuat aku dan mama sering bertengkar. Bahkan, aku pernah meminta untuk masuk ke sekolah Taruna Nusantara agar aku tidak terlibat perdebatan sengit lagi dengan mamaku. Walaupun begitu, aku sangat menyayangi mama.
Aku marah ataupun mendebat mama karena terkadang aku merasa kesal dengan teman mama yang kerapkali memanfaatkan mama. Selain itu, aku terkadang merasa iri dengan anak-anak lainnya yang diperlakukan ibu mereka dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Sedangkan mama selalu memperlakukanku dengan ketegasan. Hal itu yang membuatku jarang bercerita mengenai permasalahanku di sekolah. Bahkan, utuk bertanya mengenai pelajaran saja jarang. Aku lebih memilih untuk memahami dan menyelesaikan masalah dengan caraku sendiri.
Aku tidak dapat bermanja pada mama. Adik-adikku lebih menyita kasih sayang mama. Oleh karena itu, setiap ayah pulang, dua minggu sekali, aku selalu bermanja pada ayah. Aku menyayangi kedua orangtuaku. Walaupun keinginanku untuk sebuah kehangatan dan kelembutan kasih sayang kerap kali tidak kudapati, aku tahu mereka menyayangiku dengan sepenuh hati dan segenap jiwa mereka.
Itulah kedua orangtua kandungku. Meskipun ayahku telah tiada, kau harus memahaminya. Agar aku paham, asal sifat dan sikapku. Mereka adalah orang yang telah merawat dan membesarkan wanita yang hendak kau nikahi ini. Dapatkah kau menerima mereka tanpa ada pengecualian? Pertimbangkanlah itu dalam hatimu!
***
Hal ketiga yang harus kau ketahui adalah mengenai keluarga besarku. Baik itu keluarga dari pihak ayah, maupun dari pihak mama. Aku menceritakan ini padamu dengan harapan bahwa kau akan memahami posisi keluarga kecilku di tengah keluarga besarku. Sehingga kau pun dapat menempatkan diri dalam keluargaku dengan tepat. Itupun jika kau masih tetap berniat mempersuntingku.
Jika mengingat keluargaku, ingin rasanya diriku kembali ke masa kanak-kanak di mana ayah selalu memanjakanku dan aku terus bermain dengan kakak-kakak sepupuku. Namun, hal tersebut tidak mungkin. Aku terus dewasa dan permasalahan dalam keluarga menjadi bagian dalam hidupku juga.
Hubungan keluarga ayah dan mama tidak terlalu dekat. Selain karena jarak Kota Medan dan Solo yang jauh, perbedaan budaya dan waktu bertemu yang relatif minim membuat hubungan kedua keluarga ayah dan mama tidak terlalu akrab. Hanya orang-orang tertentu dari keluarga ayah yang dekat dengan keluarga mama dan begitupula sebaliknya. Jika kami sedang berada di Solo, maka kami dekat dengan keluarga mama. Jika kami berada di Medan, maka kami dekat dengan keluarga ayah.
Pada tahun 1995, aku dan keluarga kecilku pindah dari Medan ke Solo. Aku tidak tahu tanggal pastinya, tapi aku ingat dengan pasti bahwa kepindahan kami ke Solo beberapa hari setelah mama melahirkan Zahra. Aku pun tidak tahu dengan pasti penyebab kepindahan kami yang terbilang mendadak itu.
Aku masih ingat ketika aku melihat mama yang sedang hamil besar membawa sebuah koper yang cukup besar. Saat aku bertanya ke mana beliau akan pergi, beliau hanya berpesan untuk tetap di rumah dan menurut dengan Bouk[2] Lila. Sepeninggal mama, hanya ada aku, Billy dan Bouk Lila di rumah kami. Bouk Lila adalah adik sepupu ayah yang tinggal di rumah kami untuk membantu mama yang sedang hamil tua.
Sekitar dua hari kemudian, ayah yang merupakan seorang supir bus antarkota antarprovinsi, pulang ke rumah setelah lebih dari seminggu menempuh perjalanan Medan-Solo. Ketika ayah pulang, mama masih belum pulang. Keluarga besar ayah mulai mencari-cari ke mana mama pergi. Hingga akhirnya Bang Zul, keponakan ayah yang seorang kernet bus antarkota antar provinsi , memberikan kabar bahwa mama dan Zahra sedang dalam perjalanan menuju Solo dan saat itu sedang berada di Pekan Baru bersamanya.
Ayah langsung memutuskan untuk pindah ke Solo malam itu juga. Aku, Billy dan Bang Fandi, keponakan ayah yang tinggal bersama kami sejak kecil, ikut berangkat malam itu juga. Beberapa jam kemudian, kami bertemu dengan mama di sebuah rumah makan yang berada di Pekan Baru. Mama sedang menggendong Zahra yang masih berusia beberapa hari dan di sebelahnya berdiri Bang Zul.
Sesampainya di Solo, hampir seluruh keluarga dari pihak mama menyambut kami dengan hangat. Kami tinggal di rumah Mbah[3] Sari, ibu kandung mama. Namun, kehangatan itu perlahan mulai memudar. Keluarga mama mulai berselisih paham, terutama dengan mama. Sikap mama yang tegas dan tetap pada pendirian selalu berseberangan dengan sikap Mbah Sari dan beberapa anggota keluarga lainnya yang selalu berusaha menerapkan aturan-aturan baru. Permasalahan kecil yang muncul dalam keluarga dapat menjadi hal besar yang menyebabkan perseteruan dalam rumah Mbah Sari. Apalagi Budhe[4] Kapti, kakak tiri mama, termasuk salah satu orang yang kerap memberikan aturan baku dalam keluarga dan mama tidak menyukai hal tersebut.
Budhe Kapti tidak menyukai pernikahan mama dengan ayah. Menurut Budhe Kapti, mama yang berpendidikan lebih tinggi daripada ayah dan merupakan wanita yang cerdas, tidak seharusnya menikah dengan ayah. Apalagi ayah hanya seorang supir bus antarkota antarprovinsi. Tidak hanya Budhe Kapti yang tidak menyukai pernikahan ayah dan mama, tetapi Mbah Sari juga tidak menyetujui. Sedangkan saudara mama yang lainnya, seperti Pakdhe[5] Haryo, Paklik[6] Rendro dan Bulik[7] Wati menyetujui dan bersikap wajar terhadap mama dan ayah.
Ketidakcocokan mama dengan Budhe Kapti dan Mbah Sari membuat ayah memutuskan untuk pindah dari rumah Mbah Sari dan mengontrak sebuah rumah di kawasan Kartasura, Jawa Tengah. Sebelumnya, kami sempat tinggal beberapa bulan di rumah kontrakan Paklik Rendro yang terbilang cukup besar. Namun, mama menyadari bahwa tinggalnya dua keluarga dalam satu rumah bukan merupakan hal yang baik, maka kami pun pindah ke kontrakan kami yang berada di Kartasura itu.
Tahun demi tahun berlalu, konflik-konflik kecil sering muncul dalam keluarga mama. Ikatan kekeluargaan itu seolah-olah muncul dan tenggelam. Ada kalanya semuanya berjalan baik dan penuh keharmonisan. Ada kalanya semuanya berjalan penuh ketegangan.
“Keluarga bukan hanya mereka yang memunyai ikatan darah dengan kita.” Itulah ajaran mama. Di mana pun kami berada, tetangga dan teman dekat menjadi anggota keluarga untuk kami. Di Kartasura, anggota keluarga kami pun bertambah. Bang Fandi yang bertekad menjadi tentara, mengikuti seleksi di Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Namun, dia gagal pada seleksi terakhir. Kegagalannya menjadi anggota Kopassus justru membentuk sebuah kedekatan dengan beberapa orang anggota Kopassus yang berada di Kartasura.
Bang Regar dan Bang Junaedi merupakan dua di antara banyak teman Bang Fandi yang menjadi anggota Kopassus. Mereka sering bertandang ke rumah, terutama ketika hari libur. Mereka memperlakukanku seperti adik kandungnya. Bahkan, Billy pernah diajak ke mess mereka dan bermain di sana seharian. Walaupun saat ini komunikasi di antara kami sekeluarga dengan mereka terputus, mereka tetaplah saudara kami.
Tahun 2000, kami pindah kembali ke Medan. Seperti ketika sampai di Solo pada tahun 1995, keluarga di Medan menerima kami dengan tangan terbuka. Semuanya menyambut kami dengan penuh kehangatan.
Untuk beberapa bulan, kami sekeluarga tinggal di rumah Bouk Mina, kakak kandung ayah. Bukan karena kami tidak memunyai rumah, melainkan karena rumah kami masih dalam masa sewa. Rumah kami yang ditinggalkan pada tahu 1995 itu disewakan agar tetap terawat. Selama menunggu selesainya masa sewa, mama mempersiapkan beberapa perabotan rumah tangga yang diperlukan nantinya.
Aku tahu bahwa kala itu keluarga kami sedang dalam krisis. Ayah yang sempat keluar dari tahanan karena tidak sengaja menabrak orang yang melintas begitu saja pada saat demonstrasi 1998. Apalagi jumlah penumpang merosot pasca reformasi. Dengan kata lain, keluarga kami memulai dari nol lagi. Inilah awal mula aku belajar melepaskan kemanjaanku.
Kanaya kecil yang masih kelas III SD paham benar dengan kondisi yang dihadapinya. Kanaya kecil tidak pernah menuntut apapun pada orangtuanya. Bahkan, untuk meminta uang saku berlebih pun tidak pernah. Kanaya kecil pun mulai belajar mandiri. Dia mulai berani pergi naik angkot seorang diri untuk berangkat dan pulang sekolah. Walaupun pada awalnya, dia masih diantar-jemput, perlahan Kanaya kecil  memupuk keberaniannya menempuh perjalanan sekitar 5 km dengan angkot. Dari hal itulah masa kecilku yang manja menjadi lebih mandiri dan berani.
Ketika masa sewa rumahku telah selesai, aku, mama dan adik-adikku segera menempati rumah kami itu. Aku melihat kesedihan di mata mama, ketika beliau mengamati aku dan adik-adikku yang tidur di atas selembar tikar karena mama belum bisa membelikan kasur. Saat itu, ayah sedang dalam perjalanan dari Solo. Sehingga di dalam rumah yang berdiri di atas tanah berukuran 12x13 meter itu hanya ada aku, mama dan adik-adikku yang masih kecil.
Baru beberapa hari menempati rumah itu, aku dan adik-adikku menaglami demam tinggi secara serempak. Mama kelimpungan mengurusi kami. Walaupun tidak ada satupun di antara kami yang rewel, aku tahu kalau mama kebingungan. Hingga akhirnya ayah pulang membawa seperangkat VCD dengan kaset CD film Superman. Billy senang bukan kepalang. Billy tidak henti-henti mengamati perangkat VCD yang ayah beli. Begitupula aku dan adik-adikku yang lain. Kami menonton film Superman dengan antusias. Ya Allah, rasanya seperti ada setitik kebahagiaan di tengah kepahitan yang kami alami.
Perlahan kondisi perekonomian keluarga kami membaik. Perabotan rumah tangga, seperti lemari, tempat tidur, meja dan kursi tamu, serta berbagai keperluan lainnya sudah mulai terpenuhi. Renovasi rumah pun dilakukan. Lantai yang sebelumnya hanya semen halus, diubah dengan memasangkan keramik. Rumag yang sebelumnya masih berupa tumpukan bata, disemen dan dicat dengan rapi. Warna cat rumah pun diganti setiap tahunnya. Asbes pun dipasang. Dapur yang sebelumnya sangat kecil diperluas dan ditambah dengan ruang makan. Rumah yang tidak terlalu besar itu pun dipagari dan ditata halamannya dengan rapi. Semuanya berubah ke arah yang lebih baik.
Seperti madu yang dikerumuni lebah atau gula yang dirubung semut, di dalam kondisi yang semakin membaik itu, semua keluarga dekat dan jauh berdatangan. Teman menjadi kerabat, musuh pun menjadi teman. Apalagi ayah dan mama termasuk orang yang bersikap terbuka dan sangat pengasih kepada sesama. Pintu rumah kami terbuka untuk siapa pun. Sehingga bukan hal yang istimewa jika pada hari libur rumah kami ramai dengan sanak saudara. Apalagi jika ayah berada di rumah.
Acara kumpul keluarga menjadi tempatku berkomunikasi langsung dengan saudara-saudaraku yang remaja. Walaupun tidak ada yang seumuran denganku, aku merasa nyaman jika bermain atau bercanda dengan mereka. Namun, adakalanya aku merasakan jenuh, terutama dengan sikap kakak-kakakku yang lebih tua lima sampai enam tahun dariku. Aku jenuh dengan bahan pembicaraan mereka. Setiap kali bertemu dengan mereka dan berjalan bersama mereka, selalu yang kudengar pembahasan mengenai pacar, cinta dan pemuda yang tampan. Aku tidak terbiasa dengan bahan pembicaraan seperti itu. Bukan aku tidak normal atau tidak pernah merasakan jatuh cinta, melainkan pilihanku untuk menyimpan hal-hal yang bersifat pribadi. Jika aku jatuh cinta, aku hanya akan diam saja tanpa mengumbarnya di setiap pembicaraan. Kalau aku hendak bercerita aku mengubah tema dan menyelipkan sedikit yang ingin kusampaikan. Itulah hal yang membuatku jenuh. Terkadang aku pernah mengeluh pada mamaku dan berkata, “tukang gosip datang.”
Sedangkan dengan adik-adikku, baik yang sepupu maupun kandung, aku selalu menjadi bahan untuk kejahilan mereka. Oleh karena itu, aku lebih memillih bermain dengan keponakan-keponakanku yang masih balita atau bercerita dengan orangtua. Walaupun terkadang isi pembicaraan juga berhubungan dengan gosip, aku mengetahui banyak hal tentang adat istiadat dan nilai-nilai di dalam suku Batak Mandailing.
Aku dan mama tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Semut di kejauhan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak—begitulah pepatah melayunya. Biarlah setiap orang mengurusi kehidupannya masing-masing! Kalau apa yang mereka lakukan mengganggu kehidupan kita, saat itulah kita berhak untuk masuk ke dalam perkara itu. Prinsip itu yang hingga kini aku dan mama junjung.
Kebiasaan berkumpul ini terus berlanjut selama kami masih di atas tanduk kejayaan. Ketika ayah tidak lagi menjadi supir bus Medan-Solo dan dipindahkan ke trayek Medan-Pekan Baru, perekonomian kami mulai melambat. Penumpang bus terbilang sedikit. Apalagi trayek yang ayah tempuh juga tergolong pendek. Kala itu, kebiasaan berkumpul itu mulai jarang dilakukan.
Terlebih lagi ayah sempat dipecat dari pekerjaannya oleh anak nenekku yang merupakan pemilik dari PT tempat ayah bekerja. Kejayaan itu mulai meredup. Walaupun ayah dipanggil kembali untuk bekerja dengan trayek yang lebih panjang, yaitu Jember-Medan, kehidupan kami masih belum stabil.
Pada tahun 2003, ketidakcocokanku dengan mama mulai muncul. Kami sering bertengkar. Aku tidak menyukai beberapa teman mama yang kunilai memanfaatkan mama. Mereka memanfaatkan mama yang memunyai posisi yang baik di dalam multilevel tempat mama bekerja. Aku tidak menyukai itu dan mama tidak memercayaiku.
Teman-teman mama menguras tenaga, pikiran dan kantong mama. Kondisi ekonomi keluarga semakin menurun. Hingga akhirnya mama pergi dari rumah tanpa pamit. Ayah yang berada di rumah saat mama pergi ikut kelimpungan mencari-cari mama.
Hampir seminggu ayah mencari mama. Tidak hanya di Medan, tapi juga di Solo, Pekan Baru dan Bali. Akhirnya ayah menemukan mama sudah berada di Solo. Ayah membujuk mama untuk pulang ke Medan, tapi mama tidak berani pulang karena banyaknya hutang yang melilit keluarga kami. Akhirnya ayah memutuskan untuk menjual rumah kami.
Selama ayah dan mama di Solo, aku dan ketiga adikku berada di Medan. Kami dirawat oleh Bouk Mina. Walaupun Bouk Mina terhitung sudah tua dan sering terserang asma dan cepat lelah karena kegemukan, beliau tetap cekatan dalam mengatur kami di rumah. Aku tidak ingin memberatkan Bouk Mina karena itu kulakukan berbagai macam hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
Aku berusaha mencuci pakaian seisi rumah jika aku sedang libur sekolah. Namun, jika aku berangkat ke sekolah, Kak Fatimah—anak pertama dari Bouk Nisma, adik kandung ayah—yang mencucikan pakaian kami. Kak Fatimah pun mendapatkan uang saku dari ayah untuk melakukan hal itu. Aku juga berbelanja dan membersihkan rumah serta belajar memasak. Kala itu kurasakan susahnya menjadi seorang ibu yang harus mengurus tiga anak yang masih kecil.
Pada tahun 2004, setelah rumah kami dijual dengan harga yang sangat murah, adik-adikku berangkat ke Solo, sedangkan aku tetap berada di Medan. Ayah menawarkan pilihan padaku untuk tetap tinggal di Medan atau ikut pindah ke Solo. Aku pun memilih untuk tetap tinggal di Medan.
Terlalu banyak hal yang aku pertimbangkan saat itu. Aku tidak ingin kehilangan prestasi yang telah kuukir di SMP favorit yang menjadi tempatku bersekolah. Kala itu, aku pun masih marah kepada mama yang telah meninggalkan kami begitu saja. Kebencianku dan ambisiku untuk menjadi yang terbaik di Medan membuatkku tetap bertahan.
Sejak tahun 2004 sampai 2007, aku tinggal dengan keluarga dari pihak ayah. Sepanjang masa akan selalu kuingat pengalamanku selama tiga tahun itu. Berpindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Bukan hal yang mudah untuk menyesuaikan diri denganberbagai aturan di keluarga yang berbeda. Namun, itu kujalani demi kelangsungan pendidikanku.
Pada tahun pertamaku di Medan. Aku aktif mengikuti berbagai macam di sekolah. Mulai dari paskibra sampai berbagai perlombaan, termasuk olimpiade matematika. Walaupun tidak mendapatkan gelar juara, aku puas dengan berbagai pencapaianku. Kala itu, aku tinggal di rumah Bouk Mina. Selama di rumah beliau, ayah kerap datang dan memberikanku uang saku dan berbagai kebutuhan sekolah.
Pada tahun kedua aku di Medan tanpa mama dan adik-adikku, aku tinggal di rumah Amangboru[8] Ahmad. Beliau adalah seorang mantri. Kehidupan Amangboru Ahmad yang tergolong berkecukupan dan tidak memunyai tanggungan anak karena anak beliau satu-satunya, Kak Nur sudah menjadi perawat dan sudah menikah, maka aku pun diminta untuk tinggal bersama mereka.
Ketika tinggal bersama mereka, aku berkecukupan secara materi, Amangboru Ahmad sering memberikanku uang saku untuk berangkat ke sekolah. Beliau juga sering mengantarkanku ke sekolah. Namun, secara psikis, aku merasa tertekan. Oleh karena itu, aku meminta kembali ke rumah Bouk Mina.
Hidup menumpang di rumah orang lain tidak akan pernah menyenangkan sekalipun itu adalah orang yang dekat dengan kita. Selama tiga tahun di Medan, cukup puas rasanya aku disanjung karena prestasi yang kuraih. Namun, cukup puas pula rasanya aku dimaki, dicaci, dimarahi dan dibatasi pergerakannya dengan berbagai aturan yang terbilang kolot dan menghambatku mengikuti berbagai kegiatan.
Ketika aku tinggal di rumah Bouk Mina, beliau dan suaminya, Amangboru Udin, tidak pernah memarahiku. Sekalipun menegurku yang mulai malas shalat dan mengaji, mereka akan menegurku dengan sindiran yang tidak ditujukan langsung kepadaku. Namun, anak bungsunya tidak seperti itu.
Suatu ketika Bouk Mina memarahi Kak Aas, anak bungsunya karena setiap pekerjaan rumah tangga dikerjakan olehku. Kak Aas tidak menyukainya. Apalagi Bang Radit, kakak laki-laki Kak Aas, lebih sering memberi berbagai macam hal kepadaku karena aku sering menurut perkataannya. Hal itu membuat Kak Aas semakin marah. Hingga akhirnya dia berkata padaku, “Kau ini cuma numpang di rumah ini. Sadarlah kalau kau cuma numpang!” Sungguh sakit sekali rasa hatiku. Aku hanya bisa diam dan melangkah perlahan ke kamar mandi untuk meneteskan air mata.
Tidak hanya sekali dua kali, tetapi berulang kali. Pernah pula dia berkata padaku, “Kau ini keluarga broken home. Omak[9] entah di mana, ayah kau pun entah di mana. Udah pulang aja kau sana ke Solo.” Aku pun hanya bisa diam. Aku tahu bahwa dia mengatakan hal yang benar, tapi aku sering bertanya, apakah dia tidak pernah berpikir jika dia berada di posisiku. Aku pun tidak pernah bermimpi akan menghadapi posisi sulit seperti kala itu, tapi takdir Tuhan  memintaku untuk melaluinya.
Tidak hanya Kak Aas, semasa aku masih tinggal di rumah Amangboru Ahmad, Kak Nur yang juga tinggal di rumah itu bersikap sama.Dia sering bercerita kepada tetangga kalau aku malas, pekerjaanku tidak beres dan berbagai hal lain. Penyebabnya hanya karena aku menunda untuk mencuci piring. Aku menunda mencuci piring karena gejala tipes yang menyerangku membuatku pusing dan aku tidak sanggup berdiri.
Hampir setiap hari aku membersihkan rumahnya yang begitu besar. Mulai dari membersihkan bagian dalam rumah, halaman yang begitu luas, mencuci piring dan memasak. Namun, hanya karena satu hal kecil yang kulakukan karena alasan kesehatanku, omongan tidak mengenakkan pun disampaikan kepada orang lain di depan mataku.
Aku dilatih untuk hidup bak orang yang tinggal di kolong jembatan. Makan nasi yang sudah tidak layak dimakan pun bukan hal yang asing lagi untukku. Semasa tinggal di rumah Amangboru Ahmad, ketika hendak berangkat ke sekolah dan aku tida mendapati lauk apapun di atas meja makan, aku segera memasak nasi yang setengah membusuk dari dalam magic jar. Kugoreng nasi itu dengan sedikit minyak jelantah dan kutambahkan sedikit garam dan bawang merah.
Enak ataupun tidak , sudah tidak terasa lagi. Jika aku hendak puasa, aku cukup membeli sepotong roti atau sebungkus susu kental manis untuk sahur. Namun, aku tidak pernah mengeluh dengan semua yang kuhadapi. Aku sangat sadar bahwa semua itu adalah proses yang harus kutempuh untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sikap Kak Nur berubah ketika mengetahui ayahku datang ke rumah Amangboru Ahmad dan memberikanku sedikit uang untuk ikut pulang kampung bersama keluarga besar dan membeli pakaian lebaran. Mereka bersikap baik dan berharap bahwa aku akan memberikan uang untuk membeli bensin selama perjalanan. Padahal saat itu ayah hanya memberikanku uang Rp 300.000,00.
Tiga tahun hidup bersama saudara dari pihak ayah di Medan mengajarkanku banyak hal. Aku menjadi pribadi yang lebih tegar, kuat dan pentang menyerah di hadapan orang banyak. Walaupun di hadapan diriku sendiri aku harus menahan sakitnya hatiku atas perlakuan mereka, aku tidak pernah menunjukkannya kepada siapa pun. Setiap hal yang kualami di Medan membuatku lebih menghargai hasil kinerja orang lain. Aku pun berjanji pada diriku sendiri bahwa orang yang kelak mengalami posisi yang sama denganku dulu, akan kurangkul dan kuperlakukan dia jauh lebih baik daripada apa yang dilakukan oranglain kepadaku.
Beberapa orang kasar kepadaku dan beberapa lainnya masih bersikap baik padaku. aku selalu menghargai dan mengingat sikap baik mereka. Suatu saat jika aku berada di atas roda kehidupan, aku tidak akan pernah lupa bahwa ada mereka yang perneh manjadi bagian dari masa laluku yang cenderung gelap.
***
Solo, kota kelahiranku. Aku menginjakkan kaki kembali di kota ini setelah hampir delapan tahun tidak pernah kukunjungi. Aku tidak pernah menyesal kembali ke kota ini. Walaupun banyak unggah-ungguh yang tidak dapat kupahami, aku tetap senang menjadi bagian dari kota ini. Apalagi aku dapat bertemu denganmu di kota ini.
Perbedaan budaya membuatku harus berusaha lebih keras untuk menyesuaikan diri dengan kondisi di kota Solo. Mulai dari cara berbicara hingga cara bersikap. Banyak hal yang harus kuubah dalam diriku.
Ketika aku di Medan, aku pernah ditertawakan oleh saudaraku karena aku menyahut sapaan orang lain dengan nada yang lemah lembut. Namun, ketika di Solo, aku ditertawakan oleh teman-temanku karena aku menjawab sapaan orang lain dengan nada yang keras. Belum lagi logat Medan yang kerapkali kugunakan walaupun aku sedang berbahasa Jawa.
Semua perbedaan itu membuatku merasa terasing. Namun, semangatku untuk meraih prestasi dan cita-citaku membuatku tetap bertahan. Aku meyakini bahwa teman-temanku akan dekat denganku jika aku memunyai kelebihan. Popularitas adalah senjata paling utama, yang harus kubangun untuk memunyai banyak teman.
Ketika di Medan, aku membangun popularitasku dengan mengikuti berbagai macam organisasi. Aku pun menjadi salah satu siswa yang kritis dan kerapkali membuat kakak kelas tidak berkutik dengan kritikanku. Namun, di Solo, aku tidak ingin berorganisasi. Aku membangun sebuah popularitas dengan berbagai prestasiku. Aku mengikuti berbagai macam lomba dan berhasil membawa nama sekolah hingga ke tingkat provinsi. Hal itulah yang membuat seantero sekolah mengenalku.
Bukan karena kecantikan, tapi karena prestasi. Aku mengakui bahwa diriku bukan seorang gadis yang cantik jelita. Aku cenderung berpenampilan apa adanya. Bahkan, postur tubuhku tergolong tidak ideal. Aku gemuk, berkulit hitam, wajah penuh dengan jerawat dan berkacamata tebal. Namun, pada akhir masa SMA-ku, aku berubah secara berangsur-angsur.
Aku mulai belajar cara berdandan. Aku mulai menata diriku. aku menurunkan berat badanku. Kanaya yang tidak pernah tampil dengan rambut rapi dan seragam yang penuh gaya, berubah menjadi seorang gadis yang selalu memperhatikan pakaian dan tatanan rambutnya.
Pada tahun 2009, aku lulus dengan nilai terbaik untuk semua jurusan. Aku masih ingat dengan baik ketika aku dipanggil sebagai lulusan terbaik dalam acara wisuda SMA. Aku mendapatkan sebuah amplop hadiah berisikan uang Rp 100.000,00.
Aku juga mndapatkan hadiah berupa uang saku dari salah satu guru fisikaku. Sebelumnya, beliau pernah berjanji padaku akan memberikanku hadiah jika aku mendapatkan nilai ujian nasional di atas delapan untuk mata pelajaran fisika. Aku pun berhasil mendapatkan nilai 9,5 untuk mata pelajaran fisika. Oleh karena itu, beliau memberikanku uang sebesar Rp 50.000,00 sebagai hadiah atas prestasiku.
Hadiah-hadiah itu adalah sumber nafas untuk kehidupan keluargaku kala itu. Tahun 2009 merupakan tahun tersulit dalam kehidupan keluargaku. Kehadiranmu dan teman-temanmu di tahun itu membuatku merasa tidak terasing. Kalian menjadi temanku dan kau hadir untuk mengambil hatiku.
Sepanjang tahun 2007—di saat aku pindah ke Solo—hingga 2009, kehidupan keluargaku tidak sebaik prestasi-prestasi yang kuraih di sekolah. Tahun-tahun ini adalah masa-masa tersulit dalam hidupku.
Pada minggu-minggu pertama kepindahanku ke Solo, ayah dan mama sering bertengkar. Mama menuntut agar angkutan kota milik kami yang berada di Medan segera dijual untuk biaya hidup kami. Namun, ayah menolak dan berkata itu untuk biaya masa depan kami. Seperti biasanya, aku mencoba menengahi pertengkaran mereka. Namun, aku gagal. Hingga akhirnya aku hanya dapat menangis di dalam kamar semalaman.
Pada pagi harinya, ayah dan mama sudah akur. Ya, seperti itulah mereka. Aku pun bersyukur karena dapat melihat mereka akur kembali.
Sejak kepindahanku ke Solo hingga akhir tahun 2007, aku dan keluargaku menempati tiga kamar di sebuah kos-kosan keluarga di Tohudan, Colomadu. Setelah itu, kami pindah ke sebuah rumah tua yang cukup luas jika dibandingkan dengan tiga kamar kos yang kami huni sebelumnya. Di rumah inilah ujian hidup itu dimulai.
Akhir tahun 2007, di rumah yang baru saja kami tempati, kami mendapat kabar bahwa ayah divonis menderita penyakit kanker paru-paru dan pneumonia[10]. Vonis dokter tersebut diperoleh setelah ayah memeriksakan kesehatannya di Medan dan dibantu oleh Amangboru Ahmad. Awalnya ayah tidak tahu mengenai vonis dokter tersebut. Pihak keluarga ayah menyembunyikan hal tersebut dari ayah. Mereka pun memberikan kabar kepada kami mengenai vonis itu melalui telefon.
Ayah nekat pulang ke Solo seorang diri. Beliau masih belum mengetahui vonis dokter tersebut ketika sampai di Solo. Beliau baru mengetahuinya ketika mama memeriksakan kondisi ayah ke rumah sakit khusus paru-paru.
Mama terus mengupayakan pengobatan ayah. Mulai dari pengobatan medis yang terbilang mahal, hingga pengobatan alternatif. Mama mengurus jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) agar ayah mendapatkan keringanan untuk biaya pengobatan.
Bouk Nisma pernah datang ke Solo dengan niat untuk menjenguk ayah. Ketika Bouk Nisma berada di Solo, ayah pernah marah besar dan membuat kondisinya semakin memburuk. Kemarahan ayah disebabkan karena mama dan Bouk Nisma pergi terlalu lama.
Ketika Bouk Nisma berada di Solo, dia meminta mama menemaninya berbelanja ke pasar Klewer. Ayah pun memberikan izin. Mereka pergi berbelanja dalam waktu yang cukup lama. Bahkan hampir lima jam,  mereka baru kembali ke rumah. Padahal itu sudah melewati batas waktu minum obat ayah. Sedangkan aku tidak tahu obat yang mana yang harus kuberikan kepada ayah. Selain itu, ayah juga tidak mau meminum obat, kecuali diberikan oleh mama. Oleh karena itu, ketika mama dan Bouk Nisma pulang, ayah marah besar dan kondisi beliau menjadi semakin melemah. Sasaran kemarahan ayah bukan Bouk Nisma, melainkan mama. Kemarahan ayah ini membuat mama membenci keluarga yang berada di Medan.
Menurunnya kesehatan ayah, membuat mama memutuskan untuk membawa ayah ke rumah sakit dan menjalani rawat inap. Hampir tiga bulan ayah dirawat di rumah sakit. Mama tidak dapat pergi ke mana pun. Beberapa kali mama ke rumah untuk mengawasi kami. Aku dan adik-adik perempuanku tinggal di rumah dan jarang ke rumah sakit karena kesibukan sekolah dan memberekan rumah. Billy yang kala itu baru lulus SMP dan sedang mendaftar ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), lebih sering manginap di rumah sakit bersama mama.
Angkutan kota yang pernah menjadi permasalahan antara mama dan ayah pun akhirnya dijual dengan sistem dicicil. Uang hasil penjualan angkutan kota itu digunakan untuk biaya hidup selama mama tidak bekerja dan ayah di rumah sakit. Selain itu, uang tersebut juga digunakan untuk biaya masuk SMK Billy dan SMP Arista. Belum lagi biaya untuk tahun ajaran baru aku dan Zahra.
Hingga pertengahan Juli, ayah sudah dua kali melakukan kemoterapi, tapi tidak juga ada perubahan keadaan ke arah yang lebih baik. Hal tersebut membuat ayah semakin frustasi. Ayah menjadi sering marah-marah. Apalagi jika mama meninggalkan beliau sebentar saja. Tuduhan dan sikap ayah ini semakin bertambah kasar. Hingga akhirnya, ayah meminta keluarga yang di Medan datang dan menjemputnya.
Pada tanggal 6 Agustus 2008, Bouk Nisma, Bang Novan—suami Kak Nur—dan Bang Rendi—keponakan ayah dari kakak laki-lakinya—sampai di Solo. Mereka mempersiapkan keberangkatan ayah. Mereka menunjukkan wajah ketidaksukaan kepada kami karena kami dituduh tidak menjaga dan merawat ayah dengan baik.
Tepat di hari ulang tahunku yang ke-17, ayah diberangkatkan ke Medan melalui bandara Adi Sumarmo. Tidak seorang pun dari kami—anak-anak ayah yang mengantarkan beliau ke bandara. Kami tidak berani mengantarkan beliau karena tidak seperser pun uang di saku kami, kecuali untuk ongkos ke sekolah. Kami pun dapat memastikan bahwa tiga orang saudara kami itu tidak akan memberikan kami uang saku untuk pulang dari bandara.
Malam harinya, mama dan Bang Fandi—yang kembali tinggal bersama kami setelah sempat diusir oleh ayah—pergi membawa sekarung pakaian bekas layak pakai dan beberapa barang yang sudah tidak terpakai lagi. Barang-barang bekas itu hendak dijual dengan harga yang sangat murah. Namun, malam itu hanya sebagian saja yang terjual. Uangnya hanya dapat digunakan untuk sarapan kami sebelum berangkat ke sekolah.
Keesokan harinya, ketika aku pulang dari sekolah, aku melihat mama dan Bang Fandi menenteng karung goni besar. Aku hanya dapat menelan air ludah melihatnya. Dalam hati aku hanya dapat berkata, “Ini adalah mulanya, apa yang terjadi kali ini akan terbalaskan pada waktunya.”
Usaha mama dan Bang Fandi tidak hanya sebatas itu. Keesokan harinya, Bang Fandi berjualan kasur lantai dengan cara berkeliling. Sedangkan mama ikut membuat kasur lantai yang dimodali oleh temannya. Namun, hasil usaha itu belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga, terutama untuk biaya sekolah.
Waktu terus berlalu, tepat di hari ulang tahun Arista, 15 Agustus 20008, mama dihubungi oleh salah satu kepala kantor perwakilan tempat ayah bekerja. Beliau mengabarkan bahwa ayah sudah meninggal dunia pada malam sebelumnya. Kami berusaha menghubungi keluarga di Medan, tetapi tidak ada yang mengangkat telefon kami. Bahkan, mereka menolak telefon kami.
Jika kau bertanya bagaimana perasaanku, aku akan menjawab dengan sangat jelas, aku membenci mereka. Aku tidak pernah bisa mengerti jalan pikiran mereka. Aku, mama dan adik-adikku adalah keluarga ayah. Kami darah daging dari ayah, tetapi mereka tidak memberikan kabar sedikitpun kepada kami bahwa ayah sudah meninggal dunia. Rasanya aku ingin marah, menangis dan memaki, tapi semuanya tertahan dalam hatiku.
Malam itu juga kami membacakan surah Yasin untuk ayah. Aku dan adik-adikku masih belum memercayai keadaan yang melanda kami. Tidak pernah terbersit di benak kami bahwa kami akan kehilangan ayah. Kami tidak pernah membayangkan bahwa kami akan menjadi anak yatim. Namun, inilah kehidupan. Semuanya sudah diukir Tuhan, manusia hanya tinggal menjalaninya.
Di tengah keterpurukan itu, mama mendatangi Budhe Kapti untuk mengabarkan meninggalnya ayah. Mama juga meminta bantuan kepada Budhe Kapti untuk biaya pendidikan kami. Hal ini mama lakukan karena di antara saudara seibu, hanya Budhe Kapti yang hidup lebih dari cukup.
Namun, aku melihat wajah mama yang lesu sepulang dari rumah Budhe Kapti. Ketika aku menanyakan penyebab kelesuan mama, beliau langsung berkata, “Mulai sekarang jangan ada lagi yang menginjakkan kaki ke rumah Budhe-mu itu! Aku nggak rela kalau kalian ke rumah si Kapti itu lagi!”
Aku terkejut sekali mendengarnya. Aku terus mendesak mama menceritakan apa yang terjadi ketika mama di rumah Budhe Kapti. Hingga akhirnya mama menceritakan bahwa Budhe Kapti tidak bersedia membantu biaya pendidikan kami dan berkata, “Anak yatim di dunia ini bukan cuma anakmu, yang harus dibantu ya bukan anakmu saja. Kalau mau uang ya kamu kerja yang nggak perlu pake modal.”
Aku hanya dapat menghela nafas dan berkata, “Ya udah. Nanti juga ada rezeki yang lain.”
Sejak saat itu, hubungan kami dan Budhe Kapti terputus, kecuali dengan anaknya, Mbak Puri. Aku dan Mbak Puri masih sering berkomunikasi via email. Dengan saudara dari pihak mama yang lain kami masih sering berkomunikasi. Walaupun Mbah Sari dan Mbah Buyut sudah meninggal, setiap lebaran kami masih sering berkunjung ke rumah peninggalan Mbah Sari yang ditinggali oleh Pakdhe Haryo. Namun, kami selallu pulang lebih awal ketika lebaran. Kami menghindari pertemuan dengan Budhe Kapti. Kami tidak mau mama marah dan kecewa karena kami masih bersikap baik dengan Budhe Kapti.
Waktu terus bergulir dan aku bersama keluargaku mulai menyusun kehidupan kami. Mama menikah dengan seorang atlet voli, Bapak Sudjarwo. Beliau bertemu dengan mama ketika ayah masih dirawat di rumah sakit. Beliau membantu kehidupan  ekonomi kami kala itu. Walaupun beliau belum menikah dengan mama, beliau tidak sungkan mengirimkan uang untuk kebutuhan sehari-hari dan mengontrak rumah. Namun, beliau berhenti menjadi atlet setelah menikah dengan mama. Beliau tidak ingin jauh dari mama, sedangkan mama belum siap meninggalkan kami di Solo. Oleh karena itu, beliau menolak beberapa tawaran untuk bertanding di Kalimantan.
Sebelum menikah dengan Bapak Sudjarwo, kami sekeluarga pindah ke Kartasura. Kepindahan kami ke Kartasura bertujuan untuk mempermudah aku dan Billy untuk menempuh perjalanan ke sekolah. Kala itu aku sedang duduk di bangku kelas III SMA. Aku harus sampai di sekolah jam enam pagi untuk pelajaran tambahan dan pulang jam tiga sore untuk les tambahan di sekolah. Sementara Billy mengikuti kegiatan Paskibra sehingga harus pulang menjelang maghrib setiap harinya.
Kepindahan kami ke Kartasura membuat aku dan Billy tidak perlu khawatir jka tidak ada bus atau angkutan umum yang beroperasi saat kami pulang. Hal ini disebabkan semua bus mini dan angkutan kota yang menuju kawasan Colomadu hanya beroperasi hingga pukul lima sore. Sedangkan di kawasan Kartasura, bus yang beroperasi tidak hanya bus mini dan angkutan kota, tetapi juga bus antarkota antarprovinsi. Selain itu, transportasi umum tersebut beroperasi hingga malam hari.
Mama dan Bapak Sudjarwo menikah pada tanggal 24 Desember 2008. Pesta sederhana pun digelar di rumah kami. Keluarga dari pihak mama dan bapak datang. Pesta pun berlangsung cukup meriah. Namun, kelanjutan dari pesta itu tidak berlangsung dengan menyenangkan.
Setelah pesta pernikahan selesai, mama dan bapak pergi ke tempat yang tidak kuketahui selama seminggu. Di rumah hanya ada aku, adik-adikku dan Bang Fandi. Mama sesekali datang ke rumah mengantarkan makanan untuk kami. Setelah itu, beliau pergi kembali entah kemana.
Pada malam tahun baru 2009, aku melihat adik-adikku yang kelaparan karena tidak ada makanan apapun di rumah. Mereka duduk di ruang tamu. Mata mereka menatap ke arah pagar berharap mama datang membawa makanan. Aku ingin membelikan makanan, tapi aku tidak memunyai uang simpanan lagi. Tidak lama kemudian, seorang tetangga datang membawakan roti dan beberapa potong kue. Adik-adikku memakannya dengan begitu lahap. Hatiku merasa sedih sekali melihat hal itu.
Beberapa hari kemudian, mama dan bapak pulang ke rumah. Aku yang merasa kecewa menyambut mereka dengan kemarahan. Aku dan mama bertengkar. Namun, setelah itu, aku dan mama bersikap seperti tidak pernah ada pertengkaran di antara kami.
Beberapa hati kemudian, mama meminta bapak kembali ke Sragen untuk mengupayakan pekerjaan yang lebih layak. Ketika bapak berada di Sragen, kami pindah ke sebuah rumah yang lebih kecil.sebuah rumah yang hampir tidak layak huni. Namun, kami merasa nyaman dengan keadaaan rumah itu. Lantainya berlapis semen yang tidak rapi. Atapnya bocor, tidak ada ruang tamu, hanya sedikit bagian untuk dapur dan kamar mandi yang berada di bagian luar rumah. Itulah rumah kecil yang kami tempati.
Kami tidak memunyai banyak perabot yang dapat memenuhi rumah kecil itu. Kami hanya memunyai pakaian seadanya, buku-buku pelajaran sekolah, peralatan masak dan sebuah kasur lantai. Kami tidak memunyai apapun lagi.
Untuk makan dan ongkos berangkat ke sekolah, mama membantu orang yang berjualan bebek goreng di pasar Kartasura selama satu malam. Beliau harus mengipas bara api yang membakar sate dan ayam atau bebek bakar, mencuci piring kotor, mengangkat bahan makanan dari rumah yang mempunyai warung sampai ke pasar. Semua pekerjaan itu dikerjakan oleh mama. Semua pekerjaan itu hanya dihargai Rp 20.000,00 setiap malamnya.
Tak jarang mama mengeluh lelah dan badannya terasa pegal. Apalagi beliau mengalami kesulitan tidur di siang hari. Sehingga beliau selalu kurang tidur jika melakukan pekerjaan tersebut. namun, beliau tetap melakukannya demi mendapatkan uang Rp 20.000,00 untuk sarapan dan ongkos kami berangkat ke sekolah. Itupun tanpa uang saku untuk jajan di sekolah.
Siang harinya mama mencuci pakaian orang yang meminta bantuannya. Beliau juga menerima permintaan pijat dan lulur untuk wanita. Untuk setiap pekerjaan itu, beliau hanya menerima uang Rp 25.000,00. Ya, malam bekerja untuk makan pagi, pagi bekerja untuk makan siang dan siang bekerja untuk makan malam.
Aku dan adik-adik mengerti posisi kami yang sangat sulit. Ketika mama harus pulang pagi untuk membantu orang yang berdagang di pasar, aku dan adik-adik akan bangun sebelum subuh. Kami membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Jika minyak tanah masih ada, kami merebus air secukupnya. Sebelum jam enam pagi, mama pulang dan semua pekerjaan rumah sudah selesai. Jam enam pagi kami pun berangkat ke sekolah.
Hidup itu berat. Hidup tidak pernah memberikanku kesempatan untuk bermimpi lagi. Jika dulu aku menyimpan mimpi untuk menjadi seorang dokter, maka ketika kuhadapi pahitnya kehidupan, mimpi itu kukubur dalam hatiku. Walaupun aku menangis setiap malam dan menyampirkan cita-citaku itu dalam setiap shalat tahajudku, aku tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil. Untuk lulus SMA yang tinggal beberapa bulan saja, aku meragukan kemampuanku untuk mencapainya. Apalagi untuk kuliah dan mengambil jurusan kedokteran, aku membutuhkan dana puluhan juta yang tidak mungkin bisa aku dapatkan.
Bapak belum mendapatkan pekerjaan yang layak, sedangkan mama membanting tulang untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan kami sekeluarga. Aku pun mulai mencari jalan untuk mendapatkan uang. Aku mulai mengajar les.
Awalnya aku hanya membantu adik-adik kelas yang ingin mengerjakan tugasnya. Namun, lambat laun, adik-adik kelasku menjadikanku tentor mereka dan memberikan uang setiap kali aku mengajar. Setiap pertemuan mereka memberiku lima belas sampai dua puluh ribu rupiah. Memang tidak rutin, aku mendapatkan jadwal menagjar seperti itu. Setidaknya aku bisa membantu meringankan beban mama walaupun hanya sedikit.
Setelah mengetahui aku dapat mengajar berbagai macam pelajaran, ibu yang memunyai kontrakan memintaku untuk mengajar anaknya. Setelah dua minggu aku mengajar anaknya atau dapat dikatakan sebanyak enam kali aku datang ke rumahnya untuk mengajar les, pemilik kontrakan hanya membayarku sebesar Rp 18.000,00. Aku hanya diam saja.
Mama marah sekali mengetahui hal itu. Beliau mencoba menjelaskan kepada pemilik rumah bahwa aku selalu dibayar sebesar lima belas sampai dua puluh ribu rupiah. Namun, pemilik rumah menjawab penjelasan mama dengan menyatakan bahwa dia memintaku mengajar anaknya karena kasihan dan ingin membantu keluargaku. Dia juga menyatakan bahwa dia sudah cukup baik membayar sejumlah itu karena dia telah menyediakan seperangkat kursi tamu di kontrakannya yang terbilang murah.
Aku dan mama hanya mengangguk-angguk. Dalam hati aku merasa kecewa. Aku tahu mama pun merasakan hal yang sama. Kami memahami posisi kami sebagai orang kecil yang tidak memunyai apapun. Itulah kehidupan, yang kecil tetaplah bukan siapa-siapa dan yang kaya tetaplah yang berkuasa.
“Rezeki itu tidak akan ke mana.” Begitulah kata pepatah. Itu pula yang terjadi pada kami. Keluargaku mendapat bantuan dari sejumlah guruku. Ada yang memberikan kami beras dan keperluan sehari-hari dan ada yang memberikan bantuan berupa uang. Bahkan, seorang guru kimiaku, Bu Endah, menyuruhku sarapan di warung depan sekolah setiap hati tanpa aku harus membayar. Beliau tidak ingin aku sakit atau tidak dapat konsentrasi dalam belajar hingga tidak dapat mencapai hasil ujian nasional yang maksimal. Aku berterima kasih karena ada banyak guru yang begitu menyayangiku dan memedulikan keadaan keluargaku.
Selama kami berada di rumah kecil itu, bapak tidak pernah pulang ke Solo. Mama sesekali datang ke Sragen untuk mengetahui keadaan bapak. Namun, mama tetap melarang bapak untuk datang ke Solo.
Hanya sebulan keluargaku menempati rumah kecil yang sebenarnya sudah tidak layak huni itu. Setelah itu kami pindah ke sebuah kamar kos berukuran 4x6 meter. Di kamar itu, keluargaku tidur, makan, belajar dan shalat. Sebuah kamar kecil untuk berteduh lima orang sekaligus. Kamar kos tersebut kami tempati selama sebulan.
Bapak yang pulang dari Sragen, membuat kamar kos tersebut tidak dapat kami tempati lagi karena sangat sempit dan tidak wajar jika bapak dan anak tirinya tidur dalam satu ruangan yang sama. Oleh karena itu, mama dan bapak mencari kontrakan baru yang lebih memungkinkan untuk kami berenam. Mama dan bapak memilih sebuah rumah yang terdiri dari tiga blok berukuran 3x3 meter.
Rumah itu bukanlah rumah yang sehat dan layak huni. Rumah itu tanpa ventilasi udara. Bagian depan rumah itu digunakan untuk berjualan daging oleh pemilik rumah. Sehingga kerapkali tercium bau daging di dalam rumah. Oleh karena itu, aku begitu sedih berada di dalam rumah itu. Aku jarang keluar rumah.
Semasa liburan sekolah dan menunggu pengumuman hasil seleksi beasiswa dari Belanda, aku hanya tinggal di rumah. Sesekali aku keluar rumah untuk mengajar les di dekat rumah atau ke sekolah untuk melihat pengumuman pengambilan ijazah. Selama di rumah itu, aku menjadi seorang Kanaya yang pemurung.
Hanya sebulan pula kami tinggal di rumah itu, kami pun mencari kontrakan baru di kawasan Colomadu. Seorang ibu yang merupakan teman dari Mbah Sari menawarkan rumahnya yang bersebelahan dengan poskamling. Rumah itu sebelumnya pernah dikontrakan kepada sebuah keluarga. Di rumah itu pula, pernah dibuka warung makan yang sangat laris. Oleh karena itu, ibu pemilik kontrakan meminta keluarga kami untuk tinggal di rumah itu dan membuka warung kecil-kecilan dengan modal pinjaman dari ibu pemilik kontrakan.
Rumah itu menorehkan banyak kenangan dalam hidupku. Pertemuan dan perpisahan kita disaksikan oleh rumah itu. Di rumah itu pula aku menemukan banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran. Keluargaku diasingkan dalam masyarakat karena jarang berkumpul dengan ibu-ibu yang bergosip di poskamling pada sore hari.
Setelah kau dan teman-temanmu tidak lagi berada di Solo, mama menutup warungnya. Kami hanya bergantung dari hasil kerja bapak. Sesekali jika aku sedang lancar mengajar les, aku membantu sedikit dengan pendapatanku. Namun, jika aku sedang tidak mengajar les, seringkali aku harus menunggu mama mencarikan uang saku untukku. Di rumah itu pula, mama pernah membawa dagangan berupa roti dari pabrik keliling kecamatan. Mama juga pernah menjual nasi kucing[11] keliling pasar Kartasura untuk mendapatkan uang tambahan.
Kehidupan keluargaku mulai membaik, ketika aku mendapatkan beberapa proyek penelitian yang menghasilkan uang yang cukup besar. Selain itu, bapak mendapatkan pekerjaan dari pemborong di Cirebon untuk memasang gypsum. Kami mulai menata hidup kami.
Hingga saat ini, kami telah bertahan dan mencapai satu titik yang dapat kau lihat di depan matamu. Inilah hidupku. Aku bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan berada. Jika kau berniat meminangku, terimalah aku dengan segala masa laluku! Aku tidak memiliki apapun. Pahamilah itu, Galang!
Aku menceritakan ini agar kau paham mengenai kondisi keluargaku yang sudah tidak utuh dan tidak harmonis. Aku berharap kau dapat memahami hal itu. Sehingga tidak ada penyesalan kelak.
***
Aku mengantarkan Galang ke stasiun Purwosari keesokan harinya. Aku tahu hatinya sedang tidak menentu. Kugenggam erat tangannya lalu aku tersenyum padanya.
“Bukannya aku nggak sayang, Tem. Aku cuma mau kau bahagia dengan orang yang tepat. Aku bersyukur jika ternyata orang itu adalah diriku. Namun, jika orang itu bukan diriku, aku akan mengikhlaskanmu untuk bahagia dengan orang itu. Aku menyayangimu,” ucapku setengah berbisik.
Galang menggenggam tanganku dan berkata, “Aku mencintaimu lebih dari yang kamu tahu, Ay. Kamu harusnya tahu, hatiku bingung harus apa waktu kau berkata seperti ini. Aku nggak tahu harus berbuat apa dan harus bagaimana menceritakan hal ini kepada ayah dan ibu. Kenapa nggak kamu biarin aja aku tahu masalah ini dengan sendirinya, sehingga aku tidak pusing memikirkan hal ini?”
Aku tersenyum kepada Galang. Kutatap matanya seraya berkata, “Kenapa harus bingung, Sayang? Tanyakan pada hatimu. Dia akan memberikan jawaban yang tepat. Katakan dengan jujur pada ibu dan ayah! Kalau beliau menerimaku, kau tinggal memantapkan hatimu lagi padaku. Namun, jika tidak, pertimbangkan kata-kata hatimu. Jangan dengar apa yang kau pikirkan, tapi dengarkan hatimu! Itu akan jauh lebih baik.”
“Aku menyayangimu,” ucap Galang.
Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku hanya dapat mengangguk. Lalu kudekap tubuhnya. Dia mencium keningku dan aku mencium tangannya.
“Segera kabari aku setelah sampai di Jakarta ya! Kabari juga keputusanmu!” pesanku.
Galang hanya mengangguk sambil melangkah memasuki salah satu gerbong kereta api. Aku hanya dapat mengamatinya dari jauh. Dalam hati kecilku, aku merasakan berat hendak melepaskannya. Rasanya pertemuan kami terlalu singkat. Di pelupuk mataku terbayang ketidaksetujuan orangtua Galang dan akhir dari hubungan kami.
“Ya Allah, berikanlah jalan yang terbaik untuk kami dan tabahkanlah jiwa kami!” pintaku dalam hati.






BAGIAN II
Perjalanan kembali ke Jakarta yang penuh dengan kegelisahan. Galang terus memikirkan apa yang dikatakan oleh Kanaya. Cerita Kanaya mengenai keluarganya yang tidak sempurna dan harmonis justru menjadi beban pikiran untuk Galang. Di dalam hatinya ada kebingungan yang tidak dapat dihentikannya.
Di dalam kereta api yang melaju kencang menuju stasiun Jatinegara itu, Galang terlarut dalam lamunannya.
“Apakah Kanaya tidak ingin menikah denganku? Kalau dia memang menginginkan pernikahan denganku, mengapa dia menceritakan semua itu? Bukankah itu aib keluarganya? Apakah dia ingin membatalkan niatku untuk menikahinya?” bisik pikiran Galang.
Dia mengatupkan kelopak matanya. Di dalam benaknya terbayang wajah Kanaya yang sedang tersenyum padanya ketika pertama kali mereka bertemu, wajah Kanaya yang berbinar-binar menyambut kedatangannya. Tiba-tiba wajah Kanaya yang berurai air mata muncul dalma pikirannya dan di telinganya terngiang suara Kanaya yang berkata, “Aku bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan berada. Jika kau berniat meminangku, terimalah aku dengan segala masa laluku! Aku tidak memiliki apapun. Pahamilah itu, Galang!”
Galang membuka matanya. Dia menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan kuat seolah-olah hendak menghempaskan segala beban pikirannya. Lalu pandangannya kembali mengarah pada hamparan sawah yang luas di luar jendela kereta.
Sesampainya di Jakarta, Galang melangkah dengan lesu. Semalaman dia tidak dapat tidur memikirkan cerita Kanaya dan keputusan yang harus diambilnya. Dia terus memikirkan cara menyampaikan hal itu kepada orangtuanya. Dia pun memikirkan mengenai sikap orangtuanya terhadap pernyataan Kanaya itu.
Galang memasuki halaman rumahnya dengan lesu. Orangtua Galang, Bu Rini dan Pak Mahmud yang melihat sikap Galang hanya melihatnya dengan heran. Galang membersihkan dirinya dan langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Pikirannya menerawang tanpa arah.
“Bang, Kak Aya nitip apa buat Heri?” tanya Heri, adiknya yang nomor dua dan masih berusia 12 tahun.
Galang membuka tasnya dan mengambil sebungkus plastik dan memberikannya pada Heri sambil berkata, ”Dibagi sama Bayu, ya!”
Heri langsung berlari ke luar kamar sambil berteriak-teriak memanggil Bayu, adiknya. Di depan pintu kamar, Bu Rini berdiri melihat Heri yang sedang berlari-lari riang dan menatap Galang yang masih duduk di atas tempat tidur. Bu Rini mendekati Galang dan duduk di salah satu sisi tempat tidur. Galang hanya menunduk—tak berani menatap wajah ibunya.
“Kenapa? Ada masalah sama Kanaya?” tanya Bu Rini.
“Bu, Galang mau nanya,” ucap Galang datar.
“Ada apa?”
“Kalau Kanaya bukan dari keluarga yang utuh dan harmonis, apa ibu dan bapak bisa menerima Kanaya sebagai menantu?” tanya Galang masih dengan menunduk.
“Ibu dan bapak baru kenal Kanaya beberapa bulan yang lalu waktu dia ada di Jakarta, tapi Ibu merasa nyaman bertukar cerita sama Kanaya. Kalau bapak, ibu kurang tahu. Ibu suka dengan karakter Kanaya.
Masalah Kanaya dari keluarga yang seperti apa dan bagaimana itu cuma Kanaya dan kamu yang tahu. Kalian yang menentukan bagaimana dan apa yang terbaik untuk hubungan kalian. Ibu dan bapak hanya bisa merestui. Kami menerima Kanaya dengan segala kekurangan dan kelebihannya, asalkan dia bisa menempatkan dirinya dengan baik dalam keluarga kita. Lang, kau harus ingat menikah itu bukan hanya untuk menyatukan dua orang dalam satu ikatan, tapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda dalam satu ikatan yang sama. Jadi keputusan ada di tangan kamu dan Kanaya. Kalau kamu bisa nerima keluarga Kanaya yang seperti itu dan Kanaya juga bisa memosisikan dirinya dengan baik dalam masalah ini, ibu rasa tidak ada masalah untuk melanjutkan hubungan itu.”
“Menurut ibu, Kanaya cinta nggak sama Galang? Dia mau nggak jadi istrinya Galang ya?”
Bu Rini tersenyum mendengar pertanyaan Galang.
“Kamu itu kayak anak kecil aja. Ya, kamu yang tahu, Kanaya cinta sama kamu atau nggak. Tapi kalau ibu perhatikan sih, dia sayang sama kamu. Masalah dia mau apa nggak jadi istri kamu, ya kamu tanya langsung aja ke dia! Takut ditolak ya?” goda Bu Rini.
“Iya, Bu,” jawab Galang sambil menunduk.
“Jagoan motor, balapan liar berani, apalagi pegang senjata, pakaiannya juga udah loreng, tapi ngajakin cewek nikah nggak berani!” sahut Pak Mahmud yang tiba-tiba muncul di depan pintu kamar.
“Bukan nggak berani, Yah. Tapi nggak enak aja kan kalau ditolak,” sanggah Galang.
“Sama aja itu, Lang. Kalau udah mantep sama Kanaya, cepetan dilamar, jangan sampe dia diambil orang.”
“Iya, Yah,” ucap Galang.
“Sekarang nggak usah galau lagi. Dari kemarin sore belum makan kan? Sekarang sarapan dulu sana! Itu udah ada nasi goreng di atas meja. Kalau mau itu ada rendang jengkol juga.”
Perkataan orangtua Galang membuat hatinya sedikit tenang. Dia hanya membutuhkan kemantapan hati untuk meminang Kanaya.
***
“Kalau rasanya ada keraguan di hatimu, bacalah surat ini! Agar kau akan tahu seberapa besar pentingnya dirimu untukku.”
Kata-kata Kanaya itu tiba-tiba muncul di benak Galang. Dia langsung membongkar lemarinya mencari lembaran-lembaran surat yang pernah dikirimkan Kanaya padanya beberapa bulan silam, saat dia merasakan keraguan kepada Kanaya. Di balik tumpukan pakaiannya, dia menemukan sekumpulan kertas HVS dengan tulisan tangan yang panjang. Di bagian depan itu tertempel dua buah foto. Foto Kanaya dan Galang.
Galang mengambil kertas itu dan menutup lemarinya. Dia kembali ke tempat tidurnya dan membuka lembar demi lembar kertas yang berisi tulisan tangan Kanaya itu.
***
Menemui kekasihku, Galang Novangga.
Aku tak pernah tahu harus memulai dari mana. Aku hanya tahu bahwa kau harus mengetahui mengenai hubungan masa laluku karena aku terlalu sering berhadapan dengan rekan-rekanmu. Kedekatanku dengan lingkunganmu memungkinkan banyak hal negatif yang dapat muncul kapanpun dan di manapun itu.
Aku tidak ingin hubungan kita yang telah terjalin dengan susah payah ini menjadi rusak hanya karena cerita orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Aku tidak ingin kau meninggalkanku seperti dulu ketika kau mendengarkan hal-hal buru tentangku dari teman-temanmu, padahal kata-kata mereka hanyalah kebohongan belaka.
Buanglah kertas ini setelah kau baca, jika kau merasa hal ini tidak penting untuk kau ketahui! Aku hanya ingin menyampaikan hal ini sebagai bentuk upayaku mengingatkanmu tentang besarnya isi hatiku padamu. Sehingga kau tidak perlu ragu dan mendengarkan semua kata orang yang ingin memisahkan kita yang telah terpisah oleh jarak, ruang dan waktu.
Galang,
Di berbagai jejaring sosial yang bertuliskan namaku, kau akan menemukan banyak nama yang berasal dari masa laluku. Mereka adalah bagian dari hidupku. Bagian dari masa yang pernah kulewati. Kisah masa sekolah itu terkadang dibuat candaan yang tidak memandang posisiku dan posisimu. Aku tidak mau kau berpikiran buruk sebelum mengetahuinya yang terjadi sebenarnya.
Galang,
Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, aku pernah bersekolah di Solo dan Medan pada waktu duduk di bangku sekolah dasar. Di Solo, cinta monyetku hanya terjalin sebatas makcomblang dari teman-teman. Aku tidak pernah berpikir mengenai cinta. Aku hanya terfokus untuk menjadi juara kelas dan mengalahkan rival terbesarku yang selalu meremehkanku dan menjatuhkanku. Sehingga aku tidak peduli pada kata-kata cinta dari beberapa orang kakak kelasku.
Di Medan, aku didekati oleh beberapa orang teman lelakiku. Ada Ahmad, Wika, Udin, Sulaiman dan Rian. Sedangkan di kelas setingkat tetapi berbeda ruangan denganku, ada Dika yang selalu bersikap sok kenal sok dekat denganku. Masing-masing memunyai cara yang berbeda untuk mendekatiku. Mulai dari yang bertingkah laku aneh dengan menari-nari di depanku atau belajar menyanyi lagu India yang merupakan lagu kesukaanku, sampai datang ke rumah dengan alasan meminjam buku catatan.
Namun, aku tidak pernah peduli dengan mereka. Aku memunyai ambisi besar untuk bersekolah di SMP favorit. Selain itu,aku terus berupaya untuk mempertahankan gelar juara umum yang kuraih. Oleh karena itu, aku hanya terfokus untuk mencapai tujuanku itu.
Di antara sekian banyak pemuda dari masa laluku itu, hanya Wika dan Ahmad yang terus mencari-cariku. Wika tidak lulus SMP. Pendidikannya terhenti setelah dia lulus dari SD. Dia begitu antusias setelah mendapatkan nomor HP-ku dari teman wanita kami saat SD. Tahun 2011, dia menghubungiku. Awalnya aku menanggapinya dengan baik. Aku menganggapnya sebagai teman lama yang hampir sepuluh tahun tidak pernah kutemui. Namun, setelah beberapa waktu berjalan, dia terus menghubungiku secara intensif dan menyatakan perasaannya padaku.
Aku pun menjawab bahwa aku sudah menyukai pemuda lain. Aku pun meminta maaf padanya. Dia menerima keputusanku dan meminta kami untuk tetap berteman. Namun, dia terus saja menghubungiku dan mengajakku mengobrol dalam waktu yang lama. Aku pun merasa apa yang dilakukannya itu menuntutku untuk memperlakukannya lebih dari seorang teman. Oleh karena itu, aku mulai tidak memedulikan telefon dan pesan singkat darinya. Hingga akhirnya, dia lelah dan berhenti menghubungiku pada bulan September 2011.
Sementara itu, Ahmad menunjukkan sikap yang membuatku kesal. Pada tahun 2009, dia menyatakan perasaannya kepadaku. Aku menjawab bahwa aku tidak bisa menerimanya. Dia terus memohon. Aku pun lelah mendengarkannya. Oleh karena itu, aku menagjukan sebuah syarat yang kuharap akan membuatnya mundur. Aku memintanya masuk menjadi tentara.
Dia menolak persyaratan dariku. Namun, dia tetap tidak mau mundur. Akhirnya, kau terpaksa menutup semua akses untuk menghubungiku. Aku mengganti nomor telefonku. Aku memblokir pertemanan kami di jejaring sosial. Aku tidak ingin berhubungan lagi dengannya.
Namun, berita yang membuatku kesal muncul kembali belakangan ini. Beberapa hari yang lalu, saudaraku sekaligus teman sekolahku saat SD menghubungiku dan mempertanyakan hubunganku dengan Ahmad. Aku pun menjelaskan bahwa aku dan Ahmad tidak ada hubungan apa pun. Aku juga menceritakan tentang hubungan kita yang bertujuan untuk menempuh ke jenjang yang lebih serius.
Saudaraku justru meragukanku karena Ahmad mengatakan kepadanya bahwa aku adalah pacarnya. Aku merasa batas kesabaranku sudah habis. Aku pun menyatakan bahwa kebencianku pada Ahmad dan semua cerita tentang pernyataan cintanya dan penolakanku. Aku tidak peduli saudaraku itu hendak berpikiran apa dan percaya kepada siapa. Namun, kau harus percaya bahwa hingga detik ini, Ahmad bukanlah siapa-siapa bagiku.
Aku senang menjadi seseorang yang dicintai oleh banyak orang. Namun, aku tidak menyukai cinta yang memaksakan kehendaknya padaku. Jika aku berkata bahwa perasaanku hanya ingin berteman, maka tidak ada pilihan lain untuk orang itu selain sebuah pertemanan. Jika hatiku berkata bahwa aku jatuh cinta, maka aku akan memberikan pilihan pada orang yang kucintai. Sebuah pilihan untuk bersamaku atau menolakku karena aku mengetahui dan memahami bahwa mencintai seseorang bukan berarti harus memilikinya, melainkan membuatnya bahagia walaupun dia tidak termiliki.
Galang,
Aku telah mengetahui masa SMP-mu. Aku selalu berkata bahwa kau begitu beruntung karena kau menjadi orang yang begitu disukai oleh banyak siswa perempuan. Sedangkan aku tidak seperti kau. Aku bukanlah siswa perempuan yang cantik dan menjadi salah satu idola di sekolah. Aku tidak dapat memungkiri bahwa beberapa orang teman lelakiku menyatakan bahwa dia menyukaiku. Namun, aku tidak pernah menggubrisnya.
Aku memang dikenal sebagai salah satu siswa yang berprestasi. Aku tidak dikenal lebih dari itu. Aku pernah menyukai seorang pemuda bernama Yusuf. Aku menyukainya karena dia cerdas. Dia merupakan seorang pesaing terbaik yang pernah kumiliki. Saat ini dia berkuliah di jurusan kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Cinta monyet itu pun berakhir ketika dia membentakku karena sikapku yang pembangkang dan tidak patuh kepada dirinya yang merupakan ketua kelas. Aku tidak suka dengan peraturannya yang monoton dan berisi kepentingan sekelompok orang yang kunilai sebagai musuh dalam selimut. Kami semakin sering bertengkar dan akhirnya semua kesukaanku padanya hilang begitu saja.
Kisah SMA-ku menjadi babak lain kehidupanku yang tidak dapat aku hindari kepahitannya. Kisah cinta di SMA-ku pun begitu berliku-liku seperti kehidupanku yang tidak pernah kumengerti alasan Tuhan menempatkanku di jalur itu.
Pemuda pertama yang hadir dalam kisah cinta SMA-ku adalah Mustafa. Awalnya aku sangat membencinya karena sikapnya yang mendekati kakak kelas agar mendapatkan keringanan saat menjalani orientasi siswa baru. Namun, cara dia mengambil hatiku menjadi terasa begitu luar biasa. Dia tidak pernah memberikanku apapun, tetapi dia mampu mengambil hatiku dengan isyarat-isyaratnya. Ketika aku sedang tertarik membaca isyarat yang diberikannya dengan berbagai rahasia di dalamnya, aku terbawa arusnya cinta untuk masuk ke dalam permainan hati dengan Mustafa.
Aku bukan gadis yang gampang jatuh cinta. Jika ada pemuda yang mendekatiku, aku akan menilai banyak hal darinya. Mulai dari fisik sampai ke perilakunya. Penilaian itu pula yang kuberikan kepada Mustafa.
Secara fisik, beberapa orang teman perempuanku mengatakan padaku bahwa dia tampan dan berpostur tubuh proporsional. Namun, tidak untukku. Bentuk wajahnya biasa. Badannya juga kurang tinggi. Hanya saja dia berkulit putih bersih, sedangkan aku tidak menyukai pemuda berkulit putih.
Secara sikap, menurut teman-temanku, Mustafa sangat didambakan oleh banyak teman perempuan. Dia juga baik dan sopan. Dia terkenal tertib dan tampil sebagai yang terbaik di Paskibra sekolah.
Namun, tidak begitu penilaianku untuk sikapnya. Dia itu pemuda yang pandai memikat hati perempuan, tetapi tidak pandai memeliharanya. Dia itu pemuda yang kurang mampu menempatkan diri. Dia tidak terlalu cerdas untukku, setidaknya untuk mata pelajaran eksakta dia masih sering bertanya padaku. masalah popularitasnya sebagai anggota Paskibra seolah yang terbaik, aku pun dapat menyatakan bahwa aku adalah anggota OSIS terbaik. Jadi itu tidak pernah menjadi pertimbangan untukku.
Penilaian itu berubah drastis ketika dia berhasil meraih hatiku. Dia tidak pernah menyatakan rasa suka ataupun merayuku seperti kepada kebanyakan teman perempuan yang lain. Dia memperlakukanku dengan istimewa. Aku tidak bisa memungkiri hal itu.
Sering aku mendapati dia sedang memandangiku diam-diam. Setiap bertemu dengannya, dia selalu menatap mataku dalam-dalam. Jika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, dia akan mencariku ke kelas. Suatu ketika Paskibra pernah menggunakan ruangan kelasku untuk rapat. Aku tidak pernah menyangka bahwa waktu itu, dia menanyakan kepada sahabatku kursi yang kududuki. Lalu dia duduk di kursi itu dan melihat seluruh isi meja dan laciku. Selain itu, banyak hal lain yang dia lakukan hingga membuatku yakin bahwa dia tulus menyukaiku.
Namun, aku salah dan romantisme itu hilang seketika di saat kebencian muncul di hatiku. Semua itu berawal dari penghianatan dari sahabat-sahabatku.
Ketika SMA di Medan, kau memunyai empat orang sahabat dekat. Mereka adalah Graha, Rahma, Fiza dan Rina. Mereka sudah kuanggap sebagai saudara dekatku. Walaupun gaya hidup mereka yang terkadang tidak dapat kuikuti membuatku sering merasa rendah diri, aku tetap memperlakukan mereka sebagaimana seorang sahabat. Apalagi Rina, dia merupakan temanku sejak SMA. Orangtuanya sudah kuanggap sebagai pengganti orangtuaku.
Keempat sahabatku mengetahui bahwa aku menyukai Mustafa. Namun, diam-diam Graha, Rahma dan Fiza justru mendekatkan Mustafa dengan Ruli, teman Graha saat SMP. Setelah Mustafa dan Ruli berpacaran, Mustafa masih terus mendekatiku dan ketiga sahabatku itu memamerkannya padaku. Persahabatan itu kandas. Mereka meninggalkanku. Ironisnya, hingga detik ini,mereka tidak memedulikan setiap sapaanku, padahal aku tidak pernah memusuhi dan memarahi mereka mengenai masalah itu.
Kebencianku kepada Mustafa muncul ketika dia memakiku dengan kata-kata yang kasar. Penyebabnya hanya sebuah permasalahan kecil, Ruli memutuskan hubungan mereka. Ruli mengetahui bahwa dia sering mendekatiku. Mustafa menuduhku telah mengadu kepada Ruli. Oleh karena itu, dia memakiku dengan kata-kata yang kasar dan tidak sopan. Sejak saat itu, aku tidak pernah menyimpan perasaan apapun dengannya. Dia hanya bagian dari masa lalu yang kelam bagiku.
Aku memang bukan seorang gadis yang cantik dan terlalu tertarik untuk menjalin hubungan kasih di masa SMA. Sehingga aku tidak pernah berpacaran. Cukup banyak teman yang mendekat. Namun, aku terlalu berpilih dan tidak semua kutanggapi. Apapun usaha mereka, jika itu tidak mengena di hatiku, aku tidak akan menoleh untuk melihat padanya.
Aga, Tyo dan Pras merupakan pemuda-pemuda yang mencoba mendekatiku. Aga, seorang pemuda yang bertemu denganku dalam sebuah lomba berbahasa Inggris yang diadakan TNI AD. Dia sangat ambisius. Dia mengirimkan hadiah novel untukku. Dia menjemputku saat pulang sekolah tanpa meminta izin dulu dariku. Dia juga rela menungguku pulang sekolah hingga menjelang petang. Namun, upayanya sama sekali tidak mampu meluluhkan hatiku.
Berbeda dengan Aga, Tyo tampil sebagai orang yang sangat sederhana. Perjuangannya pun tidak kalah hebat. Dia rela menjemputku pergi dan pulang sekolah, padahal jarak rumahnya dan rumahku cukup jauh. Dia tidak pernah memberiku apapun, tapi dia selalu menurut setiap kali aku meminta bantuannya untuk mengantarkanku ke berbagai tempat untuk berbagai keperluan. Dia siap kumintai bantuan kapanpun dan di manapun dia berada. Namun, sama dengan Aga, dia gagal mendapatkan hatiku.
Pras, tidak terlalu berjuang untuk mendapatkanku. Dia merupakan alumni di sekolahku dan seorang polisi di Sukoharjo. Dia menceritakan bahwa dia menyukaiku kepada sejumlah temannya yang merupakan tetanggaku. Oleh karena itu, banyak isu yang menyatakan bahwa aku dan dia sudah berpacaran.
Kau tidak perlu mencemburui mereka. Aga tidak pernah mencoba menghubungiku lagi. Tyo hanya berteman denganku dan hanya menghubungi jika dia ada perlu sesuatu denganku. Sedangkan Pras sudah menikah. Hatiku sudah terpatri padamu.
Galang,
Aku tidak tahu harus memulai dari mana kisahku dengan orang-orang dari lungkunganmu. Mungkin kau sudah mengetahui sebagian dari kisahku itu, karena dirimu menjadi saksi hubunganku dengan mereka. Namun, kau tidak pernah mengetahui kisah yang sesungguhnya dari semua cerita yang disampaikan oleh teman-temanmu. Oleh karena itu, dalam surat ini, aku akan menceritakan semuanya, agar kau tidak salah paham padaku.
***
Sore itu tanggal 4 Juli 2009. Aku sedang mencuci pakaian ketika kulihat sekelompok pemuda berpakaian biru sedang lalu lalang di depan kos-kosan. Ya, mereka adalah teman-temanmu dan mungkin saat itu kau juga menjadi bagian dari mereka yang lalu lalang. Aku tahu, aku terlihat begitu buruk saat itu. Pakaianku basah, rambutku berantakan dan pipiku berhiaskan bedak dingin yang begitu tebal.
“Peduli apa? Mereka juga tidak akan mengenaliku.” Begitulah pemikiranku saat itu. Aku tidak menghiraukan kehadiranku.
Setelah aku menyelesaikan pekerjaanku, aku mandi dan sedikit berdandan. Aku masih ingat dengan jelas, saat itu aku menggunakan pakaian bermotif boneka. Bukan pakaian bagus, tapi layak untuk dipakai.
Setelah itu, aku duduk di dipan yang berada di teras rumah. Aku menikmati keindahan sore hari. Walaupun ada kau dan teman-temanmu yang berlalu lalang, aku tidak peduli. Hari itu adalah hari pertamaku di rumah yang terletak di depan kos-kosan yang kau tempati. Itu pula hari pertamaku dapat duduk menikmati waktu senja di teras rumah setelah sekian lama aku tinggal di tempat yang tertutup dan terkucilkan.
Di saat aku sedang menikmati waktu senja, aku melihat mama membawa barang belanjaan yang sangat banyak untuk dijual. Aku berlari mendekati mama dan membantu beliau membawa barang dagangan. Aku dan adik-adikku membantu mama menyusun barang dagangan dengan penuh semangat. Untuk kami, keputusan mama membuka warung merupakan harapan baru  dalam hidup kami yang suram.
Modal yang kami gunakan saat itu adalah pinjaman dari pemilik kontrakanku dan kos-kosanm. Mama memutuskan untuk membuka warung kecil dengan modal itu. Itupun atas saran dari pemilik kos-kosan tersebut. Hari itu pula menjadi hari pertama keluargaku membuka warung kecil.
Setelah selesai membantu mama menyusun barang dagangan, aku duduk kembali di dipan. Beberapa saat kemudian, seorang pemuda datang dan memesan secangkir kopi susu. Dia adalah Hari. Mama memintaku mengantarkan kopi susu pesanannya itu ke depan kamar kos kalian. Ketika aku mengantarkan kopi susu itu, Hari berkata padaku, “Baru pindah ya, Mbak?” dan aku hanya menjawab dengan kata, “Iya.”
Jika kau bertanya mengenai perasaanku saat itu, maka aku akan menjawab bahwa tidak ada sesuatu yang spesial kala itu. Tindakannya kepadaku kuanggap sebagai hal yang biasa. Dia pria dan aku wanita. Ketika dia melihatku, mungkin dia merasa tertarik atau melihat peluang untuk berteman denganku. Menurutku, itu adalah hal yang wajar.
Di tanggal yang sama, aku bertemu denganmu. Tepatnya selesai shalat maghrib. Kala itu, aku melihat dirimu sedang berdiri di depan pintu warung, sedangkan aku hendak masuk ke dalam rumah yang juga merupakan warung kami itu. Aku mengetahui bahwa dirimu mengamatiku saat aku melewatimu. Aku hanya tersenyum simpul. Sambil melirik ke arah dadamu mencoba mencari tahu nama yang tertempel di pakaianmu. ‘Galang Novangga’, nama itulah yang kudapati di pakaianmu
Petang itu pula, aku melihat kau sedang mengobrol asyik dengan orangtuaku. Kau menceritakan berbagai macam pengalamanmu sebelum menjadi tentara. Aku merasa heran. Belum pernah seorang pun dari pemuda yang mendekatiku mampu seakrab itu dengan orangtuaku. Sedangkan kau dengan begitu mudahnya menarik perhatian orangtuaku.
Entah kau sadar atau tidak, aku saat itu mengamatimu dari depan pintu kamarku yang tidak jauh dari tempat kau duduk. Sejak saat itu pula, perasaanku tidak menentu saat melihatmu. Ya, aku mulai bertanya-tanya mengenai dirimu. Siapa dirimu dan mengapa aku merasa tidak asing denganmu, itulah pertanyaan yang ingin kucari tahu jawabannya.
Keesokan harinya, aku masih mengingat kejadian lucu yang terjadi di antara kita. Sungguh, aku merasa malu jika mengingat peristiwa itu. Andai kau masih mengingatnya, ketika itu, kau sedang berlari kecil ke warungku. Hatiku mendadak menjadi tidak karuan. Rasa malu, gugup—semuanya menjadi satu dalam hatiku.
“Mbak, ada Nescafe?” tanyamu kala itu.
“Nggak ada, Mas. Ada sih tapi takutnya nggak cocok,” jawabku datar.
Kau kelihatan begitu bingung mendengarkan jawabanku. Kau mengulangi pertanyaanmu hingga beberapa kali dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama. Hingga akhirnya, kau menunjuk kepada serenteng kopi susu yang menggantung di warung.
“Ini ada,” ucapmu dengan raut wajah yang masih kebingungan.
Aku langsung masuk ke kamar dan mama yang menghadapimu. Aku malu sekali kala itu. Hingga ketika mama menyuruhku untuk mengantarkan pesananmu, aku tidak memunyai keberanian. Namun, akhirnya kugagahi diriku dengan berkata, “Dia (dirimu) tidak akan mengenaliku. Aku dan dia tidak akan pernah berhubungan lagi. Kami hanya sebatas pembeli dan penjual. Pasti nanti dia akan lupa.”
Ternyata aku salah, aku bertemu lagi denganmu pada waktu petang. Andai kau masih mengingatnya pula. Petang itu, seniormu memesan segelas es teh sambil menggodaku. Saat aku mengantarkan pesanannya, dia meminta nomor telefonku dan aku hanya mengerutkan keningku. Ketika aku hendak berbalik ke warung, kulihat kau sedang duduk di depan pintu kamarmu dengan kaki bersila. Kau menggunakan kaos dalam berwarna putih. Kau tersenyum ke arahku.
Tahukah kau? Senyumanmu itu seperti bayangan yang terus mengikutiku. Aku menjadi seperti orang gila. Aku sering tersenyum-senyum sendiri. Aku belum pernah seperti itu sebelumnya. Ya, mungkin itu menunjukkan aku jatuh cinta padamu karena aku juga tidak mengetahui dengan pasti apa nama dari hal yang kurasakan itu. Jangan pernah kau tanyakan alasanku menyukaimu! Aku tidak pernah tahu dan paham mengenai hatiku. Dia memilih seseorang yang tidak pernah kukira sebelumnya. Dia memilihmu.
Sejak saat itu, pertemuan kita terus berlanjut. Aku masih menyimpan catatan itu dalam memoriku. Kita tidak pernah berkenalan dengan menyatakan nama masing-masing. Aku mengetahui namamu dari nama yang tertempel di pakaian yang kau pakai, sedangkan kau, entah darimana kau mengetahui namaku, aku tidak tahu. Aku hanya mengetahui bahwa kau memanggil namaku pertama kali ketika menegurku karena aku terlalu sering memakan kerupuk.
“Makan nasi dong Aya, makan kerupuk terus.” Begitulah teguranmu padaku. teguran yang membuatku terkejut sekaligus senang karena kau menyebut namaku, padahal aku tidak pernah memberitahukan namaku padamu.
Aku berharap kau pun masih mengingat ketika Arista sedang memainkan Blera[12] di Poskamling. Saat itu, kau berdiri begitu dekat denganku. Hatiku rasanya tak karuan. Aku dapat melihat dengan jelas raut wajahmu. Aku dapat menghirup aroma parfummu. Sungguh, hingga saat ini, ketika aku membayangkan hal itu, hatiku masih sama, jantungku masih berdebar begitu kencang. Ini konyol, tapi terjadi padaku.
Anak urang Tanjuang Andaleh
Pai kabalai hari sanjo
Bia habih bialah tandeh
Hati den kanai kaba-a juo[13]
Mungkin seperti pantun itulah hatiku kala itu. Aku pasrah pada hatiku yang telah jatuh cinta. Aku tetap mengikuti arus hatiku yang berisikan dirimu.
Tanggal 19 Juli 2009, aku berpacaran dengan Hari. Kau mungkin berpikiran bahwa saat itu aku menyukai Hari. Pada kenyataannya, aku tidak menyiimpan perasaan apapun padanya kala itu. Aku menerima pernyataan cintanya dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah status. Aku begitu ingin menyandang status memiliki pacar. Hal ini aku lakukan karena ada perasaan terpojok ketika adik-adikku menyindirku karena aku tidak pernah berpacaran, padahal usiaku sudah 18 tahun.
Aku merasa kecewa sekaligus gelisah ketika dia mengatakan padaku bahwa kau menjadi orang pertama yang mengetahui hubungan kami. Ada semacam kesal terhadap sikapnya yang memberitahumu mengenai hubungan kami. Namun, aku kembali menyanggah diriku. Aku mulai belajar untuk memahami bahwa kau tidak menyukaiku dan tidak ada gunanya aku menyimpan perasaanku untukmu. Aku pun mulai belajar menyukai Hari.
Beberapa kali aku mendapati raut wajahmu yang menunjukkan ketidaksukaanmu melihatku dengan Hari dan ketika kau melihatku diganggu oleh teman-temanmu. Aku menyukai kecemburuanmu. Walaupun kau menyangkal bahwa kau mencemburuiku, matamu tidak pernah bisa berbohong padaku.
Aku masih mengingat dengan jelas, saat kau tidak memedulikanku yang memanggil-manggil namamu dan kala itu aku sedang bersama dengan Hari. Aku pun masih mengingta bagaimana raut wajahmu saat teman-temanmu menggangguku dan bercanda denganku. Kau hanya diam, tapi aku tahu kau tidak menyukainya. Galang, sampai kapanpun aku akan mengingat itu karena kau begitu terlihat manis saat sedang mencemburuiku.
Tanggal 10 Agustus 2009, saat itu adalah terakhir kalinya aku melihatmu. Aku melihat ada sebuah beban berat di hatimu. Pertemuan terakhir itu menyiratkan padaku bahwa kau merasakan berat hati. Hingga detik ini, aku masih mengira-ngira alasan beban berat di hatimu itu. Adakah itu karena diriku? Oh, sungguh itulah yang kuharapkan!
Setelah itu, kisah kita sempat memudar untuk waktu yang cukup lama dan pil pahit kenyataan harus kutelan karena keputusanku menerima pernyataan cinta dari Hari. Aku yang telah bersusah payah belajar mencintainya dan tetap bersabar menjadi kekasihnya di dalam jarak yang tidak dapat kupastikan kapan akan berakhir ternyata harus menerima penghianatan. Setelah pada tanggal 16 Agustus 2009, Hari datang berpamitan padaku untuk menempuh pendidikan kejuruan di Bandung, dia menyatakan ketulusannya. Aku mengira itu adalah hal yang harus aku pertimbangkan. Rasanya tidak pantas, jika ada seorang pria yang tulus mencintaiku, tapi aku tidak mencintainya. Oleh karena itu, aku belajar mencintainya.
Beberapa waktu kemudian, dia menghilang bak ditelan bumi. Aku tida tahu apa yang terjadi padanya. Hampir dua bulan tanpa kabar, dia hanya menghubungiku sekali untuk menanyakan kabar. Setelah itu, dia menghilang kembali. Hingga akhirnya pada bulan Desember 2009, aku memillih untuk mengakhiri hubungan kami.
Berakhirnya hubungan kami ternyata masih menumbuhkan luka baru dalam hidupku. Pada bulan Maret 2010, aku dihubungi oleh seorang wanita di waktu tengah malam. Dia mengaku bernama Tiara. Dia memaki-makiku. Dia menyebutku sebagai perebut kekasihnya, yaitu Hari. Dia mengatakan bahwa dirinya membenciku karena aku masih menjadi kekasihnya Hari ketika mereka mulai berpacaran pada bulan November 2009.
Aku hanya dapat mengurut dada. Aku mencoba bersabar menghadapi Tiara. Aku menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku menyadari posisiku sebagai seseorang yang tidak memiliki apapun. Walaupun seharusnya aku yang marah padanya karena telah menjadi kekasih Hari di saat aku masih berstatus pacarnya Hari, aku hanya bisa diam. Hanya tetesan air mata yang mampu menggambarkan betapa terlukanya hatiku.
Aku sedang membangun kembali hatiku yang hancur karena perlakuan Hari dan Tiara saat kau kembali hadir ke dalam hidupku. Semuanya berawal dari keisenganku padamu. Aku mencoba menghubungimu ke nomor yang terakhir kali dipakai olehmu untuk menghubungiku. Aku begitu terkejut ketika kuketahui bahwa nomor itu bukan milikmu. Nomor itu adalah nomor temanmu yang bernama Yido.
Aku berusaha bersikap seperti layaknya orang yang salah sambung. Kemudian, dia menelfonku untuk mengobrol denganku. Di tengah pembicaraan, aku menanyakan beberapa temanmu, lalu kutanyakan mengenai kabarmu.
“Kamu ini sebenarnya pacarnya Galang ya?” tanya Yido padaku.
“Bukan. Galang kan udah punya pacar. Dua orang lagi pacarnya,” jawabku.
“Hahaha. Nggak mungkin Galang punya dua pacar. Dia itu nggak punya pacar sama sekali.”
“Tapi dia bilang gitu waktu terakhir kali telefon Aya,” ujarku dengan penuh ketidakpercayaan.
“Galang kamu percaya.”
Begitulah pembicaraan kami. Yido mengira bahwa aku adalah pacarmu pada saat itu. Aku sempat berpesan pada Yido agar tidak memberitahumu mengenai pembicaraan kami. Aku tidak ingin kau marah karena aku menyatakan pada Yido bahwa kau mengatakan padaku bahwa kau memunyai pacar lebih dari satu.
Namun, dia mengingkari janjinya. Kau menghubungiku pada tanggal 20 Juni 2010. Hanya dengan sapaan bertuliskan, “Hai Ay, apa kabar?”
Kehadiranmu itu menjadi sebuah kebahagiaan baru untukku. Aku bahagia karena dengan kau menghubungiku dan kita saling bertukar cerita, aku dapat mengetahui bahwa masih ada orang yang mengingatku walaupun sudah lama tidak bertemu. Apalagi orang yang mengingatku adalah orang yang membuatku seperti orang gila sejak pertama bertemu.
Pada tanggal 21 Juni 2010, di waktu petang, kau menyatakan perasaanmu dan aku menjadi pacarmu. Andai kau tahu betapa besar rasa syukurku saat itu. Sungguh tidak bertepi kebahagiaan yang kurasakan. Tidak putus aku mengucapkan rasa syukur pada Tuhan. Itulah pertama kalinya aku menangis karena sebuah kebahagiaan yang tidak dapat kuungkapkan dengan kata-kata.
Aku amanahkan hatiku padamu kala itu karena aku meyakini bahwa kau akan menjaganya. Walaupun kita sering bertengkar selama dua minggu berpacaran, aku tetap bertahan. Aku dapat melihat rasa sayangmu ketika kau menelfonku. Aku meyakini bahwa hatimu ada untukku.
Sungguh aku tidak percaya, ketika kau meninggalkanku pada tanggal 3 Juli 2010. Kau pergi tanpa alasan yang jelas. Kau tidak menanggapi setiap pesanku dan telefon dariku. Namun, ketika temanku yang menghubungimu, kau menanggapinya. Sungguh hatiku terasa begitu sakit. Aku terkejut sekaligus kecewa. Aku tidak menyangka bahwa kau akan memperlakukanku seperti itu, padahal pada malam sebelumnya kita saling bermesraan melalui telefon.
Kekecewaan memenuhi sebagian hatiku. Namun, sebagian hatiku yang lain meyakini bahwa hatimu masih untukku. Oleh karena itu, aku tetap menunggu jawaban darimu. Aku menunggu berakhirnya kediamanmu.
Aku memberanikan diri untuk menghubungimu kembali pada 25 Juli 2010. Aku mengirim pesan bertuliskan “kangen” padamu. Aku menyimpan harapan bahwa kau akan membalas, tetapi ada sebuah keraguan untuk itu. Ketika kau membalas pesanku itu, hatiku senang sekali. Apalagi saat kau memberikan segenap perhatianmu padaku. Sungguh itu adalah obat hati yang paling mujarab untukku.
Menjelang ulang tahunku yang ke-19, pada tanggal 5 Agustus 2010, aku mencoba menghubungimu. Aku berharap kau akan mengingat hari ulang tahunku. Ironisnya, aku tidak mendapati harapanku menjadi sebuah kenyataan, justru sebuah kenyataan pahit yang terasa begitu menikam ke jantungku.
Bukan dirimu yang membalas pesanku, melainkan seorang gadis yang mengaku sebagai kekasihmu. Gadis itu bernama Deli. Dia melarangku menghubungimu. Dia mengatakan kepadaku bahwa kau tidak pernah mencintaiku. Dia mengatakan kepadaku bahwa aku hanya seorang wanita yang dijodohkan orangtuamu padamu. Dia pun mengatakan bahwa cintamu sudah sepenuhnya untuk dirinya.
Galang, cobalah kau memosisikan dirimu sebagaimana diriku dalam kondisi itu. Kau akan mengetahui betapa dalamnya luka di hatiku. Jika memang Deli mengatakan sebuah kebenaran, maka itu berarti kau hanya ingin mempermainkanku. Kau pun hanya sama seperti Hari. Itu menunjukkan bahwa kau mengingkari janjimu untuk menjaga hatiku dan tidak akan melukai perasaanku. Namun, aku tetap memercayai hatiku yang meyakini bahwa hatimu masih menyayangiku.
Aku membenci hari ulang tahunku yang ke-19 itu. Hanya ada aku yang terbangun di tengah malam dan menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun”. Aku mencoba menghapuskan lara di hatiku kala itu. Namun, aku tidak bisa. Aku masih terus memikirkanmu dan hatimu. Untuk siapa hatimu itu? Kenapa kau begitu tega padaku? Itulah pertanyaan yang ingin kuketahui jawabannya, tapi kau tak pernah memberiku kesempatan untuk mengetahuinya.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ya, itulah aku di hari ulang tahunku yang ke-19. Setelah kehilangan dirimu, aku harus menghaddapi Hari dan Tiara yang menghubungi di hari itu. Mereka menghubungiku dan memaki-makiku. Mereka tertawa dengan puas ketika mengetahui kau meninggalkanku untuk Deli. Tiara mengataiku tidak berpendidikan, wanita murahan, mahasiswa urakan dan berbagai cemoohan lainnya.
Lantas, apa kau kira aku berdaya kala itu? Sama sekali tidak, Galang. Aku tidak berdaya. Aku hanya dapat bersikap tegar di dalam keperihan hatiku. Aku mencoba berdiri tegak sebagaimana karang diterpa ombak besar.
Galang,
Aku tidak peduli apa yang dikatakan Deli. Aku tidak peduli dengan cemoohan dan cercaan dari Hari dan Tiara. Aku hanya peduli pada keyakinanku bahwa hatimu hanya untukku. Aku mengenalmu lebih daripada diriku sendiri. Aku bisa mengetahui apa yang kau rasakan hanya dengan memandang wajahmu dan memahami sifatmu. Namun, aku tidak pernah dapat memahami diri dan perasaanku hingga aku tetap bertahan mencintaimu.
Aku belajar merelakanmu, tapi tidak pernah bisa menghapus rasa di hatiku. Mungkin kau tidak tahu, apa yang Deli ucapkan padaku tidak sekedar cemoohan. Dia menceritakan padaku bahwa kau pernah bercerita kalau dirimu pernah membayarku sebesar tiga ratus ribu untuk menemanimu tidur. Sungguh fitnah yang mampu menghancurkan hatiku sepenuhnya. Namun, aku kembali pada keyakinanku. Kuyakini dengan segenap hati dan perasaanku, hatimu masih untukku.
Perlahan aku belajar melupakanmu. Aku menggunakan seluruh waktuku hanya untuk kuliah dan mengajar les privat. Bahkan, hampir tidak ada waktu untuk berduduk santai memikirkanmu dan segenap perasaanku. Dari pagi ke malam dan malam bertemu pagi lagi. Namun, aku harus menangis setiap kali aku menghela nafas dan terbayang luka di hatiku. Apalagi setelah aku mengetahui dirimu telah memiliki kekasih yang baru, seluruh hatiku sudah hancur dan tak berbentuk.
Di kala aku sedang menata hatiku yang telah hancur lebur, Hari mendekatiku lagi. Dia mengakui bahwa dia memunyai kekasih di Palembang saat masih menjadi pacarku. Terkadang dia masih merayuku, tapi itu tidak berdampak apapun pada perasaanku. Bahkan, aku menyatakan kejujuran padanya. Kukatakan bahwa aku menyukaimu sejak dulu saat dia masih menjadi pacarku.
Untuk melupakanmu, aku menjadi wanita yang jahat. Aku bermain-main dengan api. Aku menanggapi beberapa orang siswa bintara TNI AU yang sedang menempuh pendidikan di dekat rumahku ketika mereka mengajakku berkenalan. Hingga akhirnya aku berpacaran dengan Fauzi pada 30 November 2010. Saat berpacaran dengan Fauzi, aku dekat pula dengan beberapa temannya. Aku sudah lelah menjadi wanita yang setia, tapi dikhianati.
Fauzi marah padaku. apalagi ketika dia memegang tanganku, Aku menarik tanganku karena terkejut. Aku terkejut karena aku terbayang wajahmu kala itu. Kau seperti hantu dalam hidupku. Aku tidak tahu mengapa kau muncul saat Fauzi hendak memegang tanganku.
Hal itu membuat Fauzi marah dan aku memutuskan hubungan kami. Setelah itu, kami tidak pernah berhubungan lagi. Aku tidak pernah mencoba menghubunginya. Begitupula dengan dirinya. Saat ini pun aku tidak pernah berhubungan lagi dengan teman-teman Fauzi.
Sedangkan Deddy yang pernah membuatmu cemburu belakangan ini, dia hanya temanku saja. Tidak pernah ada perasaan lebih kepadanya. Walaupun dia memendam perasaan kepadaku, aku tidak peduli. Ingatlah bahwa aku bukan wanita yang mudah jatuh hati!
Galang,
Pemuda yang hadir terakhir kali sebelum kita kembali pada hubungan kita adalah Widi. Dia adalah seniormu dari satuan yang sama. Kami berkenalan melalui Bu Rum, ibu dari salah satu temanmu yang sempat mengenalku.
Kanaya yang jahat itu masih ada dalam diriku kala itu. Aku tertarik pada pangkatnya yang lebih tinggi darimu. Aku berharap dengan aku menjadi kekasihnya, kau akan merasakan penyesalan karena telah meninggalkanku. Oleh karena itu, aku menerima permintaannya untuk mengenalku lebih jauh.
Pada 9 April 2010, TNI AU merayakan hari ulang tahunnya dan berbagai atraksi dipertunjukkan di Lanud Halim Perdana Kusuma. Aku diminta Bu Rum untuk datang ke Jakarta. Aku menanyakan apakah prajurit dari Biak juga datang di dalam acara itu. Bu Rum menyatakan bahwa prajurit dari berbagai wilayah datang ke Jakarta hari itu. Aku pun memutuskan untuk berangkat ke Jakarta seorang diri walaupun aku tidak mendapatkan izin mama. Aku berangkat dengan harapan akan bertemu denganmu di Lanud Halim Perdana Kusuma.
Harapanku pupus ketika aku mengetahui tidak ada dirimu di dalam acara itu. Aku hanya dapat tersenyum mendapati kebodohanku yang mnegira kau akan datang dari tempat yang begitu jauh hanya untuk acara yang tidak terlalu penting seperti itu. Aku kecewa kala itu. Namun, aku tidak dapat berbuat apapun.
Di tengah kekecewaan yang kututupi di depan Bu Rum itu, aku dipertemukan dengan Widi. Di depan sebuah hanggar pesawat, kami sempat mengobrol. Aku pun kembali pada pemikiran jahatku untuk membuatmu menyesal karena telah meninggalkanku dengan cara mendekati seniormu. Oleh karena itu, aku menunjukkan keceriaan di hadapannya.
Malam harinya aku diajak oleh Widi ke Monas dan stasiun Jatinegara untuk melihat jadwal keberangkatan kereta api. Ketika aku dan dia berjalan memasuki stasiun Jatinegara, dia menggenggam tanganku seolah ingin melindungiku dan membimbingku menerobos keramaian stasiun. Aku tidak terbiasa dengan keadaan seperti itu, sehingga aku menoleh ke arahnya dan merasa keheranan. Aku melihat raut wajahmu di wajahnya. Tubuhku terasa lemas. Aku hanya bisa menunduk dan mengikuti ke mana pun dia menarik tanganku.
Hal yang sama terjadi saat di Monas. Itu membuatku tidak berani menatap wajahnya. Sepanjang pembicaraan aku hanya melihat pada rerumputan yang kami duduki dan sekeliling kami yang terlihat begitu ramai. Aku hanya sesekali menoleh kepadanya.
Ketika aku pulang ke Solo keesokan hatinya. Di hatiku ada segudang kegundahan. Mama marah padaku karena aku tidak segera kembali ke Solo. Sedangkan aku tidak dapat berangkat ke stasiun Jatinegara dari rumah Bu Rum karena Widi memilih untuk membelikan tiket kereta api ekonomi. Aku kecewa sekali dengan sikap Widi. Aku tidak pernah memintanya untuk membelikanku tiket dan sepulang dari stasiun Jatinegara pada malam sebelumnya aku sudah memutuskan untuk membeli tiket kereta eksekutif dengan uangku sendiri.
Dalam perjalanan pulang ke Solo, adik Widi menghubungiku dan mengucapkan selamat padaku karena telah berpacaran dengan Widi. Aku terkejut kala itu karena Widi tidak pernaha mengutarakan perasaannya padaku. Namun, aku kembali pada tujuan awalku mendekati Widi. Oleh karena itu, aku bersedia menjadi kekasihnya.
Selama berpacaran dengannya, aku dapat melupakanmu beberapa saat, tapi aku tidak pernah berhenti mencari informasi mengenai keadaanmu. Beberapa kali dia datang ke rumahku dan kedatangan pertamanya memberikan kesan yang kurang baik. Mama langsung mengatakan ketidaksetujuannya pada hubungan kami dan memintaku untuk mengakhiri hubunganku dengannya.
Aku merasa berat untuk melakukan permintaan mama karena Widi terlihat begitu tulus kepadaku. Apalagi dia menyatakan keseriusannya padaku. dia juga selalu bersikap manis padaku. Walaupun ku sering kesal dengan sikapnya yang sering membandingkanku dengan mantan-mantan kekasihnya dan dia selalu bercerita tentang dirinya tanpa mau mendengarkan diriku, aku tetap bertahan. Bahkan, aku sempat datang ke rumahnya untuk bertemu dengan orangtuanya yang ingin mengenalku.
Seperti pepatah Minang yang berbunyi “Takuruang nak dilua, taimpik nak diateh”[14]. Seperti itulah dirinya. Ketika dia membutuhkan bantuan, dia akan mendatangiku, tapi jika tidak ada keperluan, dia tidak akan menghubungiku. Itulah dirinya yang kukenal setelah pertemuan terakhir kami.
Hatiku dapat merasakan ketidakjujuran darinya. Aku pun merasa tersinggung dengan sikapnya. Dia tega mematikan telefon saat aku sedang berbicara hanya untuk membuka salahh satu jejaring sosialnya dan berkomunikasi ria dengan seorang wanita asal Solo yang menurut pengakuannya pernah menolak pernyataan cinta darinya. Wanita itu bernama Mala. Dia juga menceritakan bahwa Mala menyatakan cinta padanya. Dia memintaku mengerjakan naskah lomba yang akan dikumpulkan atas namanya dan setiap kali dia menghubungiku, dia hanya menanyakan mengenai naskah lomba itu.
Aku pun mulai mempertimbangkan permintaan mama untuk memutuskan hubungan dengannya. Aku mencari waktu yang tepat untuk menyatakan keputusanku padanya dan aku memilih tanggal 10 Oktober 2011 untuk memutuskan hubungan kami. Aku memilih tanggal itu karena itu bertepatan dengan setengah tahun masa pacaran kami dan aku ingin memberikan dia pukulan telak sebagai balasan atas perlakuannya padaku.
Di tengah rencanaku untuk memutuskan hubungan dengan Widi, kau hadir kembali dalam hidupku. Kau merasa senang sekali kala itu. Kau mampu mencairkan kebekuan di antara kita karena permasalahan masa lalu itu. Kau tidak pernah merayuku, tapi kau memberikan banyak tanda mengenai hati dan niatanmu.
Ketika kau menunjukkan perhatian yang lebih besar daripada saat kita berpcaran yang pertama kali, kau sudah mengetahui isi hatimu, tapi aku masih diam. Ketika aku menyarankan sebuah foto untuk dijadikan foto profil di salah satu jaringan sosial, kau langsung menggunakan foto itu. Dari hal itu pun, aku sudah mengetahui niatanmu.
Tanggal 8 Oktober 2011, kau menyatakan keinginanmu untuk menjalin hubungan denganku. Menjalin kembali hubungan yang sempat terputus. Aku tidak langsung menerimamu karena aku merasa tidak pantas menerimamu sebelum aku memutuskan hubunganku dengan Widi. Kau pun sempat menarik kata-katamu ketika kukatakan bahwa aku masih berpacaran dengan seniormu. Kita berteman setelah pernyataanmu itu.
Pada 10 Oktober 2011, pada pagi harinya aku mengucapkan selamat hari jadian yang ke-6 bulan pada Widi. Dia merasa senang karena mengira aku membuka jalan untuk memperbaiki hubungan kami yang sudah renggang. Tanpa disangkanya, pada siang harinya, aku memutuskan hubungan kami. Dia memintaku untuk mempertimbangkan keputusanku dan aku tetap bersikukuh untuk mengakhiri hubungan yang kurasa sudah tidak sehat itu.
Galang,
Kau tidak tahu permasalahan itu. Kau mengetahui hal itu pada tanggal 18 Oktober 2011 dan hari itu kita resmi berpacaran. Semua masalah waktu. Ketika aku meyakini satu hal dalam hidupku, aku tahu itu akan terjadi. Kau bagian dari hal yang kuyakini akan kembali dalam hidupku. Oleh karena itu, aku menerimamu dengan tangan terbuka.
Galang,
Ini bukan waktu pertama kau memiliki hatiku. Kau memilikinya sejak dulu. Hanya saja saja kau memutuskan untuk menunda memahaminya hingga kau yakin bahwa kau telah memilikinya.
Kuceritakan semua ini untukmu. Agar kau tidak hanya menduga-duga mengenai diriku. Sehingga kau tidak termakan kata-kata kebohongan dari orang yang menginginkan akhir dari kebersamaan kita. Kuceritakan ini dengan sejujur-jujurnya. Jika suatu saat muncul keraguan dalam hatimu, maka coba kau dengarkan hatimu, apakah dia meragukanku juga atau tidak karena hati tidak pernah berbohong.
Aku menyayangimu seperti kau menyayangiku.
Salam dan peluk cinta dari jauh untukmu yang terkasih,
Kanaya Arnelita
***
Galang melipat kumpulan kertas yang dipegangnya. Dipandanginya foto yang tertempel di bagian depan kumpulan kertas itu. Dia tersenyum. Lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu itu, Ay. Selalu bisa buat aku senyum-senyum sendiri,” ucapnya lirih.
Galang berdiri dan menyimpan kumpulan kertas itu di lemarinya. Dia terhenti sejenak di depan pintu lemari sambil mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. Ditutupnya kedua matanya dan ditariknya nafas panjang. 
Lalu, dia bergegas menuju ke ruang keluarga. Di ruangan itu ada Bu Rini dan Pak Mahmud yang sedang menonton televisi. Galang berjalan mendekati kedua orangtuanya. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang terletak bersebelahan dengan kursi yang diduduki orangtuanya.
“Ibu, Ayah, bisakah bulan depan kita menambah satu anggota keluarga lagi di rumah ini?” tanya Galang tiba-tiba.
Bu Rini dan Pak Mahmud saling berpandangan. Kemudian mereka mengangguk sambil tersenyum pertanda setuju.
***
BAGIAN III
Aku melangkah dengan terburu-buru. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumah. Mama memintaku segera pulang, padahal urusanku di kantor perpajakan masih belum selesai. Mama tidak pernah seperti ini sebelumnya. Oleh karena itu, aku sangat cemas dan gelisah.
Jalanan di kota Solo tidak terlalu padat. Sehingga arus lalu lintas berjalan lancar. Hal ini mempermudahku untuk segera tiba di rumah.
Sesampainya di rumah, aku semakin gelisah ketika kulihat ada keramaian di rumahku. Pikiranku semakin kacau. Setengah berlari aku mendekati rumahku.
“Ini dia yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga!” seru mama sambil menyambutku yang baru sampai di depan pintu.
Kulihat ada Galang, kedua orangtuanya dan segenap keluarganya sedang duduk bersebelahan dengan mama dan bapak. Aku tidak tahu mengapa kedua keluarga ini berkumpul di ruang tamu rumahku. Namun, aku mencoba bersikap sewajarnya. Aku mencium tangan Bu Rini lalu mencium pipi kanan dan kiri beliau. Kemudian aku mencium tangan Pak Mahmud. Setelah itu, aku menyalami satu per satu anggota keluarga Galang yang lainnya.
Aku terhenti sesaat dan kupandang Galang dengan penuh keheranan. Galang hanya memandangku dengan keheranan pula.
“Maaf, ini ada apa ya, Ma? Bu, ini ada apa?” tanyaku penasaran.
“Jangan banyak tanya dulu! Sekarang, cepat ganti baju terus ke sini lagi ya!” perintah mama dengan nada yang halus.
Aku masih bingung dan heran dengan apa yang kulihat, tapi aku hanya dapat menuruti perintah mama. Aku mengganti pakaianku dan kembali ke ruang tamu dalam keadaan yang lebih rapi. Bu Rini dan Pak Mahmud memandang  ke arahku dengan penuh senyum. Sesekali mereka melihat ke arah Galang yang masih duduk diam dan tenang.
“Sebenarnya ada apa ya, Bu?” tanyaku masih penasaran.
“Begini Nak Aya, kami datang ke sini untuk menanyakan sesuatu kepada Nak Aya,” ucap Bu Rini.
“Menanyakan apa ya, Bu?” tanyaku masih penuh dengan rasa penasaran.
“Mungkin Galang saja yang menanyakannya langsung,” ucap Pak Mahmud.
Aku mengalihkan pandanganku kepada Galang. Dia sedang memperbaiki posisi duduknya dan menghela nafas panjang. Aku mengerutkan dahiku melihat tingkah laku Galang yang menurutku sangat kaku.
“Aya,” panggil Galang.
“Iya,” jawabku.
“Hmmm...”
“Ada apa, Lang?”
“Kita kan udah lama sama-sama. Udah saling kenal selama tiga tahun. Kamu mau nggak jadi istriku?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan Galang. Aku tidak dapat memungkiri bahwa hatiku bahagia. Namun, dalam hatiku, aku masih mempertanyakan hasil dari pertimbangan Galang terhadap apa yang telah kusampaikan.
“Aya, kok nggak dijawab?” tegur mama.
Aku masih diam memandang Galang yang sudah mulai salah tingkah dan tertunduk, lalu kuarahkan pandanganku kepada orangtua Galang.
“Ibu, Bapak, terima kasih karena sudah berkenan memilih Aya untuk menjadi istrinya Galang. Namun, sebelumnya Aya mau bertanya, apakah Ibu dan Bapak sudah mantap pula dengan pilihan dari Galang ini?”
“Kami nggak ragu sama Nak Aya. Galang pun juga udah sayang sekali sama Nak Aya. Jadi kami nggak punya alasan buat nggak mantap sama Nak Aya,” jawab Pak Mahmud.
Aku tersenyum mendengar jawaban Pak Mahmud. Aku kembali menatap Galang.
“Lang, bisakah kau menatap mataku?” tanyaku.
Galang mengangkat wajahnya. Kudapati sebuah kegelisahan di dalam raut wajah yang selalu kurindukan itu. Aku tersenyum dengan harapan itu dapat mengurangi ketegangan yang melanda dirinya.
“Apakah ini jawaban atas pertanyaanku kemarin dulu? apakah ini eputusan akhirnya?” tanyaku perlahan.
“Iya. Ini keputusanku. Aku mengikuti kata hatiku dan mengikuti saranmu,” tukas Galang.
Aku menarik nafas. Kupandangi seluruh keluarga Galang yang ada di ruangan itu, termasuk kedua orangtua Galang. Lalu aku melihat ke arah orangtuaku. Mama mengangguk pertanda bahwa beliau setuju dan memintaku segera memberikan jawaban.
“Bapak, Ibu, Galang dan semua sanak saudara yang sudah ada di ruangan ini. Terima kasih banyak, Aya ucapkan karena berkenan memilih kanaya untuk menjadi anggota keluarga kalian. Hari ini, Aya diminta untuk menjawab pertanyaan sekaligus permintan dari Galang untuk menjadi istrinya. Ini akan menjadi keputusan terbesar dalam hidup Aya. Oleh karena itu, Aya berharap jawaban Aya ini nanti bisa membahagiakan semua pihak, tanpa terkecuali.
Bismillahirrohmanirrahim. Galang, insya Allah, aku bersedia menjadi menjadi istrimu,” jawabku.
“Alhamdulillah!” seru semua orang yang berada di dalam ruangan itu.
“Jadi, lamaranku diterima kan, Ay?” tanya Galang memastikan.
Aku mengangguk—mengiyakan pernyataan Galang. Dia terlihat senang sekali. Ketegangan yang kulihat ketika pertama kalian kau memasuki ruangan tidak terlihat lagi. Wajahnya berseri-seri, penuh kebahagiaan. Begitupula dengan orangtua Galang, orangtuaku dan seluruh anggota keluarga lainnya.
***
Ruangan kamarku terlihat penuh sesak. Ada berbagai macam perlengkapan untuk pesta pernikahan yang akan dilaksanakan dua minggu lagi. Aku duduk di salah satu sisi tempat tidur. Aku memandangi seluruh isi kamarku. Di salah satu sisi meja aku melihat tergeletak sebuah Tengkuluk[15] berdiri kokoh dan indah. Di sebelahnya, aku melihat sebuah Bulang[16] dengan bentuk yang berbeda, tapi terlihat sama kokohnya dengan Tengkuluk. Ya, pernikahan kami akan menggunakan dua adat dari pulau Sumatera. Adat Minangkabau dari Sumatera Barat dan adat Batak Mandailing dari Sumatera Utara.
Aku menarik nafas panjang. Hatiku selalu merasa gugup dan gelisah jika membayangkan hari H tiba. Rasa tidak sabar menderaku, tapi kegugupan dan hatiku yang berdebar begitu kencang pun hadir dalam waktu yang bersamaan.
“Aya!” panggil mama lirih.
Aku menoleh ke arah pintu kamar. Kulihat mama sudah berdiri di depan pintu dengan senyuman yang sulit kugambarkan. Perlahan, mama melangkah ke arahku.
“Deg-degan ya?” tanya mama setelah berdiri di sampingku.
“Iya, Ma. Mama dulu ngerasain gini nggak?” tanyaku.
“Waktu sama almarhum ayah nggak. Aya tahu sendiri kan kondisinya? Apalagi tidak ada pesta pernikahan, cuma acara ijab kabul aja. Tapi, kalau sama bapak, mama deg-degan juga. Soalnya kan ada pesta pernikahan. Ada banyak orang yang melihat. Mulai dari saudara sampai teman, jadi ya kebayang kalau nanti bapak salah ucap waktu ijab gimana, kalau mama nggak terbiasa pakai kebaya gimana, atau ngebayangi penampilan waktu hari H seperti apa. Jadi ya deg-degan juga.”
“Iya, Aya juga ngebayangi tentang itu semua. Jadi deg-degan. Hehehe...,” ujarku sambil tertawa.
“Aya, sebentar lagi kan Aya bakal jadi istrinya Galang, Aya harus belajar banyak hal,” ucap mama.
“Belajar apa, Ma?” tanyaku.
“Balajar banyak hal. Setelah nanti Galang menjadi suami Aya, Aya udah bukan tanggung jawab mama lagi. Aya udah jadi tanggung jawab Galang. Aya harus bisa menempatkan diri sebagaimana seorang istri. Bersikap mandiri, telaten dan jujur kepada suami menjadi kewajiban Aya. Kalau lagi berantem sama Galang, jangan mengadu sama orangtua! Kecuali udah nggak ada jalan keluarnya.
Tugas kami sebagai orangtua memang belum selesai waktu kalian menikah, tapi tugas kami bukan menjaga dan mengatur kalian lagi. Tugas kami hanya sebatas mengawasi dan memberikan saran. Kalian yang menjalani rumah tangga yang kalian jalin.
Selain itu, jangan pernah Aya mengumbar permasalahan Aya di rumah dengan siapa pun! Kehormatan Galang menjadi tanggung jawab Aya. Ingat bahwa istri itu ibarat pakaian untuk suaminya! Jadi, Aya harus bisa menjaga martabat dan kehormatan Galang sebagai suaminya Aya.
Ya, tugas menjadi seorang prajurit itu nggak gampang. Tugas Aya nanti, sebagai istri prajurit pun tidak musah. Aya harus bisa membagi waktu dengan tugas Galang. Ingat Ya, beban pertahanan negara ini berada di pundak Galang. Jika dia harus melakukan tugas yang jauh, Aya harus sabar, jangan banyak mengeluh! Kurangi sifat manja Aya! Kasihan Galang kalau harus kepikiran Aya terus waktu tugas nanti,” nasihat mama.
“Iya, Ma. Makasih ya, Ma,” ujarku sambil memeluk mama.
Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh melangkah menuju kamarku. Kemudian disusul dengan kemunculan Arista dan Zahra yang terlihat sangat gugup.
“Ma, Ya, itu... itu...,” ujar Arista terputus-putus sambil terus melihat ke arah ruang tamu.
“Kenapa sih?” tanyaku keheranan.
“Itu... Itu Bang Fandi datang sama rombongan dari Medan,” ucap Zahra.
Aku dan mama terkejut sekali. Kami saling bertatapan. Lalu aku merapikan diriku. Kusisir rambutku dengan terburu-buru. Begitupula dengan mama, lalu kami keluar dari kamar menemui rombongan yang datang dari Medan itu.
“Assalamualaikum,” ucapku ketika memasuki ruang tamu.
Kulihat ada lima orang paruh baya sedang duduk di kursi tamu. Dia adalah Uwak[17] Ramdan—kakak laki-laki ayah, Bang Fandi, Kak Nur dan suaminya, serta Bouk Nisma. Aku hanya tersenyum simpul pada mereka. Dalam hatiku masih ada luka yang akan terus kukenang, tapi mereka adalah tamu di rumahku ini, maka sudah sewajarnya aku bersikap sopan kepada mereka.
“Katanya mau nikahan, kenapa nggak bilang sama keluarga di Medan?” tanya Bang Fandi.
“Memangnya masih ada orang sana yang menganggap kami keluarga?” tukas Zahra.
“Hush, Zahra,” sergahku.
“Aya, memangnya kau nggak mau ziarah ke makam Mamak[18]?” tanya Bang Fandi.
“Seharusnya kau itu ziarah dulu ke makam ayah kau. Udah itu baru kau ke tempat Uwak Ramdan buat minta restu. Kayak gimana pun menurut syarak, kalau ayah meninggal, saudara laki-laki ayah yang bertanggung jawab untuk semua urusan pihak wanita,” jelas Bouk Nisma.
“Ketika tanah makam ayah masih basah, tidak seorang pun dari kalian memberikan kabar dan memberitahukan letak makam ayah. Sekarang kalian memintaku untuk berziarah. Ke mana? Ke makam siapa?
Bukan maksud hati ingin durhaka, tapi kalian harus ingat bahwa kami adalah anak-anak yang kalian terlantarkan bertahun-tahun silam. Uwak memang bertanggung jawab pada kami—anak-anak perempuan ayah, tapi bukan hanya pada saat akan menikah, tapi lebih dari itu. Kemanakah Uwak di saat kami tidak makan? Di manakah Uwak di saat kami membutuhkan uang sekolah?
Aya, atas nama keluarga Aya dan calon suami Aya minta maaf kalau kami tidak memberitahukan kabar bahagia ini ke Medan. Kami mengira sudah tidak ada lagi yang peduli pada kami. Kami tidak mengabarkan kala kami kepayahan, maka kami pun tidak akan mengabarkan kala kami bahagia. Itu pilihan kami, agar keluarga yang sudah berserak biarlah tetap berserak dan tidak semakin berserak dan meninggalkan luka di hati,” jawabku.
“Sombong kali kau ini! Baru kerja dan mau kawin aja sombongnya minta ampun!” ujar Kak Nur.
“Kak, bukan maksud Aya hendak bersombong diri. Aya cuma mau memberitahukan luka lama yang tersimpan selama bertahun-tahun di hati kami. Agar luka itu sedikit terbagi pada yang melukai,” sanggahku.
“Lagipula tidak ada salahnya hendak bersombong pada satu pencapaian yang berhasil bahagia kan Nur? Apalagi pada orang yang dulu pernah melakukan hal yang sama. Berat tak sama dijinjing, ringan tak sama dipikul. Bukankah itu yang kalian biarkan terjadi pada kami.
Hari ini kalian menjadi saksi, anak-anakku telah dewasa dan menginjakkan kaki pada tanah-tanah kesejahteraan. Kami berterima kasih karena kalian telah berniat datang dan menikmati kebahagiaan yang kami rasakan. Namun, jangan kalian memunculkan norma-norma dan hukum-hukum yang telah lama kami ketahui tapi kalian kubur dalam-dalam ketika kami dalam kesusahan!” ucap mama.
“Uwak, Aya meminta restu dari Uwak, tapi keputusan Aya tetap pada hal semula. Billy yang akan menjadi wali nikah Aya. Ini adalah hasil musyawarah dua keluarga yang akan terikat dalam satu ikatan pernikahan. Mungkin kalian bagian dari keluargaku—itu pun kalau kalian menganggap demikian, tapi kalian tidak masuk dalam musyawarah itu, sehingga biarlah Aya posisikan kalian sebagai keluarga jauh Aya,” tukasku memperjelas pembicaraan.
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka diam seribu bahasa. Kami mempersilakan mereka untuk menginap selama beberapa minggu hingga pesta selesai. Zahra, Arista dan aku tidak mempersiapkan kamar untuk mereka. Seingga mereka tidur seadanya.
“Ini bukan hotel. Ini hanya rumah kecil yang kami bangunkan untuk tempat tinggal mama. Sehingga beliau yang memiliki rumah ini. Sebagai temu hendaknya berbaik-baiklah kepada sang empunya rumah,” tukasku saat mengantarkan mereka ke salah satu ruang kamar yang kosong.
***
“Aya, Galang dan orangtuanya udah ada di depan itu. Cepat dong! Jangan lama-lama!” teriak mama dari luar kamar.
“Iya, Ma,” jawabku sambil berlari meraih tasku dan segera menemui Galang dan orangtuanya.
Di dekat mobil Avanza berwarna hitam itu, aku melihat Kak Nur dan orangtuanya Galang sedang mengobrol. Sedangkan Galang yang berada di jok depan memasang wajah yang kelihatan tidak suka. Galang keluar dari mobil dan mendekatiku yang masih terhenti di depan teras. Aku masih mengamati Kak Nur yang terlihat sangat antusias bercerita.
“Ayo, Ay!” ajak Galang dengan nada kesal.
“Kenapakah Sayang? Kak Nur lagi cerita apa sama ibu dan bapak?” tanyaku.
“Biasa tukang gosip! Isinya cuma ceritain keburukan orang,” jawab Galang dengan nada yang masih kesal.
“Memangnya dia cerita apa?”
“Dia cerita tentang keburukan kamu selama tinggal di Medan. Terus dia bilang aku ganteng kok mau sama kamu yang wataknya kayak gitu. Ayolah, Yang! Aku udah capek dengerin dia merepet aja dari tadi. Pusing kepalaku dengernya.”
Aku tidak tega melihat ketidaksukaan Galang. Aku pun mendekati mobil Galang. Orangtua Galang menyambutku dengan penuh kasih. Aku pun mencium tangan kedua orangtua Galang dan mencium pipi kiri dan kanan Bu Rini.
“Maaf ya Kak. Kasihan itu si Aulia, ditinggal ibunya cuma untuk membicarakan orang lain! Oh ya Kak. Kaca di kamar tamu ada yang besar kan? Tolong dilihat ya Kak! Waktu Kak Nur megang kacanya gimana bayangannya, bagus atau nggak?”
Kemudian kami berangkat dan meninggalkan Kak Nur yang masih terlihat kesal dengan ucapanku. Di dalam mobil, aku menerka-nerka apa yang dikatakan orangtua Galang kepadaku mengenai cerita Kak Nur tadi. Aku tahu bahwa pernikahan yang tinggal seminggu lagi tidak akan menjamin restu dari orangtua Galang.
Sesampainya di rumah salah seorang anggota keluarga Galang yang berada di Solo, aku melihat ada berbagai macam perlengkapan pernikahan dengan adat Minang. Aku juga melihat berbagai perhiasan untuk pengantin wanita dan pria. Bu Rini langsung membawaku ke salah satu kamar.
“Ini pakaiannya, Sayang,” ucap Bu Rini padaku.
“Iya, Bu,” jawabku.
“Bu, Aya boleh tanya sesuatu?” lanjutku kemudian.
“Mau tanya apa, Aya?”
“Ibu percaya dengan cerita Kak Nur tadi?”
“Aya, kamu itu calon menantu ibu. Kau itu udah ibu anggap kayak anak ibu sendiri. Sepanjang ibu kenal kamu, ibu nggak melihat kemungkinan kalau kamu seperti yang diceritakan wanita itu tadi. Kamu itu anak ibu. Masa ibu lebih percaya sama orang lain daripada sama anak sendiri.”
Aku langsung memeluk Bu Rini. Dalam hati, aku begitu bersyukur karena telah mendapatkan seorang calon mertua yang sangat menyayangiku.
“Aya sayang sama Ibu,” ucapku lirih.
Setelah berpelukan beberapa saat, kami kembali disibukkan dengan persiapan pernikahan. Bu Rini mengeluarkan satu persatu koleksi pakaian pengantin Minangkabau yang tersimpan di dalam sebuah kardus berukuran cukup besar. Setiap pakaian memunyai corak yang berbeda dengan padu padan yang berbeda pula.
Bu Rini mengambil salah satu pakaian adat Minangkabau yang berwarna merah dengan corak yang sederhana, tapi terlihat indah. Pakaian adat Minangkabau itu dengan berbagai perlengkapannya diletakkan di atas tempat tidur.
Satu persatu bagian dari pakaian adat Minangkabau itu kupasangkan ke tubuhku. Setidaknya ada lima perlengkapan pakaian wanita yang harus kupakai. Bu Rini membantuku mematut diri di depan cermin.
Sebuah pakaian kebesaran wanita Minangkabau yang disebut “Limpapeh Rumah nan Gadang”. Pakaian ini menggambarkan wanita sebagai tiang tengah yang kuat untuk menopang bangunan rumah tangga. Jika wanita ambruk atau rusak sikap dan akhlaknya, maka seluruh bagian dari rumah tangga akan ambruk atau rusak juga.
Selain itu, ada pula Baju Batabue, yaitu baju yang ditaburi dengan benang berwarna keemasan. Pakaian ini menggambarkan keragaman yang bersatu dalam adat dan budaya.
Akupun harus mengenakan lambak atau sarung dengan corak khusus Sumatera Barat. Bagian lain yang terbuat dari kain adalah salempang yang menggambarkan tanggung jawab wanita terhadap anak cucunya dan kewaspadaan terhadap segala sesuatu.
Ada Tingkuluak atau Tengkuluk yang merupakan hiasan kepala yang berbentuk runcing dan bercabang. Hiasan kepala ini menggambarkan bahwa wanita yang menjadi tiang tengah bangunan rumah tangga tidak boleh diberi beban yang berat. Dengan kata lain, wanita harus dihargai dan dihormati.
Di bagian leherku dihias dengan Dukuah atau kalung dan bagian tanganku dihias dengan gelang yang menggambarkan harapan untuk memeroleh rezeki yang berlebih setelah pernikahan. Semua perhiasan itu yang harus kupakai dalam upacara adat penikahan dengan budaya Minangkabau.
Walaupun terasa berat harus menggunakan pakaian berlapis-lapis dan menjunjung Tengkuluk yang berat, aku menjalaninya dengan penuh rasa bahagia. Di benakku, terbayang saat-saat pernikahan itu di depan mataku. Subhanallah! Indahnya!
***
Billy baru saja datang dari Ambon. Tas dan oleh-oleh yang dibawanya berserakan di ruang tengah. Zahra dan Arista masih sibuk membongkar barang-barang Billy untuk mencari oleh-oleh khusus yang dibawakan untuk mereka. Aku hanya mengulum senyum melihat tingkah laku mereka.
“Udah nyiapin kado buat aku kan?” candaku pada Billy.
“Rebes Bos! Yang penting nikahanku tahun depan aku dikasih mobil.”
“Memangnya udah punya calon? Siapa?” tanyaku penasaran.
“Rahasia. Entar juga tahu sendiri, tapi beneran lho ya, aku diksaih mobil waktu nikahan tahun depan?”
“Hmmm. Bisa dipertimbangkan. Tapi kayaknya lebih enak kalau ngasih cangkir ‘mama papa’ deh.”
“Busyet. Murahan banget! Aku aja ngasih yang mahal kok?”
“Gaya banget sih kau sekarang! Iya, ntar aku kado-in kulkas. Memangnya kau ngasih aku kado apa?”
“Aku ngasih mesin cuci.”
“Impas kalau gitu ya?”
“Tapi ntar beneran ngasih kulkas ya. Biar aku nggak usah nyiapin uang buat beli itu.”
“Rebes Bos!”
“Masa orang berduit, pesta nggak pake gordang sambilan,” ujar Bouk Nisma tiba-tiba.
“Nggak usah pake gordang. Cukup pestanya aja dibanyakin. Di Solo, Jakarta sama di Padang.”
“Buang-buang duit!” ujar Bouk Nisma.
“Berbagi kebahagiaan,” jawabku santai.
Bouk Nisma meninggalkan kami yang masih sibuk berkelakar sambil membongkar isi tas Billy. Zahra dan Arista tersenyum puas melihat raut wajah Bouk Nisma yang tidak senang mendengar jawabanku. Sedangkan Billy hanya tertawa melihat tingkah laku kedua adik kami itu.
“Rasain Lu! Emang enak? Jahat sih!” ujar Arista sambil tertawa.
“Boten pareng ngaten iku yo, Cah Ayu. Wonge kuwi ora jahat tur kurang sajen.[19] Hihihi,” ucap Zahra.
“Hush. Ojo ngono toh, Cah![20]” ujar Billy
***
Hari pernikahan itu telah sampai pada waktunya. Pagi masih buta ketika aku dibangunkan mama untuk segera bersiap untuk acara akad nikah di Masjid Agung. Pakaian kebaya putih sudah menantiku. Penata rias sudah tersenyum menungguku di meja rias.
Setelah membersihkan diri, aku duduk di depan meja rias. Penata rias mulai melakukan pekerjaannya. Berbagai alat make-up disapukan ke wajahku. Layaknya orang yang sedang melukis, berbagai warna senada disapukan ke wajahku. Rambutku yang panjang dan terkesan tipis ditata sedemikian rupa hingga membentuk sanggul modern yang elegan.
Kebaya berwarna putih dengan hiasan benang berwarna keemasan di bagian dada dan ujung lengan dipasangkan ke tubuhku. Bagian belakang kebaya yang panjang menjuntai—mempercantik kebaya yang kugunakan. Bawahan berupa kain bermotif batik yang dengan model “A” menambah indahnya kebaya yang kugunakan.
Rumah ramai sekali. Semua sibuk mempersiapkan diri. Tak ada yang memedulikanku hingga aku selesai berdandan dan menuju mobil yang akan diberangkatkan ke tempat akad. Di dalam mobil, mama duduk di sebelahku. Sinar kebahagiaan terpancar dari wajah semua orang yang berada di dalam mobil, terutama diriku.
Sesampainya di Masjid Agung, Galang sudah menungguku. Dia duduk di depan meja penghulu. Dia menggunakan kemeja berwarna putih yang dilapis dengan jas hitam. Dilehernya tergantung serangkaian bunga melati. Dia terlihat begitu tampan.
Galang berdiri menyambutku dan mendekatiku. Dia terus memandangku. Hingga akhirnya pembawa acara berkata, “Mempelai pria terpesona dengan kecantikan mempelai wanita.” Semua tamu undangan tertawa mendengar ucapan pembawa acara itu. Aku pun hnaya mengulum senyum menaha rasa malu karena Galang memandangiku begitu lama.
“Habisnya, penata riasnya terlalu profesional. Jadi cantik banget kan pengantinnya!” celetuk Bang Abdul, teman dekat Galang.
Seluruh orang yang berada di ruangan itu, tertawa mendengar ucapan Bang Abdul. Hingga akhirnya, pembawa acara menengahi dan membimbing seluruh orang untuk memasuki prosesi selanjutnya.
“Sebelumnya, ada yang mau disampaikan, Mas Galang?” tanya pembawa acara.
“Hari ini, akan kuucapkan ikrar suci pernikahan. Kuterima kelebihan dan kekuranganmu. Kumohon terima aku seperti aku menerimamu apa adanya,” bisik Galang.
“Silakan dijawab Mbak Kanaya!” ucap pembawa acara.
“Kuterima dirimu apa adanya dengan segala kelebihan dan kekuranganmu,” jawabku sambil memandangi wajah Galang.
Galang tersenyum dan kemudian mempersilakanku duduk di sampingnya. Prosesi pernikahan pun dimulai. Ketika Galang menjabat tangan Billy, jantungku berdegup begitu kencang. Aku melirik ke arah Galang. Di dalam hati aku bertanya, “Apakah Galang merasakan hal yang sama?”
Billy mengucapkan ijab pernikahan. Ketika akan mengucapkan kabulnya, Galang terlihat begitu gugup hingga dia tergagap. Ijab pun diulang, Galang pun masih belum bisa menjawabnya dengan tegas. Hal ini membuat prosesi ijab kabul terhenti sebentar.
Untuk menenangkan Galang, aku mendekatkan diri kepadanya, lalu berbisik, “Pejamkan matamu! Bayangkan kebahagiaanmu! Jika memang ini cita-citamu, bayangkan masa depan kita berdua! Kau, aku dan anak-anak kita kelak. Ini awalnya.”
Galang menoleh padaku, aku tersenyum dan mengangguk. Aku harap apa yang kulakukan dapat memberikan semangat kepada Galang. Aku harap ijab yang ketiga dari Billy dapat dijawab Galang dengan baik.
Billy kembali mengucapkan ijab. Aku menundukkan kepalaku, sambil memejamkan mata. Kunikmati detik-detik terakhirku sebagai seorang wanita lajang. Setelah kabul diucapkan oleh Galang, ada tugas baru yang siap menyambutku. Tugas sebagai seorang istri.
“Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Arnelita Harahap binti Dermawan Harahap dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai,” ucap Galang dengan lantang.
Aku menarik nafas lega. Saat ini Kanaya bukan lagi seorang ‘nona’, melainkan seorang ‘nyonya’. Masa-masa pra-nikah yang penuh liku itu telah usai. Masa depan sudah menungguku. Untuk menjadi seorang wanita yang sempurna—menjadi anak, istri dan ibu untuk anak-anakku kelak.
***SEKIAN***


[1] Sejenis kereta kuda
[2] Panggilan dalam suku Mandailing untuk saudara perempuan ayah (baik sepupu maupun kandung)
[3] Nenek, oma, eyang.
[4] Panggilan Jawa untuk kakak perempuan dari ibu atau bapak.
[5] Panggilan Jawa untuk kakak laki-laki dari ibu/bapak.
[6] Panggilan Jawa untuk adik laki-laki ibu/bapak.
[7] Panggilan Jawa untuk adik perempuan ibu/bapak
[8] Panggilan untuk saudara ipar laki-laki ayah.
[9] Ibu
[10] Penyakit yang ditandai dengan tertutupnya paru-paru oleh selaput lendir.
[11] Nasi dengan porsi sedikit dan hanya berlauk ikan sepotong kecil ditambah sambal terasi.
[12] alat musik sejenis gamelan
[13] Artinya:
Anak orang Tanjung Andalas,
Pergi ke pasar pada hari senja.
Biar habis, biarlah ludas,
Hati saya kena, bagaimana lagi
[14] Artinya: terkurung hendak di luar, terhimpit hendak di atas. Peribahasa ini menggambarkan orang yang licik dan selalu ingin menang sendiri. Dia selalu berusaha mencari alasan untuk menyelamatkan keadaan yang menghimpitnya tanpa melihat orang lain.
[15] Hiasan kepala untuk pengantin perempuan Minang.
[16] Hiasan kepala untuk pengantin perempuan Batak Mandailing.
[17] Panggilan untuk kakak laki-laki dari pihak ayah dan kakak perempuan dari pihak ibu.
[18] Panggilan untuk adik laki-laki ibu, merupakan kata lain dari “tulang”.
[19] Artinya: Nggak boleh begitu ya, Cantik. Orangnya itu bukan jahat cuma kurang sesajen.
[20] Artinya: Jangan begitu toh!

0 komentar:

Posting Komentar